Indonesia Bagaikan Berada di Tengah Laut

Jumat, 16 Maret 2018 | 22:32 WIB
0
753
Indonesia Bagaikan Berada di Tengah Laut

Kedatangan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (Internasional Monetery Fund/IMF) Christine Lagarde ke Indonesia di akhir Februari 2018 masih menjadi pertanyaan buat kita, apakah kedatangan pejabat IMF kali ini yang memuji Indonesia, sama halnya dengan pujian pejabat IMF di masa pemerintahan Presiden Soeharto bahwa Indonesia adalah negara yang berhasil dalam pembangunan ekonomi.

Banyak di antara kita mengingatkan agar bangsa yang besar ini tidak terlena dengan pujian. Saya dalam tulisan ini memberi judul: "Indonesia Bagaikan Berada di Tengah Laut." Menurut pemikiran saya, judul ini sangat tepat. Bangsa kita tidak berada di sungai airnya tenang di mana kita bisa membangun sekehendak kita dengan tenang, setenang air sungai. Jika ada sedikit gangguan, itu hanya riak-riak kecil.

Hal ini tidak seperti judul yang saya berikan. Kita berada di tengah lautan yang luas. Jika nasib mujur, ombak tidak besar dan sampailah kita di tepi pantai dan membangun dengan tenang tanpa gangguan. Tetapi jika gelombang datang menerpa, ada dua peristiwa terjadi di kapal kita. Bisa selamat dari gelombang dan pilihan kedua, tenggelam.

Inilah mungkin yang selalu diingatkan Bung Karno. Jika kita berhubungan dengan kapitalis, kita seakan tidur di kursi empuk, nyaman dan tertidur pulas. Tetapi ditambahkan bahwa di bawah kasur itu, kita berada di tempat tidur yang tidak baru. Banyak lobang-lobang di bawahnya, suatu ketika kita yang sedang tidur nyenyak tadi bisa ambruk ke lantai.

Betapa seorang Bung Karno telah mengingatkan kita. Presiden Pertama Republik Indonesia sekaligus Proklamator. Pernah meminta Indonesia ke luar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena terlihat tidak adil. Minta markas PBB dipindahkan dari Amerika Serikat ke negara lain agar PBB pun bisa netral. Lihat misalnya masalah kemerdekaan bangsa Palestina yang sekarang tidak pernah merdeka secara "de jure," dikarenakan negara ini lebih memihak penduduk Yahudi yang akhirnya mendirikan negara Israel di wilayah Palestina. Bung Karno sejak awal sudah melihat ketidakadilan ini.

Tentang IMF kita mulai di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Di sisi satunya pinjaman itu baik, tetapi hendaknya jangan ikut campur urusan dalam negeri Indonesia.

Di masa Presiden Soeharto berkuasa dan Menristek RI nya B.J.Habibie, Indonesia ikut terguncang krisis ekonomi. Indonesia minta bantu IMF. Peristiwa inilah yang terjadi, di mana Direktur IMF waktu itu Michael Camdesus datang untuk menandatangani "Letter of Intend (LoI)," antara Pemerintah Indonesia dan IMF. Isi singkatnya, Indonesia bisa memperoleh bantuan, tetapi dengan catatan produksi pesawat IPTN harus berhenti berproduksi, dengan alasan biayanya terlalu tinggi. Presiden setuju, pinjaman dapat tetapi kita berhenti mempriduksi pesawat terbang.

Kemudian hal ini lebih dipertegas dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tertanggal 21 Januari 1998. Isinya, menghentikan pemberian bantuan keuangan kepada PT.IPTN dan menghentikan pemberian fasilitas kredit yang dijamin Pemerintah kepada PT.IPTN. Sangat jelas IMF ikut campur mengatur pemerintah Indonesia.

Sekarang kita hanya membuat membuat pesawat kecil. Menutup tulisan ini, saya semakin berpikir keras, apa yang bisa kita lakukan menjadi bangsa dan negara besar. Misalnya seperti Republik Rakyat China (RRC) yang merdekanya belakangan dari Indonesia, tetapi bisa menjelajah angkasa dan di bidang politik internasional berhasil duduk sejajar dengan empat anggota tetap lainnya di Dewan Keamanan PBB.

Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net