Tentang Seorang Pendukung Prabowo Subianto yang Berganti Pilihan

Senin, 12 Maret 2018 | 15:44 WIB
0
1144
Tentang Seorang Pendukung Prabowo Subianto yang Berganti Pilihan

Memang benar, bahwa dalam kehidupan di dunia ini tiada yang abadi. Kenisbian selalu saja ada di dalamnya, dan setiap saat akan terjadi tanpa diduga-duga. Sebagaimana yang baru saja kami alami baru-baru ini.

Kunjungan salah seorang sanak keluarga yang sudah lama bermukim di ibu kota Jakarta, selalu saja mendapat sambutan luar biasa dari kami maupun para tetangga. Selain karena lama tidak berjumpa, juga – tentu saja, oleh-olehnya yang istimewa, karena di kampung kalaupun ada merupakan sesuatu yang langka.

Begitu pula cerita mengenai situasi dan kondisi Jakarta yang biasanya hanya bisa disaksikan lewat televisi, akan semakin lengkap saja bila mendengarkan langsung dari orang yang memang kesehariannya berada di tengah hiruk-pikuk keramaiannya. Paling tidak sebagai saksi mata, apa yang dirasakan dan dialami sehari-harinya, akan menjadi fakta yang sulit untuk terbantahkan lagi.

Bagi keluarga di kampung, segala peristiwa yang disaksikan lewat layar televisi selalu saja ditanyakan kebenarannya. Karena terkadang antara satu stasiun televisi dengan stasiun televisi yang lainnya, dianggap berlainan dalam menyampaikan satu berita sama.

Misalnya saja tentang elektabilitas Presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto, hasil survey yang diberitakan stasiun televisi A misalnya, menyebut suara dukungan kepada Jokowi menduduki posisi teratas. Sedangkan yang disampaikan stasiun televisi B justru Prabowolah yang berada di puncak tertinggi, sedangkan elektabilitas Jokowi malah melorot anjlok.

Sedikit tentang keluarga kami yang telah menjadikan Jakarta sebagai ladang kehidupannya, tak lain sebagaimana para kaum urban lainnya juga. Bermula dari mengikuti kakaknya yang sudah terlebih dahulu mengais nafkah di kota terbesar di Indonesia itu.

Alasan utamanya untuk melanjutkan pendidikan, karena di kampung kami saat itu belum ada SMA. Alasan lainnya, dengan mengikuti kakaknya yang kehidupannya sudah cukup mapan, paling tidak biaya sekolahnya pun, tentu saja akan mendapat subsidi juga. tidak hanya mengandalkan orang tuanya yang memang sudah tua dan hanya mengandalkan dari hasil mengolah sawah saja.

Setelah tamat SMA, ia pun melanjutkan studinya di perguruan tinggi hingga mendapat gelar sarjana, dan tak lama kemudian mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang pendidikan yang telah dilakoni sebelumnya.

Oleh karena itu, sebagai seorang berpendidikan tinggi, dalam menyampaikan informasi pun sepertinya selain mudah difahami, juga mustahil akan membohongi kami, warga kampung yang haus informasi. Seperti juga halnya saat Pilpres 2014 lalu, beberapa orang keluarga dan tetangga, diajak olehnya untuk memilih Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Karena sosok mantan menantu penguasa orde baru itu selain berlatar belakang militer, juga memiliki berbagai syarat lainnya untuk menjadi pemimpin di negeri ini.

Pokoknya saudara kami itu begitu piawainya mengobral puja dan puji jenderal bintang tiga yang konon dipecat dari kemiliterannya itu. Sepertinya saudara kami memang salah seorang warga Jakarta yang menngidolakan anak begawan ekonomi, Soemitro Djojohadikusumo.

Sehingga, tak syak lagi, tanpa reserve lagi laiknya, saat itu banyak keluarga dan tetangga yang menjatuhkan pilihannya di bilik suara untuk mencoblos gambar Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Terbukti di Jawa Barat pasangan itu mampu mendulang suara lebih banyak dari pasangan Jokowi-JK.

Demikian juga ketika sedang ramai-ramainya menjelang Pilkada DKI Jakarta tempo hari, saudara saya itu tampaknya menjadi pendukung fanatik pasangan Anies-Sandi. Karena ketika yang bersangkutan pulang mudik ke kampung kami, pasangan tersebut tak lepas dari puja-puji yang dilontarkan dari mulutnya.

Terlebih lagi ketika itu yang menjadi rival beratnya tersandung kasus penistaan agama, nama Basuki Tjahaja Purnama pun dihujatnya juga. Maka sebagian keluarga dan tetangga pun saat itu ikut-ikutan juga bersikap seperti saudara kam, warga Jakarta itu. Hanya sayangnya mereka tak ikut mencoblos pasangan Anies-Sandi, karena tidak memiliki KTP Jakarta memang.

[irp posts="11390" name="Kecuali Spongebob, Jokowi Maupun Prabowo Butuh Pencitraan"]

Akan tetapi di dalam kunjungannya ke kampung kami belum lama ini, saya menangkap suatu perubahan yang drastis sekali pada saudara kami ini. Selain tentu saja usianya yang bertambah tua, dengan perubahan penampilannya yang tampak nyata, juga dalam sikap, dan pandangannya terhadap sesuatu hal yang terjadi menjadi lain dari sebelumnya.

Ketika kami menanyakan pendapatnya tentang Pilpres 2019 mendatang misalnya, lalu apakah pilihannya akan tetap kepada Prabowo Subianto seperti tempo hari? Alangkah kagetnya kami saat mendengar jawabannya yang lugas dan tegas. Bahkan jauh dari perkiraan. Kalau masih diberi kesempatan sampai saatnya nanti, katanya, dirinya sama sekali tidak akan memilih Prabowo lagi. Inshaallah, sejak sekarang dirinya akan menjatuhkan pilihan kepada Jokowi!

Adapun alasannya karena sikap Prabowo dan orang-orang di dekatnya tak lagi membuatnya menaruh simpati. Selama ini, dia menilai, kehidupan berbangsa dan bernegara yang centang-prerenang, dianggap ada campur tangan ketua umum partai Gerindra. Pernyataan Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang disebutnya kaki tangan Prabowo, semakin  menambah munculnya disintegrasi dalam tali kebhinekaan yang selama ini sudah rapuh akan semakin hancur saja.

Padahal sebagai calon Presiden yang telah menelan kekalahan, dan berniat untuk maju kembali dalam ajang pemilihan yang sama di waktu yang akan datang, seharusnya Prabowo bersikap lebih arif bijaksana lagi. Bagaimana caranya, kata saudara saya itu seakan memberi pesan, agar rakyat mau menjatuhkan pilihan terhadap dirinya, bukan dengan cara frontal menjelek-jelekkan pemerintah, bahkan sampai menyindir pribadi Jokowi. Karena dengan sikap semacam itu, selain dianggap perbuatan tercela oleh agama, bisa jadi juga sikap seseorang  yang semula merupakan pendukung setianya, lama-lama akan merasa jengah juga.

Memang mengkritik pemerintah tak dilarang, tetapi kalau sudah kebablasan, bahkan sampai melewati batasan etika dan moral, tak ada pilihan lain, katanya, lebih baik mengucapkan salam perpisahan saja.

Mendengar pengakuannya, seketika kami takjub dan terpukau dibuatnya. Paling tidak perubahan pada diri seseorang, begitu cepatnya terjadi hanya karena menyaksikan sikap dan perilaku idolanya yang dianggap tidak berkenan dengan hati sanubarinya.

***

Editor: Pepih Nugraha