Ke RS Tianjin setelah 12 Tahun, Ananda Belahan Hati Bunda

Sabtu, 17 Maret 2018 | 15:24 WIB
0
605
Ke RS Tianjin setelah 12 Tahun, Ananda Belahan Hati Bunda

Saya menyesal tidak memotret kondisi rumah sakit ini 12 tahun lalu. Sungguh beda dengan hari ini. Saat saya kembali harus ke sini untuk check rutin tiap enam bulan sekali. Bukan hanya fisiknya tapi juga sistemnya.

Sekarang RS Diyi Zhongxin di Tianjin ini (150 km sebelah timur Beijing) sudah punya Apps. Pasien bisa download. Lalu memasukkan nama dan nomor pasien.

Semua hasil laboratorium, CT scan dan MRI bisa dilihat sendiri di HP. Lalu, kalau mau, bisa diprint sendiri.

Padahal di Surabaya, kalau saya ke laboratorium, hasilnya bisa dikirim dengan email saja sudah senang sekali. Tinggal forward ke dokter atau ke rumah sakit terkait.

Rumah sakit ini terdiri dari dua bangunan tinggi: lama dan baru.

Dua belas tahun lalu, saat saya pertama kali tiba di rumah sakit ini, hanya bangunan baru yang 17 lantai ini yang terlihat modern dan bersih.

Inilah yang dijadikan pusat transplantasi liver. Kalau naik lift di gedung baru ini terasa ngeri-kagum. Di tiap nomor lantainya tertulis: transplant center. Dalam bahasa Mandarin dan Inggris.

Kemarin dulu (Kamis 15 Maret 2018), saat saya antre CT Scan saya terbengong: seorang wanita paro baya menggendong bayi 3 bulan. Dia duduk di sebelah saya. “Saya neneknya,” kata wanita itu.

Dia melihat saya ragu masak dia ibunya. Bayi itu kelihatan lemah. Akan di CT Scan juga. Ternyata bayi itu punya masalah liver. Harus transplan juga.

Bayi tiga bulan akan ditransplant? “Sekarang umur berapa saja sudah bisa ditransplan,” ujar suster yang mendampingi saya.

Dulu, rasanya, harus menunggu seorang bayi harus berumur paling tidak dua tahun.

Mana ibunya? “Lagi menjalani pemeriksaan di sana,” katanya sambil wajahnya menoleh ke tempat lain.

Pemeriksaan terhadap ibunya itu diperlukan karena, menurut rencana, hati bayi itu akan diganti dengan cuilan hati ibunya. Kebetulan hati bapaknya tidak cocok. Golongan darahnya tidak sama.

Ukuran hati seorang bayi tiga bulan tentu belum besar. Maka hati ibunya nanti hanya akan diambil sedikit saja. Boleh dikata secuil saja. Seberapa kecil cuilan itu tergantung pada hasil pemeriksaan.

Salah satu keuntungan melakukan transplan pada bayi adalah: hatinya masih kecil. Tidak sampai diperlukan separo hati ibunya. Bahkan seperempatnya pun mungkin tidak sampai.

Beda dengan kalau anak itu sudah dewasa. Mungkin memerlukan separo sendiri hati ibunya.

[caption id="attachment_12760" align="alignleft" width="493"] Dahlan Iskan dengan 2 perawat (Foto: Disway.id)[/caption]

Setelah terpasang di bayi, secuil hati ibunya nanti akan tumbuh membesar bersamaan dengan pertumbuhan bayi. Menjadi seperti ukuran hati normal. Sedang hati ibunya yang dicuil itu akan utuh kembali seperti sedia kala. Hanya dalam waktu tiga bulan.

Bangunan lama di RS ini, terdiri 17 lantai dan tiga wing, adalah rumah sakit umum. Kini juga sudah terlihat bersih dan tersistem.

Beberapa pemeriksaan saya, seperti scan untuk tulang dan paru, dilakukan di bangunan lama. Semua interior sudah dirombak. Mesin-mesin mirip ATM banyak berjajar di berbagai sudut.

Ternyata itu mesin otomatis untuk cetak hasil MRI atau CT Scan. Pasien yang baru saja menjalani MRI atau CT Scan tinggal tunggu setengah jam: bisa cetak sendiri film hasil CT Scannya.

Di setiap samping pintu pemeriksaan juga ada barcode. “Untuk apa itu?” tanya saya. Ternyata buat cek siapa saja suster yang masuk ke ruang itu.

Setiap kali saya ke RS ini selalu saja melihat kemajuan ke arah modernisasi. Saya tidak akan lupa betapa kumuhnya lingkungan RS ini dulu.

Di depan gerbang gedung baru ini, dulu, misalnya, masih ada seonggok raksasa mesin tua dengan suaranya yang terengah-engah. Itulah mesin boiler untuk memproduksi air panas. Untuk kepentingan rumah sakit.

Bahan bakarnya masih batu bara. Maka di depan pintu gerbang itu kotornya bukan main. Rusuhnya tumpukan batubara masih diperparah oleh cecerannya.

Saya menyesal dulu tidak memotretnya. Kanker hati saya yang gawat saat itu telah membungkam jiwa jurnalistik saya.

***