Mengapa Kondom?

Jumat, 23 Maret 2018 | 07:36 WIB
0
474
Mengapa Kondom?

Jual kondom?

“Tumben pak Dahlan mau beli kondom,” tanya petugas apotik Kimia Farma di belahan selatan Surabaya itu.

“Tidak beli. Hanya tanya,” jawab saya.

Saya baru tahu sekarang ini: ternyata begitu banyak merek, variasi dan tingkatan harganya.

Kok soal kondom tiba-tiba menarik perhatian saya? Saya juga heran.

Ini gara-gara saya baru saja membaca berita ini: Jepang sudah berhasil memproduksi kondom paling tipis di dunia. Hanya 0,01 mm. Dan siap berpromosi di arena Olympiade Tokyo tahun 2020.

Dengan cara membagikannya secara gratis kepada seluruh atlet. Wow!

Cara itu memang bukan baru. Sudah dilakukan perusahaan kondom Inggris di arena Olympiade London tahun 2012. Juga sudah dilakukan oleh produsen kondom Indonesia dalam rapat besar Forum Pimred di Bali yang heboh itu dua tahun kemudian.

Jepang belakangan memang mengalami kemunduran dalam bisnis kondom. Usia rata-rata penduduknya yang menua membuat kondom tidak laris. Tapi perusahaan ini tidak menyerah. Terus berinovasi.

Ilmu bahan (material) memang sangat maju sekarang ini. Jurusan ilmu bahan di fakultas teknik kini laris manis. Sudah bukan lagi bagian dari jurusan metalurgi.

Bahan baru selalu ditemukan. Bukan lagi ditemukan di tambang. Atau di lapangan. Tapi di laboratorium.

Mencampur dan mengkombinasikan unsur kimia dari satu bahan dengan bahan lain tidak henti-hentinya diriset. Ilmu kimia sudah lebih menentukan.

Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa ditemukan bahan baru yang bisa dibuat kondom setipis 0,01 mm. Dan kuatnya bukan main.

Kuat kondomnya, maksud saya. Bisa diolor-olor tanpa robek. Bisa digesek-gesekkan berulang kali tanpa berlubang.

Bahkan klaim pabrik kondom Jepang ini menjamin kuat untuk digosokkan sampai 100 ribu kali. Tentu, saya percaya begitu saja. Daripada diminta untuk membuktikannya.

Begitu berprestasinya pabrik kondom ini hingga menyetarakan kondomnya dengan medali emas. “Inilah medali emas yang bisa Anda peroleh di Olympiade Tokyo.” Begitu kata Sagami Rubber Industries, produsen kondom merk Sagami ini.

Penemu kondom setipis 0,01 mm itu adalah peneliti di perusahaan tersebut. Nama sebenarnya Chiyaki Yamanaki. Tapi tenggelam oleh nama populernya: Mr. Kondom.

Konsumsi kondom di Jepang memang mencapai 400 juta setahun (2016). Tiga kali lipat dari Indonesia. Dan Sagami hanya nomor 4 terbesar di dunia.

Raja kondom masih dipegang Inggris: Durex. Memang Inggrislah negara pertama pembuat kondom.

Penemunya adalah Charles Goodyear. Tapi sejak abad 14, ketika wabah sipilis merajalela untuk yang pertama, barang sejenis kondom sudah mulai dipakai. Namanya condons. Atau disebut juga condam. Atau quandam. Diambil dari bunyi cuanto dalam bahasa Italia. Artinya: sarung.

Sebagai perintis kondom pantas kalau produksi Inggris ini, Durex, menjadi rajanya. Lalu kondom Amerika: Trojan. Nomor empat baru diduduki Sagami setelah pesaing lokalnya: Ogamoto.

Apakah nama bahan baru yang begitu lentur dan kuat itu? Ternyata: polyisoprene. Bahan baru turunan dari oleo chemical.

Bahan kondom dari karet sudah lama sekali ditinggalkan. Itu teknologi tahun 1855! Tidak bisa bersaing lagi. Apalagi bisa membuat orang yang alergi karet bermasalah.

Ilmu bahan memang akan terus menjadi primadona di masa depan. Ilmuwan akan terus mencari kombinasi campuran antar material untuk menjadi: seringan mungkin, sekuat mungkin, selentur mungkin, sekaku mungkin, sekecil mungkin, setipis mungkin.

Dan yang satu ini: semurah mungkin.

Para arsitek, perancang, desainer akan terus dimanjakan oleh ditemukannya material-material baru seperti itu. Termasuk perancang kondom.

***