Amien Rais dan Salah Kaprah Reformasi

Jumat, 23 Maret 2018 | 15:01 WIB
0
519
Amien Rais dan Salah Kaprah Reformasi

Konon hanya kepada (dan pada) cinta sejati-lah, kita bisa dengan mudah menjadi pemimpin sekaligus pengikut. Di depan kita bahagia, di tengah kita jadi tentram, saat di belakang juga baik-baik saja. Hanya dengan cinta semua persoalan jadi sederhana dan sangat mudah dipahami. Hanya konon, cinta itu juga ribet, karena butuh diperbaharui setiap waktu.

Orang Barat harus selalu menyatakannya dengan saling berpelukan (dan mungkin sedikit ciuman), tentu dengan saling mengucapkan I love you. Orang Timur, tentu tak se-profan itu, mungkin cukup tiap pagi sediakan teh nasgitel plus jajanan pasar di atas meja. Atau sang suami mencucikan dan mengecek rem motor pasangan, sebelum berangkat kerja: itu sudah pernyataan cinta.

Banyak cara, karena cinta adalah kerja kerja kerja (hakok malah jargon Jokowi). Dan karena itulah, yang gak pernah bekerja sungguh-sungguh adalah orang yang pertama kali kehilangan rasa cinta. Ia akan setiap hari kerjanya ngomong terus, yang diperburuk dengan menyalahkan si ini si itu, menjatuhkan si A lalu si B, memprovokasi, memfitnah, mengadu domba, mengibul dan seterusnya.

Intinya ia gelisah dan serius bermasalah dengan dirinya sendiri. Ia tak pernah jadi pemimpin sesungguhnya, namun juga tak akan pernah mau dianggap jadi pengikut. Ia adalah penumpang gelap sejarah. Pada konteks inilah kita semestinya memahami Amien Rais (AR).

Peristiwa penggerudukan FPI ke Redaksi Majalah Tempo beberapa hari lalu, memberikan pelajaran baru (tapi sesungguhnya usang sekali) bahwa karya jurnalistik adalah bukan produk final. Ia juga bisa salah, dan karenanya harus berubah!

[irp posts="12988" name="Bukan Kancil Pilek, Sepenggal Kisah dari Amien Rais"]

Ketika era reformasi sedang hangat-hangatnya (sekira sampai lima tahun setelah 1998), Amien Rais oleh media sering dianggap sebagai Pahlawan Reformasi. Baik-baik saja karena "euforia", walau tentu lebay karena pahlawan sejati sesungguhnya pantas disematkan bila ia sudah mati.

Realitasnya, banyak yang tidak tahu bahwa Amien Rais hanya memanfaatkan "momentum reformasi", yang sesungguhnya justru telah akan mulai dilakukan oleh Soeharto. Di luar sejarah buruk yang mengakhiri riwayat Soeharto, ia sebenarnya juga sangat terpengaruh oleh apa yang dilakukan Michael Gorbachev di Uni Soviet: glasnost dan perestroika.

Dalam konteks glasnost, ia mulai terbuka terhadap kalangan Islam. Ia naik haji, ia membuka diri terhadap ormas Islam (utamanya Muhamaddiyah, bahkan mengaku terlahir sebagai Muhammadiyah), memperbolehkan ICMI berdiri, membangun masjid yang ribuan jumlah (walau dengan menarik duit dari PNS). Ia juga menjauhkan diri dari Kelompok Militer Nasionalis seperti LB Moerdani (hal apa yang disesalinya di sisa hidupnya, hingga ia tak malu menangis di depan pusara jendral yang paling setia kepadanya ini).

Soeharto sebelum dijatuhkan, juga menyadari bahwa ia harus mempersiapkan suksesi yang lancar dengan paket reformasi yang menyertainya. Dalam situasi inilah, Amien Rais jadi figur yang justru bersemangat dan ngotot menjatuhkannya tanpa previlensi. Ialah sebenarnya "pembajak reformasi, penumpang gelap reformasi" yang sejarah akan mencatatnya sebagai pemeran antagonis yang tak pernah selesai. Hingga hari ini!

Ia mengulang "ketergesaan dan kesembronoan" yang dulu dilakukan para pemuda saat memaksa Sukarno memerdekakan diri dari Jepang. Hal yang harus dibayar mahal pada instabilitas sosial-politik-ekonomi yang tak pernah rampung dalam 20 tahun masa pemerintahannya. Ketergesa-gesaannya itulah, AR selalu gagal menempatkan diri pada posisi paling puncak sebagai presiden yang diimpikannya.

Ia memang berhasil memaksakan Habibie untuk menggantikan Soeharto, lalu berhasil menggagalkan Megawati dan menaikkan Gus Dur lewat apa yang disebut Poros Tengah. Walau kemudian, ia gantian menjatuhkan Gus Dur oleh sebuah politisasi dan krimnalisasi rumor yang tak terbuktikan sampai hari ini. Pada masa-masa enam tahun itulah, masa terbaik ia seharusnya bisa menjadikan dirinya sendiri sebagai Presiden.

Tapi nyatanya, ia gagal total. Ia hanya sebatas menjadi King Maker dalam gerak-gerik manuver politik paling jahat, yang sebenarnya membuat reformasi mati terlalu dini! Rasa sakit dari kegagalan itu yang terus mendera sampai hari ini.

Pada masa ia pernah terbang tinggi, ia pernah dengan pongah dipinjami pesawai bertulis "Amien Rais for President". Walau ketika ia mendarat ternyata rakyat hanya menghargainya sebagai Mr. Always Under Ten Percent. Artinya selugu-lugunya rakyat Indonesia, jualannya tak pernah benar-benar laku.

Dan puncaknya, bahkan ia dikangkangi di Solo, kota kelahirannya sendiri. Ketika ia men-support habis saudaranya sebagai cawalkot di kota itu, calonnya itu kalah telak oleh seorang pengusaha kerempeng yang sama sekali tak ada ganteng-gantengnya bernama Jokowi.

Sialnya sejarah ternyata berpihak untuk semakin menyakitinya: Jokowi sukses di Solo, terangkat jadi Gubernur DKI Jakarta, bahkan jadi Presiden RI yang menjadi media darling dan elektibitas tinggi di mata rakyatnya.

[irp posts="12959" name="Dosa Politik Amien Rais dan Ancaman Demokrasi Luhut Binsar Panjaitan"]

Dua hal yang tidak pernah dimilikinya. Sebagaimana, kutipan di atas, masalah sebenarnya AR adalah ia mengalami musim kemarau cinta yang terus menerus. Ia tidak pernah benar-benar di depan sebagai pemimpin, karena syarat dasar pemimpin dicintai, ya mulai-mulai ia harus punya cinta yang lebih kuat.

Semestinya ia mau belajar dari Jokowi, tapi ia memilih menjadi musuhnya. Mengikuti syahwat lahiriah dan hobby utamanya: mencari musuh. Setelah sama-sama kalah, ia berbalik jadi teman yang sebelumnya jadi musuhnya. Seorang hipokrit sejati yang sejarah hidupnya akan terus dicatat sebagai bagian kelam dan muram bangsa ini.

Hal mana menjelaskan sudah benar bahwa AR sama sekali bukan pahlawan reformasi, ia hanya salah satu penumpang gelapnya. Figur yang tidak pernah sungguh-sungguh punya rasa cinta, tidak pernah benar-benar bisa bekerja.

Itu bedanya ia dan Jokowi!

***

Editor: Pepih Nugraha