Anggapan Ini Harus Dipatahkan, AHY Bukanlah "Manchurian Candidate"

Kamis, 15 Maret 2018 | 15:19 WIB
0
844
Anggapan Ini Harus Dipatahkan, AHY Bukanlah "Manchurian Candidate"

Pasca Pilpres 2014 lalu, saya bilang: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu politisi paling ulung yang dimiliki Indonesia saat ini. Dia bisa mengolah air mata: hari ini jadi tangis duka, besok tangis bahagia. Lusa, bisa jadi tangis karena kena bawang merah.

Kali ini, SBY tampil mendobrak tradisi di Indonesia, bahwa orang-orang Militer yang masuk dalam kontestasi politik tingkat tinggi harus pula perwira dalam level tinggi (high rank). SBY, terlepas dari itu adalah putranya sendiri, menyorong seorang perwira menengah (tingkat "bawah" pula dari kategori menengah) masuk kancah.

Manuver SBY ini memiliki nilai edukasi yang baik bagi bangsa ini ke depan. Bahwa: jabatan pada struktur sipil sesungguhnya adalah jabatan "high end" dalam kehidupan bernegara.

Sebagaimana di negara-negara berkembang lainnya, Indonesia dalam 5 dekade pertama usianya tak bisa menghindari tradisi "militer mengendalikan kehidupan sipil". Walaupun pasca reformasi '98 militer mulai kembali ke barak dan secara total melepas fungsi politiknya 6 tahun kemudian (lebih cepat 5 tahun dari yang "dijadwalkan" -salut buat TNI), namun orang-orang militer dan faksi politik mana pun yang mengajukan mereka pada kontestasi politik kelihatan sangat terikat pada pakem standar: pangkat Kolonel untuk kontes kota/kabupaten, Mayor Jenderal untuk Provinsi, dan Letnan Jenderal untuk Provinsi-provinsi khusus.

SBY melabrak pakem ini. Dan "it is about the time". Memang waktunya. Setelah fraksi TNI-Polri keluar dari parlemen tahun 2004, nyaris tidak ada lagi patok penanda (milestone) yang signifikan untuk menjadi catatan edukasi bagi bangsa ini bahwa "militer adalah militer, sipil adalah sipil".

Bahwasanya ada orang militer masuk ke kancah sipil, dengan demikian apa pun pangkatnya dalam kemiliteran, itu bukan lagi sesuatu untuk didiskusikan. Memasuki kancah sipil (bagi orang militer) adalah sebuah "kekembalian" sahaja, karena sebelum mendaftar (enlist) ke dalam bakti (service) kemiliteran, dia adalah sipil. Kekembalian itu bukan kemunduran.

Nantinya ke depan, Indonesia ini bisa saja seperti Amerika Serikat yang pernah memilih Letnan George Bush dan Letnan John F. Kennedy menjadi Presiden, tanpa melihat level kepangkatan militer mereka. Kalau Nyonya Clinton kesehatannya tidak memungkinkan, bisa jadi Presiden Amerika berikutnya adalah Donald Trump, seorang Letnan, yang begitu tamat dari akademi militer West Point langsung kembali ke kehidupan sipil.

Tantangan bagi SBY dalam catur politiknya kali ini adalah ia harus membantah thesis bahwa putranya bukanlah Manchurian Candidate. Kandidat dari kalangan militer yang dipaksakan orang tuanya untuk bertarung dalam kancah sipil dengan bekal pencitraan palsu.

Soal ini, tontonlah akting Mayor Bennet Marco (Denzel Washington), dalam The Manchurian Candidate.

 ***