Tenaga Kerja Indonesia, Benang Kusut yang Masih Belum Terurai

Jumat, 23 Maret 2018 | 08:11 WIB
0
597
Tenaga Kerja Indonesia, Benang Kusut yang Masih Belum Terurai

Unjuk rasa yang terlihat di Kedutaan Besar Arab Saudi beberapa hari yang lalu menggambarkan wajah suram Tenaga Kerja Indonesia (TKI), karena aksi meninggalnya TKI, bukan sekali ini saja terjadi.

Pada saat yang tidak lama, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M. Hanif Dhakiri menyampaikan masalah moratorium terbatas penempatan TKI di luar negeri dan perpanjangan MoU penempatan yang telah habis masa berlakunya dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI.

Menaker Hanif menjelaskan latar belakang moratorium karena belum adanya Undang-undang mengenai perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di negara penempatan. Juga, belum adanya mekanisme penyelesaian masalah PMI di negara penempatan. Kemudian, banyaknya kasus-kasus yang terjadi di negara penempatan. Terakhir, belum optimalnya tata kelola PMI di Indonesia.

Tujuan pemberlakukan moratorium adalah perbaikan tata kelola perlindungan PMI di Indonesia, tetapi pertanyaannya, apakah semakin baik? Bahkan menurut sumber yang ada, beberapa TKI akan menjalani hukuman di negara yang ditempatinya.

Sejauh ini pemberlakukan moratorium TKI sendiri, ujar Menaker Hanif, sudah sesuai amanat pasal 31 UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) yang menyatakan penempatan PMI hanya dapat dilakukan ke negara tunjuan penempatan yang telah memiliki peraturan perundangan yang melindungi tenaga kerja asing, perjanjian bilateral dan jaminan sosial.

Untuk tindak lanjut moratorium, lanjut Hanif adalah Kepmen 260 tetap berlaku yaitu moratorium TKI tidak dibuka, melakukan review dan renegosiasi MoU dengan negara tujuan penempatan, menjalin kesepakatan membangun sistem penempatan dan perlindungan melalui "one channel system" antara Indonesia dengan negara tujuan penempatan. Terakhir, memperkuat kapasitas atase ketenagakerjaan.

Data Kemnaker sendiri tercatat, ada 19 negara yang terkena moratorium; Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Kuwait, Irak, Lebanon, Libia, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Sudan, Qatar, Palestina, Suriah, Tunisia, Persatuan Emirat Arab (PEA), Yaman dan Yordania.

Jadi, Arab Saudi adalah negara yang terkena moratorium. Di samping itu, Hanif menjelaskan keterbatasan staf yang menangani TKI. Misalnya di Hongkong tercatat ada sekitar 200 ribu tenaga kerja. Sementara, stafnya hanya tiga orang. Bisa dibayangkan beratnya pekerjaan mereka mengurusi ribuan tenaga kerja itu.

Memang masalah TKI masih merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan pemerintah Indonesia. Memang harus kita akui seperti benang kusut belum terurai. Harus segera diselesaikan, karena Presiden RI sekarang ini, Joko Widodo (Jokowi) sangat peduli tentang masalah TKI.

Di dalam tulisan saya di Majalah "Diplomat Indonesia," 24 Juni 2009, halaman 66-75, saya menguraikan,  betapa Jokowi sangat perhatian kepada masalah TKI ketika menjadi walikota Solo.

[irp posts="12847" name="TKI Dipancung di Arab Saudi dan Hukuman “Qishash”"]

Jokowi juga lahir di Solo, 21 Juni 1961 ini, waktu itu berbicara saat meresmikan "Solo Technopart (STP) di Solo pada 19 Mei 2009. Ia merasa sedih saat bertemu ratusan TKI di Kedutaan Besar Indonesia di Timur Tengah. Menurut Jokowi waktu itu, ada sekitar 348 TKI sudah setahun berada di Kedubes tersebut (hal 66,67).

"Mereka tidak bisa keluar dan tidak bisa keluar ruangan," ujar Jokowi. Ini pula sebabnya ia memacu dirinya untuk mempersiapkan tenaga kerja profesional lewat STP dan berharap agar TKI nantinya punya kemampuan yang lebih baik.

Sekarang Jokowi telah menjadi Presiden RI. Ternyata masalah TKI belum juga terselesaikan. Mulai dari TKI ilegal, pelecehan, pemerkosaan hingga pembunuhan TKI kita. Saya memang mengakui TKI di luar negeri banyak membantu pemerintah dalam hal devisa, tetapi perlu juga dipikirkan, kita juga mengirim ahli-ahli setingkat dokter, bidan insinyur ke luar negeri. Tidak hanya sebatas asisten rumah tangga.

Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net

***