Perlunya Menghadirkan Capres Alternatif di Luar Jokowi dan Prabowo

Selasa, 13 Maret 2018 | 20:52 WIB
0
537
Perlunya Menghadirkan Capres Alternatif di Luar Jokowi dan Prabowo

“Pesta demokrasi”, begitu Pak Tito Karnavian menginginkan istilah “tahun politik” lebih diperhalus sehingga tidak terkesan menakutkan bagi sebagian pihak. Tahun politik memang serasa “menakutkan”, karena di dalamnya banyak terjadi friksi antargolongan untuk saling berebut pengaruh soal bagaimana kandidatnya dapat menjadi pemenang dalam suatu ajang kontestasi politik.

Jika saat ini ramai soal siapa yang pantas menjadi cawapres bagi kandidat capres terkuat Joko Widodo, maka seharusnya ada juga yang mengusung siapa calon kandidat presiden yang bakal mampu mengalahkan Jokowi. Hingga saat ini, capres alternatif yang sejauh ini dijagokan untuk menjadi penantang Jokowi hanyalah Prabowo Subianto, walaupun pendeklarasian dirinya sebagai capres belum juga terlaksana.

Nampaknya, masih banyak para kandidat yang menghitung-hitung soal kepantasan dirinya terjun dalam suatu ajang kontestasi politik nasional. Tak terlepas dengan Prabowo Subianto yang telah tiga kali gagal memenangkan pemilu presiden, tetap berhitung dengan cermat, soal “kepantasannya” maju sebagai capres alternatif pada pilpres 2019 mendatang.

Saya ikut tiga kali pemilu. Yang pertama naif, kedua agak naif, dan sekarang masih seminaif,” kata Prabowo pada 2014 yang lalu dalam sebuah forum diskusi di Yogyakarta. Semoga pada pemilu kali ini, Prabowo dapat meneguhkan hati dan siap menjadi capres alternatif yang akan menjadi penantang Jokowi.

[irp posts="12493" name="Mengapa Prabowo Tak Hadir Saat Seluruh DPD Gerindra Mencalonkanya?"]

Menarik mencermati pesta demokrasi belakangan ini di mana kecenderungan berbagai kekuatan politik, masih sebatas penjajagan untuk menawarkan diri menjadi cawapres alternatif bagi Jokowi dan bukan capres alternatif. Sulit untuk tidak menyatakan, bahwa Jokowi-pun masih berburu cawapres alternatif yang dapat mendampinginya di pilpres mendatang.

Beberapa kali momen kenegaraan, Jokowi tampak terlihat menggandeng beberapa tokoh parpol untuk mendampinginya, sekadar memberikan pemahaman kepada publik, bahwa dirinya memang sedang melakukan penjajakan siapa kandidat yang paling pantas disandingkan nanti.

Jokowi misalnya pernah tampak mesra dengan ketum PPP M Romahurmuziy, berada dalam satu pesawat dan satu kendaraan ketika mengunjungi Pesantren Kempek di Cirebon, menghadiri acara pernikahan cucu tokoh kharismatis NU, KH Maimoen Zubair.

Momen Jokowi dengan beberapa tokoh parpol sedikit tenggelam di tengah kemeriahan Partai Demokrat (PD) menggelar rapimnasnya di Bogor beberapa waktu lalu.

Anak emas Ketua Umum PD, Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) nampak dielu-elukan sebagai kandidat yang sangat cocok mendampingi Jokowi di pilpres tahun depan. Jokowi-pun tampaknya memanfaatkan momen ini sebagai penjajakan sekaligus pendekatan politik kepada PD agar mau mendukungnya sebagai capres 2019.

Keberadaan AHY yang terus menanjak popularitasnya sejak keikutsertaan dirinya di Pilkada Jakarta tahun lalu, cukup menjadi bargaining politik yang mungkin saja dilirik Jokowi menjadi kandidat cawapres yang diinginkannya. Gagal menjadi gubernur Jakarta, tapi sukses menjadi wapres merupakan bagian dari cara PD mempertahankan eksistensi kekuatan politiknya, setelah SBY tak mungkin lagi berkesempatan menjadi presiden.

[irp posts="12450" name="Jokowi sebagai Seorang Demokrat"]

PD sudah sejak lama memiliki antusiasme yang tinggi untuk tetap berada dalam lingkar kekuasaan dan hal ini tentu saja tak mungkin dilepaskan dari ketokohan SBY yang cukup sentral di dalamnya. AHY memang menjadi prioritas utama yang digadang-gadang bakal meneruskan trah politik SBY dalam sistem kekuasaan politik.

Menariknya, elektabilitas AHY juga tampak merangkak, seperti hasil survei yang dirilis SMRC pada Desember 2017 lalu, yang menempatkan AHY memiliki elektabilitas 12,7 persen, terpaut lebih tinggi dibanding Prabowo yang hanya 10,5 persen. Menarik bukan?

Melihat pada perolehan hasil survei para kandidat capres berdasarkan persepsi masyarakat, memang seringkali menjadi acuan siapapun untuk berhitung secara cermat, siapa yang pantas menjadi capres altenatif untuk menundukkan Jokowi di panggung politik.

Beberapa kandidat yang sempat ramai di publik, seperti Gatot Nurmantyo, Muhaimin Iskandar, atau Zulkifli Hasan nampaknya masih sulit untuk mengalahkan elektabilitas Jokowi maupun Prabowo. Memang, ada isu pembentukan “poros baru” yang akan mengusung kandidatnya sendiri di luar capres Jokowi dan Prabowo walaupun hal ini masih sulit diwujudkan, mengingat calon alternatif yang ada kemungkinan diambil dari kader internal parpol, bukan berasal dari luar.

Jika untuk sekadar memenuhi 20 persen presidential treshold, maka sangat mudah membuat poros ketiga, namun kenyataan menentukan siapa capres alternatif-nya, saya rasa akan mengalami kesulitan tersendiri.

Munculnya isu poros ketiga memang akan menambah semarak di ajang pesta demokrasi, karena akan ada tiga pasang capres-cawapres yang berkontestasi sehingga masyarakatpun dapat menyalurkan aspirasi politiknya secara lebih beragam. Keberadaan poros ketiga inipun pada akhirnya menunjukkan, bahwa ada kekuatan politik yang menginginkan calon alternatif di luar ketokohan Jokowi dan Prabowo yang hanya akang mengulang pertarungan head to head seperti di pemilu sebelumnya, tentu ini bisa sangat membosankan.

Saya kira, persepsi masyarakat pun mengharapkan demikian, karena mereka yang kurang cocok dengan kedua capres yang kemungkinan akan berkontestasi, mendapatkan alternatif lain sebagai pilihan politiknya disaat pemungutan suara berlangsung.

Di tengah ramainya tokoh-tokoh parpol menyodorkan dirinya agar mau dilirik menjadi pendamping Jokowi, keberadaan poros baru di luar kandidat yang ada untuk mengusung calon alternatif sebagai capres justru akan sangat menarik. Sejauh ini, PAN, PKB, dan PD belum menentukan sikap soal dukungan politik mereka untuk bergabung atau tidak dengan parpol koalisi pendukung pemerintah.

Beberapa parpol koalisi memang sudah mendeklarasikan dirinya untuk mendukung Jokowi sebagai capres pada 2019 mendatang, sehingga masih mungkin muncul alternatif lain—seperti gagasan poros baru—yang mungkin saja menyodorkan nama capres yang mampu menjadi penantang di antara dua kandidat yang terlebih dulu ada.

Berbicara soal layak atau tidak mengenai capres alternatif ini, tidak mesti diukur oleh estimasi hasil survei sebagai pedoman umum yang biasanya dijadikan landasan mengukur sebuah kekuatan politik. Saya kira, politik itu dinamis, sedinamis cara pandang setiap orang terhadap apa itu politik dan siapa orang-orang yang berada di balik penentu kebijakan politik.

Dalam dunia politik apapun bisa terjadi, bahkan seringkali di luar dugaan berbagai kajian para pengamat atau perkiraan hasil survei. Bukankah Emmanuel Macron yang saat ini menjadi presiden Perancis dulunya adalah orang yang tak dikenal di tengah dominasi wajah lama perpolitikan di negaranya? Macron hanya butuh waktu tiga tahun membangun karirnya sebagai penasihat pemerintah, lalu menjadi capres alternatif yang memenangkan pemilu di Perancis.

Saya kira, capres alternatif itu perlu dan sangat penting, di tengah kerinduan bangsa ini dipimpin oleh wajah baru yang mampu menyegarkan hiruk pikuk politik yang belakangan hampir-hampir saja melahirkan konflik.

***

Editor: Pepih Nugraha