Absurdnya Kontroversi Cadar

Minggu, 18 Maret 2018 | 09:23 WIB
0
737
Absurdnya Kontroversi Cadar

Sejak awal, saya tidak tertarik mengikuti masalah pro dan kontra pelarangan cadar. Hal ini saya pikir, masalahnya jadi banyak yang keluar konteks, dianalisis dengan kacamata kuda menurut selera masing-masing. Dan sejak awal juga saya pikir akan beakhir anti-klimaks, apalagi kasusnya terjadi di Jogja. Aksi saling dukung dan hujat, akhirnya kalau istilah lokal hanya berakhir "mak plekenyik", saat nalar kita, debat yang sudah dilakukan akan berhenti pada titik paling wagu dan memalukan.

Bagi saya yang memperdebatkan cadar dan rok mini itu, sebenarnya keduanya adalah "kelompok orang kalah", yang gak mau mengakui kekalahannya. Dasar argumennya sama, keduanya memuja habis Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan seorang paling feminis sekali pun, berubah menjadi pembela cadar atas nama demikian, walau di kala lain mereka akan kembali menegaskan sikapnya bahwa hijab dan cadar tetaplah simbol ketidakmerdekaan perempuan terhadap tubuhnya sendiri. Ia adalah korban dogma agama, yang tidak sepenuhnya mereka mengerti. Sama tidak mengertinya, ketika ia ditanya di mana sebenarnya saat ini ia berdiri.

Sementara, para pembela rok mini dianggap sebagai korban standar baru kecantikan yang dipaksakan nyaris setiap detik oleh iklan yang bersliweran nyaris setiap detik ketika mata kita melek. Mereka akan merasa cantik dan tentu saja "bebas merdeka" sebagai seorang wanita, bila berpakaian demikian sesuai standar cita rasa yang tanpa sadar dipaksa oleh produsen kosmetika.

Bedanya dengan yang bercadar, mereka merasa lebih "tahu diri", dimana ia tidak mau memaksakan untuk berpakaian demikian di berbagai suasana. Bandingkan dengan kelompok pertama, yang nyaris tanpa beda suasana. bahkan memakasanakan diri untuk tetap demikian walau di wilayah publik, yang semestinya bisa sedikit lumrah!

Mungkin inilah masalah yang sepele, tapi hilang dalam khasanah kehidupan sosial kita: bisa bersikap lumrah! Hal yang semestinya sederhana, tetapi berubah menjadi sedemikian rumit, karena segala sesuatunya dipaksakan menggunakan cara pandang atau kacamata baru.

Kacamata yang sebenarnya sama sekali mengingkari ke-HAM-an yang mereka bela matia-matian. Kalau orang Jawa bilang inilah yang disebut waton suloyo, atau menurut frame orang Betawi debat kusir yang tanpa ujung dan manfaat.

Dalam kasus pelarangan cadar oleh institusi pendidikan setingkat UIN Suna Kalijaga saja, bisa berubah dalam sekejap. Keputusan yang telah diambil, dibatalkan hanya karena lembaga itu diserbu oleh komunitas yang sama sekali tak terkait langsung dengan marwah akademis lembaga tersebut. Dalam kasus Jogja, hal seperti ini "sudah sangat biasa", di mana sekelompok massa dengan hanya bermodal "suara vokal dan kerja keroyokan", tak perlu jumlah yang fantastis untuk membubarkan hal-hal yang di luar konteks aktivitas mereka.

Beberapa waktu yang lalu, puluhan ribu orang yang hadir dibubarkan karena hanya kehadiran belasan orang yang lebih bringas dan ngamukan. Mereka ini kelompok yang boleh melakukan apa saja, menurut standar kebenaran mereka. Tapi orang lain tidak boleh melakukan hal yang sama. Cara kerja mereka sangat efektif, tidak butuh pemikiran ini itu, dasar hukum yang logis, asal mereka tidak suka dengan cepat mereka bisa bersikap. Itulah, kenapa saya juga merasa tidak bisa menyalahkan kalau kota Jogja dianggap sebagai kota yang berhenti nyaman dan jauh dari peradaban toleransi.

Mula-mula mereka ini akan dengan mudah melarang setiap komunitas agama lain melakukan gerakan moral, apalagi sosial. Dan lalu mereka akan memaksakan kehendaknya pada golongan yang seiman, tapi tidah sepahaman. Jumlah mereka tidak banyak, tapi mereka terus bergerak.

Itulah situasi kota Jogja hari ini, laboratorium besar radikalisme yang bergerak dari lembaga think tank menuju aksi massa. Dari wadah berolah strategi, menuju medan praktek secara kasat mata. Kota yang masa lalunya mulai ditinggalkan pemiliknya (budaya aslinya) sendiri, diberikan secara sukarela pada kolonialisme dengan wajah dan bentuk baru.

Mereka itu satu? Tidak!

Kedua mereka inilah yang sedang bertarung dengan penonton, mereka yang bersurjan dan kembenan.

***

Editor: Pepih Nugraha