Ketua KPU Arief Budiman Usulkan Diskualifikasi Tersangka Cakada

Senin, 19 Maret 2018 | 12:28 WIB
0
730
Ketua KPU Arief Budiman Usulkan Diskualifikasi Tersangka Cakada

2Dalam pekan lalu ramai diberitakan Ketua KPK Agus Rahardjo mendapatkan 368 laporan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh calon kepala daerah (cakada).‎ Laporan itu  diterima dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Dari 368 laporan tersebut, pihaknya bersama dengan PPATK telah menganalisa dan ada 34 cakada yang terindikasi kuat terlibat dalam praktik korupsi.‎ Ia pun berjanji akan mengusut dugaan korupsi yang dilakukan oleh 34 cakada tersebut.

Menurutnya, dari 34 cakada yang diduga terlibat tindak pidana korupsi, hampir seluruhnya akan menjadi tersangka.‎ Namun memang, KPK butuh waktu untuk menetapkan tersangka para cakada tersebut. Siapa mereka, KPK belum membuka semua.

Catatan PepNews, langkah KPK menangkapi cakada yang tersangkut kasus korupsi harus dipandang sebagai langkah konkrit dalam mempertahankan demokrasi yang substansial. Dan, KPK ingin Pilkada Serentak 2018 tidak tercederai dengan kasus korupsi cakada tersebut.

Langkah KPK yang secara terbuka untuk “menghadang” cakada yang terlibat kasus korupsi ini mestinya segera ditindaklanjuti oleh KPU dengan terobosan hukum dan Peraturan KPU. Artinya, jika cakada itu sudah cukup bukti korupsi, dia harus didiskualifikasi.

Tidak harus menunggu selesainya persidangan di Peradilan Umum (pidana) atau di Peradilan Tipikor (korupsi). Sebab, kalau dia harus mengundurkan diri dalam kontestasi itu, cakada ini bisa terancam Pasal 191 ayat (1) UU Pilkada.

Dalam Pasal 191 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota itu disebutkan, para cagub-cawagub, cabup-cawabup hingga cawali-cawawali tidak boleh mengundurkan diri hingga sampai tahap pelaksanaan pemungutan suara.

Bagi cakada yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon akan dipidana penjara paling singkat 24 bulan hingga paling lama 60 bulan. Tak hanya itu, denda juga akan dikenakan pada cakada yang mengundurkan diri tanpa alasan yang kuat paling sedikit Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar (sesuai Pasal 191 ayat (2) UU/2016).

Bisa jadi, “pasal denda” inilah yang menghantui para cakada yang mundur dari pencalonan tersebut. Namun, jika dia dinyatakan sebagai tersangka dengan cukup bukti sesuai peraturan perundangan yang berlaku, mestinya ini masuk katagori force majeure.

Karena, ditangkapnya cakada itu merupakan suatu peristiwa yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan, sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Solusinya: diskualifikasi!

Di sinilah sudah seharusnya KPU bertindak lebih bijak dengan membuat PKPU soal bacada yang dijadikan tersangka oleh KPK. Sehingga, Pilkada Serentak 2018 sesuai dengan yang diinginkan KPK, tidak ada lagi cakada yang terlibat korupsi!

Rupanya, Ketua KPU Arief Budiman cepat tanggap dengan wacana “diskualifikasi” cakada yang menjadi tersangka KPK. Ia pun mengusulkan cakada menjadi tersangka didiskualifikasi. Namun usulan ini bersifat pribadi, bukan keputusan lembaga.

Namun, Arief Budiman menolak jika ada wacana cakada yang ditetapkan menjadi tersangka bisa digantikan orang lain. Alasannya ke depan partai-partai politik akan sembarangan dalam mengusung calon di pemilihan kepala daerah.

“Saya menduga di Pemilu yang akan datang ini tidak jadi perhatian serius. Siapa pun akan dicalonkan saja, kalau ketangkep tinggal diganti,” katanya dalam diskusi di Cikini, Sabtu, 17 Maret 2018, seperti dilansir Tempo.co.

Sebaliknya, bila opsi diskualifikasi ditetapkan, maka parpol akan berhati-hati memutuskan siapa calon yang bakal mereka usung. “Karena risikonya cukup besar,” lanjutnya. Namun, ada hal yang jadi perhatian.

Harus ada kesepakatan bahwa diskualifikasi diberikan kepada mereka yang terjerat pidana spesifik seperti korupsi atau pembunuhan. “Ini gak boleh sembarangan. Nanti gara-gara dia melanggar lalu lintas kemudian ditersangkakan. Itu gak boleh,” tuturnya.

Jika opsi diskualifikasi tidak diterima, Arief Budiman menawarkan opsi lain, yakni tetap sesuai peraturan yang ada saat ini. Cakada yang menjadi tersangka tidak perlu diganti dan bisa mengikuti pilkada.

Arief Budiman beralasan cakada yang ditetapkan menjadi tersangka dan bisa tetap berlaga akan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. “Semuanya tanggung risiko,” tuturnya. Sebabnya, ke depan masyarakat harus hati-hati dalam memilih cakada.

“Masyarakat harus diberi informasi yang cukup tentang situasi terkini. Supaya daerah itu betul-betul mendapat orang yang terbaik,” tuturnya. Tiga alasan mengapa Ketua KPU ini mengusulkan diskalifikasi.

Pertama, Pelajaran Buat Parpol. Dengan adannya sanksi diskualifikasi, maka parpol perlu berhati-hati dalam memilih paslon. Parpol juga seharusnya lebih selektif dalam mengusut terlebih dahulu kehidupan dari sosok yang ingin dijadikan cakada.

Sebab, jika sudah dijadikan tersangka, yang akan mengalami kerugian adalah parpol itu sendiri. Karena kecil kemungkinan para pemilih memilih cakada yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

“Karena pemilih tidak akan memilih cakada bermasalah,” ujar Arief saat diskusi bertajuk Penetapan Tersangka Calon Kepala Daerah: Menimbang Perppu usulan KPK di Media Center KPU, Jakarta, pada Jumat, 16 Maret.

Kedua, Ketegasan Hukum. Dengan usulan diskualifikasi ini, bisa jadi bukti bahwa hukum yang berlaku di Indonesia itu sangat tegas. Penetapan tersangka tidak akan membuat cakada punya kesempatan untuk maju pada Pilkada.

“Kalau mau lebih ketat, tegas dan keras dan demi pembelajaran dan penghukuman ke depannya, maka perlu sanksi diskualifikasi calon yang menjadi tersangka,” katanya.

Menurut Arief Budiman, peraturan saat ini sudah cukup baik, di mana calon yang menjadi tersangka tidak bisa ikut kampanye karena ditahan oleh KPK. Apalagi, parpol yang usung cakada bermasalah citranya juga bisa ikutan akan jatuh.

Ketiga, Mengganti Calon Kepala Daerah Boleh-Boleh Saja. Jika diskualifikasi benar-benar ditindak lanjuti, penggantian cakada yang jadi tersangka boleh-boleh saja dilakukan. Dengan persyaratan, penggantian cakada itu dilakukan 30 hari sebelum proses pemilihan.

“Tapi usulan penggantian calon ini tidak memberikan pelajaran dan penghukuman luar biasa kepada parpol, penyelenggara, peserta pemilu, dan pemilih. Karena, parpol akan berpikir, masih bisa ganti di tengah jalan,” lanjut Arief Budiman.

“Dan jika kejadian dalam waktu 30 hari menjelang pemungutan suara, maka pemilih tidak mempunyai waktu cukup untuk mendapat informasi tentang calon dan penyelenggara bisa kerepotan dengan produksi logistiknya,” lanjutnya.

Usulan Arief Budiman tersebut disambut Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang meminta KPU untuk segera mengambil tindakan terhadap banyaknya kasus korupsi yang menjerat sejumlah cakada di seluruh Indonesia.

Pasalnya, meski telah berstatus tersangka para cakada tersebut masih bisa bebas berlaga di bursa Pilkada sesuai aturan yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, wali kota dan bupati.

Executive Director Perludem Titi Anggraini mengatakan, KPU memiliki kewenangan atribusi untuk menjabarkan sejumlah aturan yang tertuang di UU Nomor 8 Tahun 2015 yang selama ini menjadi penyebab polemik melalui PKPU Pencalonan (PKPU 3/2017 jo PKPU 15/2017).

“Dalam pasal 53 tertulis bahwa calon kepala daerah tidak bisa mundur dari bursa Pilkada jika sudah ditetapkan sebagai paslon oleh KPU, jika mereka mundur maka parpol juga akan mendapatkan hukuman pidana karena melanggar aturan. Ini yang menjadi sumber sengkarut masalah saat ini,” ujar Titi di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (16/3/2018).

Titi menjelaskan, pada pasal berikutnya yakni pasal 54 diatur bahwa para cakada tersebut dapat diganti jika memenuhi dua syarat. Kedua syarat tersebut adalah jika calon meninggal dunia atau calon tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen.

Dalam aturan tersebut tidak dijabarkan, tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen itu seperti apa. Selanjutnya, KPU menjabarkan dalam PKPU 3/2017 jo PKPU 15/2017 dengan menerjemahkan bahwa calon yang meninggal dunia atau tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen dapat dibuktikan surat dokter dari RS pemerintah.

“Jika KPU saja bisa menjabarkan pasal tersebut, maka KPU juga bisa menambahkan bahwa tindak korupsi termasuk tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen. Korupsi itu tindakan tercela. Korupsi itu kejahatan terorisme terhadap publik, ini optimus crime ya itulah korupsi. Idealnya didiskualifikasi atau dihapus dari pencalonan,” tuturnya.

Menurut Titi, pilihan menambahkan penjabaran dalam peraturan menjadi jalan tengah jika memang Perppu yang diminta dari KPK tidak dapat dipenuhi dengan berbagai alasan.

“Kami mendukung sepenuhnya dikeluarkannya Perppu yang diminta oleh KPK, namun jika memang langkah itu tidak memungkinkan dipenuhi ya kami mengusulkan KPU untuk melakukan revisi pada PKPU,” tandasnya.

Menurut I Wayan Titip Sulaksana, cakada yang diterapkan sebagai tersangka memang harus didiskualifikasi dan diumumkan. “Supaya publik, siapa saja cagub, cabup, atau cawakot yang ditetapkan sebagi tersangka oleh KPU,” kata pakar hukum Universitas Airlangga ini.

“Ini untuk menghindari para perampok, para begal uang rakyat jadi kepala daerah. Jangan biarkan rakyat memilih kucing dalam karung. Bagaimana jadinya kalau kepala daerah terpilih ternyata begal dan rampok,” ungkap Wayan Titip kepada Pepnews.com.

“Rakyat yang akhirnya akan menanggung akibatnya dan negara rugi besar,” tambahnya. Apa yang harus dilakukan KPU? Membuat aturan PKPU atau minta fatwa kepada MA? “Untuk lebih kuat secara yuridis, minta fatwa MA,” jelas Wayan Titip.

Karena, “Kalau fatwa MA diterbitkan, akan menjadi yurisprudensi untuk pilkada selanjutnya. Ini memungkinkan untuk menggantinya dengan bumbung kosong. Bahwa ini menunjukkan lemahnya pengkaderan partai,” lanjut Wayan Titip.

Menurutnya, jika hanya dengan PKPU rawan digugat, sebab  bacada yang menjadi tersangka, boleh melanjutkan proses pilkada, sampai yang bersangkutan jadi terdakwa. “Wah bisa repot jadinya nanti,” tegas Wayan Titip yang juga aktivis akti korupsi.

Jika hanya karena keterbatasan waktu, ya terpaksa dengan PKPU. “Dan bersiap untuk digugat bacada bermasalah. “Namun, secara politis bacada yang bersangkutan sudah cacat, apakah rakyat berkenan untuk memilihnya?” lanjutnya

Kalau calon didiskualifikasi, apa dia bisa diganti oleh calon yang lain? “Tidak bisa, dia diganti dengan bumbung kosong. Masalahnya kalau calon tunggal, bisa sajapilkada ditunda. Ini konsekwensi yurudisnya,” ungkap Wayan Titip.

***