Surya Sahetapy, Keturunan Kelima Tokoh Pers Tirto "Minke" Adhi Soerjo

Kamis, 29 Maret 2018 | 06:45 WIB
0
891
Surya Sahetapy, Keturunan Kelima Tokoh Pers Tirto "Minke" Adhi Soerjo

Pengakuan bahwa dirinya merupakan keturunan kelima tokoh pers dan kebangkitan nasional Raden Mas Djokosomono Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) cukup mengejutkan di saat dia menyela penjelasan saya. Si penyela tanpa kata-kata terucap itu bernama Panji Surya Putra. Nama panggilannya Surya. Anda mungkin masih belum paham sosok lelaki "good looking" ini kalau belum menyebut nama Ray Sahetapy dan Dewi Yul. Surya adalah salah satu anak dari pasangan pesohor ini.

Mengapa Surya menyela pemaparan saya tanpa kata-kata terucap? Ya, karena dia menggunakan bahasa isyarat tanpa bersuara. Bagaimana Surya bisa memahami seluruh pemaparan saya di depan forum padahal dia juga tuli? Melalui juru bahasya isyarat! Di meja Surya ada Silva dan Mada, dua penerjemah bahasa isyarat yang terus bekerja menerjemahkan paparan saya.

Di meja yang sama, ada Ricendy Januardo (Cendi) merupakan tuli sedangkan Mukhanif Yasin Yusuf (Hanif) merupakan difabel rungu. Cendi hampir sama dengan Surya yang berkomunikasi lewat bahasa isyarat, sedang Hanif yang kini menuntut ilmu Strata 2 UGM difabel rungu, tetapi masih bisa bicara meski terbata-bata.

Jika Surya dan Cendi menggunakan Silva dan Mada selaku juru bahasa isyarat, Hanif menggunakan bantuan juru ketik "Gundala" bernama Adhi yang mengetik semua ucapan secepat Gundala berlari. Semua ucapan saya ditranskrip dalam sebuah laptop tanpa melihat lagi papan ketik dan Hanif membaca hasil ketikan Adhi secepat saya bicara, nyaris tanpa jeda waktu.

[caption id="attachment_13400" align="alignleft" width="469"] Mada dan Sylva, juru bahasa isyarat (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]

Semua "kejanggalan" ini saya temukan untuk pertama kali dalam acara Australia Award yang berlangsung selama tiga hari di Hotel Double Tree, Jakarta, bekerja sama dengan Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Acara ini dimaksudkan sebagai pembekalan terhadap 22 peserta (19 diantaranya difabel) yang menerima beasiswa studi singkat kepemimpinan dan organisasi dan praktik-praktik manajemen untuk organisasi penyandang disablitas tahun 2018. Maknanya, ini kegiatan berkala.

Pemateri lain selain saya adalah Prof Michele Ford yang sangat fasih berbahasa Indonesia sehingga Anda akan mengira dia orang Indonesia kalau tidak melihat sosoknya, juga Imogen "Imi" Champagne yang membawakan materi  bercerita melalui media sosial. Imi yang sempat belajar bahasa di UGM ini masih sangat belia tetapi sudah berani berbicara dalam bahasa Indonesia saat menyampaikan materinya.

Tiga dari 22 peserta itu bertugas sebagai pendamping saat ke-19 difabel berkunjung ke Sydney, Australia, selama dua minggu dan peserta dikenalkan pada salah satu kota inklusi terbaik di dunia yang ramah kepada disabilitas seperti rambu-rambu lalu-lintas bersuara, trotoar berhuruf braille, dan jalan khusus untuk pengguna kursi roda.

Selama di Sydney, peserta dilepas sendiri, dibiarkan untuk survive mengatasi semua kendala dan berhasil.

Sebagai pemateri, saya senang jika peserta memotong paparan saya, pertanda ia mengikuti arah pembicaraan. Ketika itu saat membawakan materi penulisan "storytelling", saya menjelaskan perjuangan saya membaca buku Bumi Manusia dan tiga buku lainnya yang menjadi "tetralogi" paling meleganda. "Tetralogi" karya Paramoedya Ananta Toer itu merupakan buku terlarang. Soeharto melarang siapapun membaca seluruh karya Pram lewat Kejaksaan Agung. Sungguh zaman jahiliyah penguasa yang seharusnya tidak boleh lagi terulang di masa mendatang.

Lewat komunikasi sunyi Surya dengan gerak isyarat cepat yang tidak saya pahami tetapi diterjemahkan langsung oleh Sylva secara verbal, tahulah saya bahwa Surya sebenarnya "curhat" atas kejadian yang pernah menimpanya.

[caption id="attachment_13401" align="alignleft" width="546"]

Saya bersama peserta difabel (Foto: Istimewa)[/caption]

Sebagai anak pasangan pesohor, suatu waktu wartawan mewawancarainya, demikian Surya bercerita dalam senyap. Ia ingin mengungkapkan pandangannya tentang berbagai hal, bukan sekadar mengeksploitasi "hambatan hidup" tuli. Surya mengaku kecewa karena yang ditulis kemudian oleh si wartawan yang mewawancarainya itu justru hal-hal yang bersifat pribadi, yang dilekatkan pada sosok Ray Sahetapy dan Dewi Yul.

"Bagaimana mengatasi hal ini?" Surya bertanya kepada saya melalui penerjemah bahasa isyarat.

Sebagai praktisi di mana 26 tahun pernah bekerja di Harian Kompas, saya menjawab sekaligus memberi tips bahkan pandangan bahwa seorang wartawan harus memiliki cukup pengetahuan tentang masalah yang akan dibahas dan tahu persis siapa narasumber yang dihadapinya. Persoalannya wartawan, khususnya online, terbebani "rezim trafik" sehingga mengejar artikel yang "klikbait" alias diklik banyak orang.

Akibatnya, si wartawan lupa esensi penting yang harus dimunculkannya namun tidak "klikbait" dan lebih memilih untuk menulis "pinggiran masalah" yang meski tergolong "ecek-ecek" tetapi banyak dibaca. Jelas Surya kecewa karena apa yang dipikirkan dan diungkapkannya tidak tercermin dalam tulisan wartawan yang dimuat kemudian. Ya itu tadi, tulisan lebih menampilkan "penderitaan" Surya sebagai anak pasangan selebriti tinimbang pemikirannya sendiri.

Kepada Surya saya berpesan, jangan kapok menghadapi wartawan, apalagi trauma segala. Kemampuan dan keterampilan wartawan tidaklah sama. Ini tugas media massa dan oraganisasi profesi kewartawanan untuk selalu membentuk jurnalisnya yang memiliki "scope" permasalahan secara menyeluruh dan menukik pada detail yang tidak boleh diabaikan.

Untuk itulah saya hadir sebagai pemateri yang mengajarkan mereka, para difabel, mengungkapkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk tulisan. Saya dorong mereka memproduksi tulisannya sendiri melalui blog dan media sosial, saya bekali bagaimana mereka menulis yang benar dengan menggunakan bahasa yang asyik. "Storytelling" menjadi penekanan sehingga dalam satu sesi saya khusus membawakan teknik menulis bertutur itu.

Acara ini memang dirancang agar peserta dapat menggunakan media, apapun medianya, dalam melakukan advokasi tentang kegiatan mereka dan isu-isu disabilitas kepada pemangku kepentingan, dari level masyarakat hingga pejabat publik. Mereka harus bersuara sekalipun lewat kata-kata sunyi seperti Surya.

Hampir semua peserta belum mengenal baik peran dan fungsi media, terutama cara kerja mereka, kecuali Ajiwan A Hendradi (tunanetra) yang berugas sebagai, media officer SIGAP, Syafarrudin Syam (tunadaksa) yang bekerja di radio di Mamuju dan Surya Sahetapy yang merupakan aktifis Gerkatin Jakarta.

[caption id="attachment_13405" align="alignleft" width="553"]

Saya bersama Yasser dan Erlin (Foto: Firman)[/caption]

Dengan "role play" berupa simulasi diskusi panel di akhir sesi, peserta sekaligus diajarkan bagaimana merancang pesan yang efektif di media untuk menarik perhatian masyarakat, bagaimana menggunakan media secara efektif untuk advokasi, bagaimana memberikan informasi saat diwawancara mendadak oleh awak media saat kegiatan/kampanye, dan bagaimana menjawab pertanyaan dengan efektif dan menarik saat menjadi narasumber di televisi, radio maupun forum-forum diskusi dan seminar.

Masih banyak yang ingin saya ceritakan karena ke-19 difabel berlatar belakang berbeda dengan kekhususan yang berbeda pula. Ada yang tunanetra dari lahir seperti Ajiwan, tetapi ada juga yang tunanetra setelah dewasa karena kecelakaan, sebagaimana dialami Yasser dari Aceh. Ia yang bercita-cita jadi pembalap motor mengalami kecelakaan saat duduk di bangku kelas satu SMA sehingga akhirnya buta total. "Saya baru sempet sekali pacaran," katanya saat ngopi pagi bersama saya.

Ah sudah waktunya sarapan, lain kali saya lanjutkan, ya....

***