Hitung-hitungan Pilpres 2019 dan Utak-atik Undang-undang Pemilu

Minggu, 8 April 2018 | 09:00 WIB
0
611
Hitung-hitungan Pilpres 2019 dan Utak-atik Undang-undang Pemilu

Undang-undang Pemilu yang telah disahkan meski terjadi polemik dan diwarnai walkout tiga partai yaitu Gerindra, PKS dan Demokrat tetap akan menjadi dasar hukum pada Pemilu dan Pilpres tahun 2019. Bahkan juridical review oleh yang tidak puas atas undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi sudah ditolak, jadi mau tidak mau semua partai yang akan mencalonkan presiden di Republik Indonesia ini harus patuh dan taat terhadap berlakunya undang-undang nomor 7 tahun 2017.

Presidential hreshold 20% kursi yang ada di DPR RI atau 25% perolehan suara hasil pemilu 2014 adalah menjadi dasar sebuah partai atau gabungan beberapa untuk bisa mencalonkan Presiden pada pilpres 2019 nanti. Jika dihitung berdasarkan perolehan kursi di DPR RI tidak satupun partai yang bisa mampu memenuhi syarat presidential threshold pada pilpres 2019, jadi harus ada koalisi antarpartai.

Ppesiden Jokowi yang mulai membangun kekuatannya sejak awal berkuasa sehingga mampu meraih dukungan dari Golkar, PPP, Nasdem, Hanura dan PKPI meski tidak lolos namun suara perolehan di pemilu 2014 bisa menambah porsentase suara sebagai syarat pencalonan presiden di tahun 2019. Jadi siapa tau nanti dapat jatah menteri jika Jokowi menang.

PSI dan Perindo adalah partai baru yang belum punya suara meski akhirnya mendukung Jokowi sebagai calon presiden 2019 itu lain cerita, mungkin karena Jokowi mempunyai elektabilitas tertinggi dari semua survei yang dilakukan lembaga survei di negeri ini dengan kemungkinan terbesar Jokowi menjadi presiden RI kembali. 'Kan siapa tahu dapat jatah menteri, lumayan buat partai baru punya salah satu menteri pada kabinet Jokowi mendatang.

Terakhir partai pemenang pemilu PDIP secara resmi di Bali telah mencalonkan kadernya, yaitu Jokowi sebagai calon presiden pada pilpres 2019. Jadi Jokowi tinggal memilih calon wakilnya yang pantas dan layak setelah fit and proper test oleh partai-partai pendukungnya.

Sekarang tinggal Gerindra (73 kursi), Demokrat (61 kursi), PAN (48 kursi), PKB (47 kursi) dan PKS (40 kursi) yang belum secara resmi mencalonkan presiden dan syarat calon presiden pada pilpres 2019 mempunyai dukungan dari 112 kursi di DPR RI. Sementara Gerindra hanya butuh satu partai untuk memenuhi syarat untuk bisa mencalonkan presidennya.

Demokrat, PAN, PKB dan PKS butuh koalisi 3 partai untuk mencalonkan presiden. Kumungkinan terburuk bisa saja terjadi dengan serba dinamisnya perkembangan politik ketika partai di luar pengusung Jokowi tidak mau berkoalisi, maka calon tunggal menjadi pilihan dalam sistem demokrasi di negeri ini.

Jika Pilkada jelas melawan kotak kosong, dan jika kotak kosong yang menang maka pemerintah mengangkat Plt untuk mengisi jabatan kepala daerah. Lah, kalo Presiden, siapa yang mengangkat Plt Presiden jika kotak kosong yang menang?

Kalaupun harus MPR yang mengangkat berarti voting seperti zamannya Gus Dur terpilih jadi presiden setelah reformasi. Jadi jika ini terjadi sesungguhnya tidak perlu ada pemilihan langsung Presiden yang mengeluarkan banyak biaya untuk Pilpres mending dananya untuk bayar hutang negara.

Jika kemungkinan terburuk dengan aturan presidential tresold yang bisa menghambat proses pencalonan presiden dan lebih baik kembali ke sila ke 4 yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", karena itulah demokrasi Indonesia sesungguhnya.

Belum lagi pemilih pemula tidak punya kesempatan menentukan pilihan presidennya karena pada pemilu 2014 belum memilih, bukankah dalam memilih legislatif pemilih berharap calon presiden dari sebuah partai yang dipilih bisa ikut bersaing dalam pilpres?

Maka, seharusnya di Undang-undang Pemilu sebaiknya ada pasal yang mengatur tentang jangka waktu kapan bisa direvisi atau diubah, seperti bisa direvisi atau diubah setelah periode kedua jabatan presiden, sehingga tidak ada kepentingan politik seorang Presiden dan partai politik untuk melanggengkan kekuasaannya.

Jadi sebuah partai yang hanya menempatkan Presiden dan Presiden yang berkuasa dalam satu periode tidak boleh mengubah undang-undang pemilu. Melanggengkan kekuasaan dengan merubah Undang-undang Pemilu adalah sesuatu yang efektif dalam setiap kepemimpinan suatu negara dalam hal berdemokrasi.

Atau bisa jadi setiap menjelang pemilu Undang-undang Pemilu akan selalu diubah bahkan batasan periode presiden 3 kali dibolehkan sampai kembali ada jabatan presiden seumur hidup seperti zamannya presiden RI yang pertama.

Tapi itulah demokrasi.... Prediksi dan kritik ini hanyalah sebagai hiburan semata di tengah kegaduhan-kegaduhan menjelang pilpres 2019 yang sudah mulai di tahun ini dan saling serang statemen antarpimpinan partai di negeri ini.

Semoga tidak bermanfaat bagi kita semua kalaupun benar prediksi ini nantinya semata hanya kebetulan saja "karena baiknya Tuhan padaku" (copas lirik lagu bukti by Virgoun) dan sambil menikmati World Cup 2018 semoga tim idolanya jadi juara dan menunggu hasil pilkada serentak 2018 serta tetap menjadi pemilih cerdas.

***

Editor: Pepih Nugraha