Jangankan Pak Wiranto, Presiden Jokowi Pun Tak Bisa Intervensi KPK

Kamis, 15 Maret 2018 | 09:27 WIB
0
877
Jangankan Pak Wiranto, Presiden Jokowi Pun Tak Bisa Intervensi KPK

Saya sebenarnya sudah lama ingin menuliskan hal ini, yaitu saat Pak Wiranto selaku Menko Polhukkam meminta Komisi Pemberantasan Korupsi menunda mengumumkan penetapan tersangka korupsi yang melibatkan calon kepala daerah atau bupati/walikota sampai gubernur petahana sampai pesta demokrasi Pilkada 2018 usai.

Belakangan saya urungkan niat saya sampai rekan-rekan Komisioner di KPK bereaksi terlebih dahulu atas permintaan Pak Wiranto itu, di samping juga ada kesibukan saya di Makassar, Sulawesi Selatan, yaitu menjadi pembicara kunci pada dua seminar di dua perguruan tinggi di sana pada hari yang sama. Bersyukur kelau kemudian ada pernyataan dari KPK menanggapi permintaan dari Wiranto yang belakangan menjadi "sekadar" imbauan itu.

Saya menilainya begini, bahwa sudah tepat KPK menolak permintaan Pak Wiranto untuk menunda pengumuman calon kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Saya melihat, jika lembaga yang pernah saya pimpin itu meluluskan permintaan lembaga negara lain dalam hal ini kementrian yang dipimpin Pak Wiranto, KPK bisa diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Itu poin penting yang kemudian saya buat sebagai rilis untuk media.

Jabatan yang melakat pada diri Pak Wiranto tidak lepas dari Menko Polhukkam. Jadi, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu dalam pandangan saya sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen. Saya tekankan di sini, jangankan setingkat menteri, bahkan Presiden Jokowi  pun tidak bisa mengintervensi KPK.

Bukan maksud saya membandingkan antara Pak Wiranto dan Pak Jokowi, atau lebih kasar lagi menganggap Pak Wiranto tidak penting, tetapi sekadar menunjukkan bahwa KPK memang tidak bisa diintervensi, baik cara kerjanya maupun apa yang akan dilakukannya terkait penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

Dalam sistem tatanegara yang berlaku di negeri ini, KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi itu tadi, termasuk korupsi yang dilakukan di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana.

Tidak tertutup kemungkinan politik uang terjadi dalam perhelatan akbar yang melibatkan 171 daerah itu. Apa yang terjadi di Sulawesi Tenggara adalah sebagai salah satu contoh kecil saja dan KPK punya data akurat siapa saja di antara calon kepala daerah itu yang terlibat.

Saya pribadi dapat memahami, apa yang disampaikan Pak Wiranto secara substantif bermuatan positif, yakni dalam rangka penyelanggaraan Pilkada di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan. Pengumuman calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat mempengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka, sehingga muncullah permintaan yang kemudian turun jadi imbauan itu.

Syukur Pak Wiranto menurunkan "tensi" permintaan itu ke level imbauan, sebab bagi saya jika KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka, ada bahaya besar di sana. Dampak yang ditimbulkan atas penundaan pengumuman tersangka korupsi itu tidaklah kecil dan bahkan semakin buruk.

Begini saja, misal seorang kepala daerah yang semula sudah dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tapi kemudian ditunda karena adanya permintaan, setelah selesainya pilkada dan dilantik menjadi kepala daerah, persoalan akan kembali muncul. Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelenggarakan Pilkada, juga merugikan rakyat pemilih yang tidak percaya lagi pemimpinnya sendiri karena mereka merasa dipimpin oleh kepala daerah yang korup.

Lebih berbahaya lagi kalau saya melihatnya dari konteks hukum dan ketatanegaraan, di mana -meski pahit saya katakan- permintaan Pak Wiranto tetap saya kategorikan sebagai bentuk intervensi lembaga negara lain terhadap tugas, fungsi dan wewenang KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi.

Saya berkesimpulan, dan itu sudah saya tulis dalam rilis kemarin, KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu, syukur kalau malah menolaknya secara tegas!

Tugas dan kewenangan KPK adalah mengusut tindakan korupsi yang dilakukan siapa saja dan menindak kapan saja. Kerja KPK jelas tidak boleh dibatasi ruang dan waktu, bahkan tidak boleh dihentikan karena adanya intervensi dari pihak manapun, bahkan dari Presiden RI sekalipun.

Saya mendapat data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya aliran dana mencurigakan yang diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018, di mana PPATK mencatat 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran rupiah. Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta pilkada tercatat 368 transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisanya sebanyak 34 laporan.

Bahayanya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan Pak Wiranto, kasus-kasus yang melibatkan calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi bisa berjalan di tempat, bahkan alat-alat bukti terhadap kasus tersebut bisa hilang atau sebagian dihilangkan untuk menghapus jejak.

Pun jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, KPK bisa ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi oleh KPK itu sendiri. Atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran terhadap terjadinya kejahatan korupsi.

Jadi komisioner KPK harus tetap menjaga marwah dan kredibilitas KPK sebagai lembaga independen penegakan hukum dalam pemberansan korupsi. Jangan terpengaruh intervensi lembaga negara lain.

Itu saja.

***

Editor: Pepih Nugraha