Kartini, Pemikiran Tentang Islam dan Otokritik terhadap Agama Sendiri

Rabu, 4 April 2018 | 22:01 WIB
0
747
Kartini, Pemikiran Tentang Islam dan Otokritik terhadap Agama Sendiri

Kalau membaca catatan sejarah, pemikiran pemikiran Kartini tentang Islam begitu banyak, tapi entah kenapa yang bagian ini jarang diangkat ke permukaan, dibandingkan pemikiran Kartini tentang persaman hak wanita, misalnya. Ratusan tahun lalu, saat baru berusia belasan tahun alias masih ABG, seorang Kartini sudah mampu berpikir kritis terhadap agamanya sendiri.

Segala kegelisahan dan curhat Kartini tentang kondisi umat Islam tang banyak dijumpainya saat itu, ia tuangkan dalam surat surat kepada dua org sahabatnya yang orang Belanda, Mrs Abendanon dan Stella.

Saya membayangkan, jika Kartini hidup saat ini, mungkin dia tinggal "curhat" saja di medsos tentang segala kegelisahannya, dan mungkin akan dengan mudah mendapatkan likes dari mereka yang setuju atau malah sebaliknya, mendapat komen semacam "agamamu apa sih?", "Kamu Islam bukan?" dari yang kontra atau sudah merasa paling beragama.

Otokritik (kritik terhadap diri sendiri, termasuk terhadap Budaya dan Agama sendiri) saat itu terbilang sangat tabu. Tapi di dalam surat-satunya, Kartini mengkritisi dan mempertanyakan banyak hal tentang femomena yang dijumpai di masyarakat, seperti mengapa orang Islam diharuskan menghapalkan kitab ayat-ayat Alquran tanpa memaknai isi dan artinya (karena di zaman Belanda, Alquran dilarang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal).

Kartini juga mengkritisi Agama yang dijalankan hanya sebatas ritual saja, di sisi lain Agama juga sering dijadikan "alat" oleh sebagian orang untuk melakukan dosa.

Apakah bentuk otokritik dalam agama sendiri diharamkan? Dan dengan mempertanyakan banyak hal tentang agamanya sendiri, apakah lalu menjadikan Kartini seorang Muslim yang lemah Iman?

Padahal dalam banyak catatan sejarah, orang orang beragama yang mampu melakukan otokritik terhadap agamanya, akan terus melakukan pencarian menuju kebenaran Ilahi dengan menggunakan akalnya sendiri yang merupakan anugrah Tuhan yang luar biasa. Sedangkan orang orang yang menerima ajaran Agama hanya sebagai sekedar dogma adalah berbahaya.

Lalu dengan banyak melakukan otokritik terhadap Agamanya, menjadi "kurang Islami" kah Kartini?

Setiap orang mungkin punya jawaban masing-masing tergantung persepsinya. Tapi Sejarah telah mencatat, bahwa dalam hidupnya, Kartini telah mengamalkan dan menjiwai nilai nilai Islam yang substansial ke dalam seluruh perjalanan hidupnya, yang terwujud dalam segala ucapan (lisan/tulisan), perilaku, tindak tanduk dan karya baktinya untuk sesama, sepertt menolong begitu banyak orang di sekitarnya untuk ke luar dari kemiskinan dan kebodohan.

Kartini pula, yang mendorong seorang Kyai Soleh Darat, untuk menterjemahkan Alquran ke dalam bahasa lokal (bahasa Jawa), yang di kemudian hari menjadi cikal bakal diterjemahkannya Alquran ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam hidupnya, Kartini telah menunjukkan bahwa keberanian dan kemampuan melakukan otokritik terhadap agama sendiri adalah sebuah proses untuk terus menemukan spritualitas dan kebenaran Ilahi. Otokritik Kartini terhadap situasi Islam saat itu, adalah pemikiran yang progresif dan jauh melampaui zaman di mana ia hidup, tapi juga masih relevan hingga kini.

Mungkin kalo Kartini hidup di Indonesia saat ini dan berani mengungkapkan segala otokritik terkait agamanya sendiri kepada publik, ia akan dengan mudah dilaporkan sekelompok orang dengan tuduhan "penistaan agama".

Untungnya Kartini tidak hidup di zaman now, yang keimanan sekaligus sensitivitasnya lebih tebal dibanding zaman old.

***

Editor: Pepih Nugraha