Konon hanya kepada (dan pada) cinta sejati-lah, kita bisa dengan mudah menjadi pemimpin sekaligus pengikut. Di depan kita bahagia, di tengah kita jadi tentram, saat di belakang juga baik-baik saja. Hanya dengan cinta semua persoalan jadi sederhana dan sangat mudah dipahami. Hanya konon, cinta itu juga ribet, karena butuh diperbaharui setiap waktu.
Orang Barat harus selalu menyatakannya dengan saling berpelukan (dan mungkin sedikit ciuman), tentu dengan saling mengucapkan I love you. Orang Timur, tentu tak se-profan itu, mungkin cukup tiap pagi sediakan teh nasgitel plus jajanan pasar di atas meja. Atau sang suami mencucikan dan mengecek rem motor pasangan, sebelum berangkat kerja: itu sudah pernyataan cinta.
Banyak cara, karena cinta adalah kerja kerja kerja (hakok malah jargon Jokowi). Dan karena itulah, yang gak pernah bekerja sungguh-sungguh adalah orang yang pertama kali kehilangan rasa cinta. Ia akan setiap hari kerjanya ngomong terus, yang diperburuk dengan menyalahkan si ini si itu, menjatuhkan si A lalu si B, memprovokasi, memfitnah, mengadu domba, mengibul dan seterusnya.
Intinya ia gelisah dan serius bermasalah dengan dirinya sendiri. Ia tak pernah jadi pemimpin sesungguhnya, namun juga tak akan pernah mau dianggap jadi pengikut. Ia adalah penumpang gelap sejarah. Pada konteks inilah kita semestinya memahami Amien Rais (AR).
Peristiwa penggerudukan FPI ke Redaksi Majalah Tempo beberapa hari lalu, memberikan pelajaran baru (tapi sesungguhnya usang sekali) bahwa karya jurnalistik adalah bukan produk final. Ia juga bisa salah, dan karenanya harus berubah!
[irp posts="12988" name="Bukan Kancil Pilek, Sepenggal Kisah dari Amien Rais"]
Ketika era reformasi sedang hangat-hangatnya (sekira sampai lima tahun setelah 1998), Amien Rais oleh media sering dianggap sebagai Pahlawan Reformasi. Baik-baik saja karena "euforia", walau tentu lebay karena pahlawan sejati sesungguhnya pantas disematkan bila ia sudah mati.
Realitasnya, banyak yang tidak tahu bahwa Amien Rais hanya memanfaatkan "momentum reformasi", yang sesungguhnya justru telah akan mulai dilakukan oleh Soeharto. Di luar sejarah buruk yang mengakhiri riwayat Soeharto, ia sebenarnya juga sangat terpengaruh oleh apa yang dilakukan Michael Gorbachev di Uni Soviet: glasnost dan perestroika.
Dalam konteks glasnost, ia mulai terbuka terhadap kalangan Islam. Ia naik haji, ia membuka diri terhadap ormas Islam (utamanya Muhamaddiyah, bahkan mengaku terlahir sebagai Muhammadiyah), memperbolehkan ICMI berdiri, membangun masjid yang ribuan jumlah (walau dengan menarik duit dari PNS). Ia juga menjauhkan diri dari Kelompok Militer Nasionalis seperti LB Moerdani (hal apa yang disesalinya di sisa hidupnya, hingga ia tak malu menangis di depan pusara jendral yang paling setia kepadanya ini).
Soeharto sebelum dijatuhkan, juga menyadari bahwa ia harus mempersiapkan suksesi yang lancar dengan paket reformasi yang menyertainya. Dalam situasi inilah, Amien Rais jadi figur yang justru bersemangat dan ngotot menjatuhkannya tanpa previlensi. Ialah sebenarnya "pembajak reformasi, penumpang gelap reformasi" yang sejarah akan mencatatnya sebagai pemeran antagonis yang tak pernah selesai. Hingga hari ini!
Ia mengulang "ketergesaan dan kesembronoan" yang dulu dilakukan para pemuda saat memaksa Sukarno memerdekakan diri dari Jepang. Hal yang harus dibayar mahal pada instabilitas sosial-politik-ekonomi yang tak pernah rampung dalam 20 tahun masa pemerintahannya. Ketergesa-gesaannya itulah, AR selalu gagal menempatkan diri pada posisi paling puncak sebagai presiden yang diimpikannya.
Ia memang berhasil memaksakan Habibie untuk menggantikan Soeharto, lalu berhasil menggagalkan Megawati dan menaikkan Gus Dur lewat apa yang disebut Poros Tengah. Walau kemudian, ia gantian menjatuhkan Gus Dur oleh sebuah politisasi dan krimnalisasi rumor yang tak terbuktikan sampai hari ini. Pada masa-masa enam tahun itulah, masa terbaik ia seharusnya bisa menjadikan dirinya sendiri sebagai Presiden.
Tapi nyatanya, ia gagal total. Ia hanya sebatas menjadi King Maker dalam gerak-gerik manuver politik paling jahat, yang sebenarnya membuat reformasi mati terlalu dini! Rasa sakit dari kegagalan itu yang terus mendera sampai hari ini.
Pada masa ia pernah terbang tinggi, ia pernah dengan pongah dipinjami pesawai bertulis "Amien Rais for President". Walau ketika ia mendarat ternyata rakyat hanya menghargainya sebagai Mr. Always Under Ten Percent. Artinya selugu-lugunya rakyat Indonesia, jualannya tak pernah benar-benar laku.
Dan puncaknya, bahkan ia dikangkangi di Solo, kota kelahirannya sendiri. Ketika ia men-support habis saudaranya sebagai cawalkot di kota itu, calonnya itu kalah telak oleh seorang pengusaha kerempeng yang sama sekali tak ada ganteng-gantengnya bernama Jokowi.
Sialnya sejarah ternyata berpihak untuk semakin menyakitinya: Jokowi sukses di Solo, terangkat jadi Gubernur DKI Jakarta, bahkan jadi Presiden RI yang menjadi media darling dan elektibitas tinggi di mata rakyatnya.
[irp posts="12959" name="Dosa Politik Amien Rais dan Ancaman Demokrasi Luhut Binsar Panjaitan"]
Dua hal yang tidak pernah dimilikinya. Sebagaimana, kutipan di atas, masalah sebenarnya AR adalah ia mengalami musim kemarau cinta yang terus menerus. Ia tidak pernah benar-benar di depan sebagai pemimpin, karena syarat dasar pemimpin dicintai, ya mulai-mulai ia harus punya cinta yang lebih kuat.
Semestinya ia mau belajar dari Jokowi, tapi ia memilih menjadi musuhnya. Mengikuti syahwat lahiriah dan hobby utamanya: mencari musuh. Setelah sama-sama kalah, ia berbalik jadi teman yang sebelumnya jadi musuhnya. Seorang hipokrit sejati yang sejarah hidupnya akan terus dicatat sebagai bagian kelam dan muram bangsa ini.
Hal mana menjelaskan sudah benar bahwa AR sama sekali bukan pahlawan reformasi, ia hanya salah satu penumpang gelapnya. Figur yang tidak pernah sungguh-sungguh punya rasa cinta, tidak pernah benar-benar bisa bekerja.
Itu bedanya ia dan Jokowi!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews