Adhi Ariebowo, Mengetik Secepat Gundala Berlari

Kamis, 29 Maret 2018 | 12:59 WIB
0
869
Adhi Ariebowo, Mengetik Secepat Gundala Berlari

Jika sulit membayangkan bagaimana cepatnya mengetik 200 kata permenit tanpa salah, bayangkan saja Anda berbicara normal dengan lawan bicara, lalu selesai Anda bicara transkip tulisan dari percakapan Anda sudah tertulis di atas komputer. Memang ada aplikasi semacam Text-Hear di Android, tetapi ini yang melakukan adalah manusia.

Dan, manusia yang mengetik dengan kecepatan Gundala Putera Petir itu, demikian saya memberinya istilah, adalah Adhi Ariebowo.

Saya mulai melihat bagaimana Adhi bekerja sebagai "juru ketik" saat menjadi salah satu pembicara di acara Australia Awards. Di acara tersebut, saya membawakan materi menulis, khususnya "Storytelling" dan simulasi talk show bagi peserta saat melancarkan strategi komunikasi. Peserta adalah orang difabel, tepatnya 19 penyandang disabilitas yang berkesempatan mengunjungi Sydney, Australia, selama dua minggu.

Di sebuah meja, saya melihat "juru ketik" ini bekerja, siapapun yang berbicara, jari-jemarinya menari di atas papan ketik sebuah PC, tanpa melihat papan ketik, kadang pandangannya jalan-jalan ke sana ke mari tetapi ke-10 jemarinya menari lincah di atas papan ketik. Ini mengingatkan saya pada pemain piano yang memijit-mijit tuts sambil menyanyi tanpa harus melihat deretan papan nada.

Di samping Adhi ada Mukahnif Yasin Yusuf, mahasiswa S2 UGM yang tuli dengan bicara terbata-bata. Tetapi pikirannya tidaklah terbata-bata sebagaimana kata-katanya. Hanif sangat cerdas dan kritis, persoalan apapun bisa dikomentari dengan tepat.

Meski demikian, karena tuli, Hanif hanya bisa melihat teks yang seperti bertambah dan berbuah dengan subur di atas layar Adhi, sementara jari-jemari Adhi terus bergerak tanpa lelah. Dari hasil transkrip Adhi itulah Hanif bisa memahami seluruh pembicaraan, hampir tanpa jeda. Bahkan saatnya ketawa pun, hanif ikut tertawa dengan "lelucon" yang dibacanya di atas layar komputer Adhi.

Amazing!

Di sela-sela istirahat itulah saya menyempatkan diri untuk menyapa Adhi. Dan dia antusias menyambut saya. Pertanyaan mendasar yang saya ajukan, "Mengapa Anda bisa mengetik secepat kilat?"

Adhi ketawa ketika saya menyebut Gundala Putera Petir, komik kesukaan saya waktu saya bersekolah di SD tahun 1970-an. Adhi mengaku menjadi juru ketik profesional sejak tahun 2005 dan awalnya dia menyukai ketik-mengetik justru sebuah kecelakan kalau tidak dikatakan kenekatan tersendiri.

Nekat, karena dia dilarang menggunakan desktop alias komputer meja oleh kakaknya. Alasannya sederhana, Adhi sering membuat komputer kakaknya menjadi tidak berfungsi alias rusak.

"Jadi kakak mengunci komputer biar saya tidak bisa menggunakannya, saya dianggap bawa sial," kenang Adhi sambil ketawa.

Padahal, kata Adhi kemudian, ia menggunakan komputer itu hanya untuk mengetik dan mengetik, tidak untuk main games dan sebangsanya. Karena keinginannya kuat, maka di tengah waktu yang terbatas dan sambil mencuri-curi waktu saat komputer sebentar nganggur, ia mengetik namanya sendiri 1.000 kali dalam waktu secepat mungkin. Saat ia sudah mendapatkan kesempatan mengetik secara leluasa,ia terus mengetik namanya 1.000 kali sehari, itu pun minimal, artinya bisa lebih.

[caption id="attachment_13434" align="alignright" width="520"] Adhi membantu Hanif (Foto: Pepih Nugraha)[/caption]

Tujuannya tidak lain melatih jari-jemari mengenal setiap huruf, angka dan simbol di atas papan ketik tanpa melihat. "Lalu saya mengembangkan ke kata-kata lain dan kalimat lain tanpa melihat," kenangnya.

Adhi adalah lulusan Universitas Indonesia jurusan hubungan Internasional. Sama sekali tidak ada kaitan dengan dunia yang digelutinya saat ini, yakni juru ketik sekaligus translator bahasa Inggris-Indonesia, bolak-balik. Skripsinya tentang perang di Afghanistan setelah Amerika Serikat berada di wilayah ini. Adhi bekerja mandiri dan di kartu namanya tertulis "Translator" Certified Indonesia-English Translator, Interpreter & Simultaneous Typing Interpreter".

Beda antara "translator" dan "interpreter" saat saya bertanya dijawab Adhi cukup jelas. "Interpreter itu langsung dari percakapan atau saat orang bertutur kata atau verbal," katanya. "Sedangkan translator yang bersifat tekstual."

Tentang kesepuluh jarinya yang aktif bergerak di atas papan ketik seolah-alah di ujung jari-jemarinya Adhi berseloroh, "Memang benar, kemarin jari-jemari saya habis transplantasi mata."

Meski kerja mandiri, tetapi menurut dia tetap saja sibuk karena banyaknya permintaan. Ia sering tampil di seminar atau workshops di mana pesertanya difabel. Namun demikian di seminar yang memerlukan transkrip secara cepat juga keterampilan Adhi kerap dibutuhkan.

***