Tidak Menariknya (Lagi) Calon Presiden Militer

Rabu, 4 April 2018 | 12:59 WIB
0
653
Tidak Menariknya (Lagi) Calon Presiden Militer

Indonesia pernah dipimpin oleh presiden dari militer yang kebetulan bapak-anak. Siapa itu, halah nanyak! Saya bilang bapak-anak, karena dari sisi profesional memang si anak pernah jadi ajudan dari si bapak. Sebelum si bapak meninggal, tanpa banyak publikasi ia menyiapkan secara cermat anaknya menjadi presiden berikutnya. Ceritanya lain kesempatan yak!

Sangat cerdas, ia dititipkan untuk magang di kabinet-kabinet di pemerintahan presiden selanjutnya, lalu bahkan disarankan untuk membuat partai baru. Partai baru yang menjadi kunci masuk ia berkuasa, karena pada saat itu sedang terjadi distrust, masyarakat kehilangan respek terhadap partai-partai lama yang dianggap hanya perpanjangan tangan Orde Baru yang berwatak korup dan nepotis.

Kenapa ia sukses dan yang lain tidak? Padahal nyaris ia tidak punya akar rumput, itu cerita lain kali lagi. Namun yang sial betul itu Megawati, perempuan pertama yang berkesempatan jadi presiden terlalu mengikuti kata hati ke-perempuan-annya. Dengan gaya playing victim-nya, si anak berhasil merebut simpati, dan akhirnya menang secara telak. Namun sejarah juga mencatat, apa yang diperoleh dengan "panggung sandiwara" toh akhirnya terbukti gagal membawa perubahan yang diharapkan.

Korupsi makin merajalela dan massif, intoleransi tumbuh dengan subur, dan hilangnya keteladanan yang mustinya menjadi simbol kepemimpinan. Ia kehilangan masa stabil perekonomian dunia, tingginya nilai ekspor mineral dan perkebunan, dan stabilnya nilai tukar mata uang. Ia justru menambah banyak utang untuk dibagi-bagi kepada mitra koalisinya, dan bukan bagi kemakmuran rakyat banyak.

Kegagalan terbesar dari 10 tahun "orde los-stang" ini adalah negara terlalu sering absen dalam banyak masalah masyarakat, ia hanya hadir untuk mempertahankan kekuasaan utuh selama 2 periode, 10 tahun.

Masa 32 ditambah 10 tahun, berarti 42 tahun sudah Indonesia berada di bawah kekuasaan militer, utamanya Angkatan Darat. Dan bila ditarik ke belakang lagi, selama masa Orde Lama, sejarah mencatat bahwa selama 20 tahun paggung sejarah saat itu selalu diwarnai instabilitas domestik, karena tarik menarik persaingan internal AD yang tak pernah selesai.

Sejarah pemberontakan daerah, ketegangan dengan negara tetangga, berbagai penyelundupan barang, penyusupan idelogi kepada tentara, nasionalisasi perusahaan asing, sejarah dwifungsi tentara yang gagal, perusahaan plat hijau yang merajalela, dst dst.

Masa Orde Baru tak usah diceritakan lagi, betapa hegomoniknya mereka. Kongsi bisnis militer, rangkap jabatan militer dan sipil, dan berlanjut, masa pasca-reformasi, tidak pernah sepi para capres-cawapres yang berasal dari AD. Dan bahkan sejarah perebutan presiden Indonesia pernah diwarnai persaingan antara dua tokoh yang pernah saling berkelahi di masa mudanya, yang menjadi dendam pribadi tak berkesudahan.

Keduanya sebenarnya yang satu berstatus anak dan yang satunya menantu. Walau statusnya tentu saja sama, sampai saat ini keduanya bernasib sial tak pernah diakui (lagi) secara resmi. Dalam hal ini, kelak sejarah akan mencatat calon yang dari bekas menantu itu, akan selamanya gagal menjadi presiden (dan tentu saja selamanya hanya akan berstatus cawapres abadi), karena sejarah pengkhianatan dirinya maupun keluarganya.

Bukan karena ia "kurang cakap" (walaupun sebenarnya ia memang kurang cakap) dan karenanya itu ia akhir-akhir ini menjadi tampak lebih banyak cakap. Cakap omong kosong tentu saja. Hingga dapat dikatakan sejarah Indonesia adalah sejarah Angkatan Darat. Lebih tepat mereka yang bersaing secara internal di dalam angkatan darat!

Dan hari-hari ini, seorang jendral yang beberapa hari lalu pensiun dan diberhentikan di tengah jalan oleh Presiden menyatakan diri siap dicalonkan dan dipilih!

Sial bagi dirinya, oleh Majalah Tempo yang terbit di minggu berikutnya ia langsung ditelanjangi habis. Ia dikabarkan dekat dengan Tomi Winata (TW), big boss yang konon "Kingmaker" sesungguhnya sebagai bandar kekuasaan (baca: cukong) di Indonesia.

Kedekatan yang sebenarnya baik-baik saja, hanya tentu saja mengandung cacat moral karena TW suka atau tidak dikenal sebagai konglomerat hitam yang merupakan simbol kongsi bisnis "terkutuk": pengusaha keturunan dan tentara aktif yang dianggap aib sejarah militer Indonesia.

Konon, ia sudah mulai dekat dengan TW, saat ia menjadi ajudan Edi Sudrajat pada tahun 1970-an dan hubungan baik tersebut terbina hingga saat ini. Selama "hanya" 2 tahun menjadi Panglima TNI, (GN sebut saja begitu) nyaris tidak punya prestasi apa-apa. Ia hanya dikenal publik, melakukan aktivitas transfer dana yang jumlahnya sangat besar dan memarkirkan duitnya itu di luar negeri.

[irp posts="13602" name="Selamat Datang Jenderal Gatot Nurmantyo!"]

Apa yang disebut oleh Kivlan Zen (yang disebut Gus Dur sebagai Jendral Kunyuk itu), sebagai jumlahnya jauh melebihi kekayaan Prabowo saat ini. Jenderal satu ini dikenal para aktivis sebagai "copy paste" militer masa Orba yang memiliki sindrom akut terhadap PKI yang sebenarnya sudah mati selamanya itu. Ia orang yang dikenal malah dekat dengan kelompok Islam radikal (yang sekalipun jumlahnya sedikit, tapi suaranya nyaris selalu bikin bising, budeg dan buneg orang se-Indonesia Raya).

Ketika puncak Aksi 212, bukannya ia menunjukkan sikap tegas kemiliterannya, ia justru memakai pakaian sama persis dengan para pendemo itu. Tersebab oleh itulah, ia dilengserkan lebih cepat, sehingga harus rela jadi jendral parkiran di Mabes beberapa waktu lalu. Intinya: ia adalah calon yang tidak menarik!

Bukan saja tidak memiliki gagasan yang jelas, juga rekam jejak nasionalisme yang inklusif sangat diragukan. Ia tak lebih tentara haus kuasa.

Kembali lagi ke hitung-hitungan, apakah 42 tahun di bawah kuasa AD itu masih kurang cukup. Begini cara bacanya: 32 tahun adalah buah peseteruan internal, dari 20 tahun masa sebelumnya. Pergeseran dari masa yang disebut instabilitas menjadi stabilitas, masa demokrasi awut-awutan ke demokrasi semu. Lalu ditambah 10 tahun orde reformasi yang menipu, yang mungkin untuk memperbaikinya tidak cukup waktu bahkan hingga tahun 2030 (hingga diisukan secara pesimistis Indonesia akan bubar).

Presiden sipil itu mungkin tampak di permukaan lemah dan kurang stabil, tapi setidaknya ia selalu menawarkan adanya perbaikan di sana sini.

Dulu memang masih dimungkinkan presiden militer karena bisa menjanjikan stabilitas semu. Tapi apakah sejak burung-burung merpati sejati demokrasi bebas terbang, anjing-anjing penjaga HAM itu dilepaskan, dan di setiap tangan manusia tergenggam telepon pintar, masihkan gaya militeristik dibutuhkan?

GN memang berhak mencalonkan dan dicalonkan sebagai capres ataupun cawapres, tapi haruskah kita tertarik pada latar dan figur militernya.

Saya tidak!

***

Editor: Pepih Nugraha