Untuk Pertama Kali Selama 66 Tahun Hidup Saya Dipedicure

Kamis, 15 Maret 2018 | 06:47 WIB
0
640
Untuk Pertama Kali Selama 66 Tahun Hidup Saya Dipedicure

Kalau bukan karena setiap hari harus menulis saya tidak akan ke kios ini: pedicure!

Inilah untuk pertama kalinya dalam 66 tahun hidup di dunia saya memotongkan kuku kaki di pedicure.

Saya sudah membaca begitu banyak gaya hidup orang kota. Termasuk bagaimana kaum metrosexual harus merawat kuku kaki. Dengan mahalnya. Tapi itulah gaya hidup. Tidak mengenal murah atau mahal. Yang penting bisa mengangkat gengsinya.

Saya tidak pernah tertarik untuk mencobanya. Seperti juga golf. Saya selalu mencibir: potong kuku saja kok harus bayar. Mahal lagi. Betapa mudahnya pekerjaan ini: potong kuku. Cukup mengambil gunting. Atau modern sedikit: ambil nail clipper. Petekan kuku. Tidak sampai lima menit sudah selesai. Gratis.

Tapi, persoalannya adalah: saya belum punya bahan untuk tulisan yang diharuskan terbit di Disway.id pagi ini. Kebetulan pula saya lagi melewati sebuah kios baru di pinggir trotoar. Kok ini ada kios baru. Bersih. Saya intip dari kaca jendela: seperti tempat praktek dokter gigi. Tapi bukan. Seperti tempat pijat reflexy. Bukan.

“Tempat apa ini?,” tanya saya dalam bahasa Mandarin.

“Treatmen qxyrxtqz,” jawabnya.

Saya menunjukkan mimik tidak paham apa yang dia ucapkan. Saya diminta masuk saja. Dia minta saya tunggu sebentar. Dia ambil handphone. Pijit-pijit layar sebentar. Lalu menyerahkannya pada saya. Rupanya dia cari perterjemah di HP-nya.

“Oh..saya tahu…ini pedicure,” kata saya membaca terjemahan pedicure di layar smartphone.

Tiba-tiba saja saya mau mencoba. Kok kelihatannya tidak sesuai dengan yang saya baca. Di Indonesia pedicure selalu menjadi bagian dari salon kecantikan. Kok ini menjadi usaha yang berdiri sendiri. Khusus pedicure.

Kursinya pun diciptakan khusus itu. Ada tempat menaruh kaki. Yang bisa diubah-ubah posisinya. Ada beberapa alat yang terkait dengan kursi itu: lampu pemanas dan peralatan perawatan kuku.

Petugasnya pun disiplin. Mengenakan sarung tangan dan masker. (Saya minta dia mencopot maskernya saat difoto untuk melengkapi tulisan ini). Sepatu dan kaus kaki saya dilepas. Telapak kaki dimasukkan air hangat. Direndam. Dia pindah sepatu saya ke dalam lemari kecil yang pintunya ditutup.

Ternyata kuku saya tidak dipotong dengan nail clipper. Alat potong kukunya seperti tatahnya tukang kayu tapi terbuat dari stainless steel. Mengkilap. Alat itu baru dia ambil dari bungkusnya yang dirobek. Seperti baru. Memotong kukunya seperti mengupas kulit apel. Bukan seperti gerakan memotong.

[irp posts="12217" name="Sejarah Baru Tiongkok (2): Kungfu Panda dan Rambo Iseng"]

Di antara 10 kuku jari kaki saya, salah satunya berbentuk tidak normal. Jari kelingking kaki kanan. Menebal seperti benjolan besar. Itu peninggalan zaman purba. Saat saya sekolah tidak pernah pakai sepatu atau sandal. Berjalan kaki lima kilometer. Suatu saat kaki saya menyandung batu. Kukunya mangab. Berdarah. Campur debu. Untuk anak desa zaman itu luka seperti itu biasa. Tidak perlu diapa-apakan. Dibiarkan negitu saja. Paling jalannya saja agak pincang. Dalam dua minggu akan sembuh sendiri.

Tapi yang ini tidak. Begitu baru mau sembuh kesandung batu lagi. Berdarah lagi. Pincang lagi. Inpeksi. Bernanah. Biar saja. Kelak juga akan sembuh sendiri. Usaha maksimal adalah mencari sarung yang sudah tidak dipakai. Yang sudah robek di sana-sini. Saya robek sarung itu untuk dapat secuil pembalut. Sobekan kain sarung itu saya lilit-lilitkan di ujung jari yang bernanah. Ujung kainnya lalu dirobek jadi dua untuk saling diikatkan. Lama-lama kuku yang bernanah itu copot. Lalu tumbuh kuku baru yang bentuknya tidak normal.

Kemarin, di pedicure itu, bentuk kuku itu dinormalkan. Ternyata bisa. Horeee. Jadi cantik sekali. Tiwas selama 60 tahun dibiarkan jelek.

Sambil kuku kaki dipercantik, saya ngobrol tentang pedicure. Di sini, di Tiongkok ini, pedicure bukan bagian dari salon. Juga bukan untuk keperluan kecantikan. Ini bagian dari perawatan kesehatan kaki. Termasuk yang kakinya ada bintik-bintik dan seterusnya.

Orang yang di kursi sebelah saya itu misalnya. Kelihatannya punya banyak masalah di telapaknya dan di antara jari-jarinya. Maka perawatannya pun beda. Menggunakan obat segala. Tapi dia tenang saja. Terus mendengarkan lagu dari HP-nya. Salah satu lagunya mengejutkan saya: madu dan racun. Yang di Indonesia sudah lama tidak sering terdengar. Lagu itu ternyata ada versi mandarin dan versi Taiwannya.

[irp posts="12115" name="Sejarah Baru Tiongkok (1): Xi Jinping yang Tiada Tanding"]

Peralatan perawatan kuku saja ternyata banyak sekali. Tapi tidak ada gunting atau nail clipper. Semua seperti tatah kecil dan kokoh. Jauh sekali dengan peralatan salon. Kalau jadi satu dengan salon kecantikan, nanti tidak bisa professional,” katanya. “Keahlian kami khusus di bidang ini dan mendalam,” katanya.

Nama kios ini adalah Jia Le Kang. Seperti yang tertulis di dindingnya. Begitu kecilnya sehingga hanya cukup untuk tiga pasien.

Satu jam kemudian perawatan selesai. Bayarnya 40 yuan. Atau sekitar Rp70 ribu. Murah untuk ukuran Indonesia sekali pun. Petugas pun mengambilkan sepatu saya dari dalam lemari kecil itu. Wow! Hangat sekali. Terutama di musim dingin seperti ini. Rupanya itulah tempat sepatu yang sekaligus pemanas. Agar sepatu tidak menebarkan bau. Saya jadi pengin punya lemari seperti itu.

Diam-diam kemarin itu saya membuatkan sejarah bagi kuku kaki saya: pertama kali ke pedicure!

***