Hoax atau Propaganda Politik?

Sabtu, 10 Maret 2018 | 20:42 WIB
0
914
Hoax atau Propaganda Politik?

Di era digital, hoax sudah menjadi bagian dari propaganda politik. Itu sebabnya sikap orang terhadap hoax tak ada bedanya dengan sikap mereka terhadap propaganda pada umumnya: selalu mendua. Ia dicela jika merugikan diri atau kelompoknya, tapi dibiarkan jika sebaliknya.

Sebagai bagian dari propaganda, sebagian besar orang sebenarnya paham jika hoax tidak mengandung kebenaran apapun. Jadi, kalau kita bertanya kenapa hoax gampang sekali direpro secara massif, barangkali bukanlah karena sebagian besar orang benar-benar tidak sanggup mengenali kebenaran, melainkan karena mereka memang terlibat dan berkepentingan dengan maksud yang bekerja di balik propaganda kepalsuan tersebut.

[irp posts="12030" name="Gara-gara Hoax Pil Mandul" di Facebook, Srilanka Pun Membara"]

Tentu ada sebagian kalangan yang benar-benar bisa dianggap sebagai murni-korban, namun selebihnya bisa jadi merupakan bagian dari sukarelawan, kaum propagandis hoax.

 

Apakah hoax sedemikian mengerikannya?!

"Kebenaran", dalam tanda petik, sebenarnya selalu diciptakan, tak pernah benar-benar hadir dalam wujudnya yang telanjang.

Jauh sebelum jaman internet, blog, dan media sosial, misalnya, kebenaran hanya bisa difabrikasi oleh institusi seperti agama, negara dan media-media arus utama.

Era media sosial telah mengubahnya, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menciptakan dan menyebarkan kebenaran versinya sendiri.

Jadi, di balik kekhawatiran terhadap hoax, sebenarnya tidak selalu tersimpan kepentingan untuk menyelamatkan kebenaran, karena di baliknya bisa juga tersembunyi kepentingan dari mereka yang selama ini memonopoli fabrikasi kebenaran.

Sejak awal isu mengenai hoax ini jadi perbincangan di media sosial, saya tetap berpandangan jika masalah terburuk kita bukanlah memilah hoax dari bukan-hoax, karena hanya orang-orang idiot saja yang akan menjadi korbannya.

Masalah terburuk kita adalah harus mengenali hoax-hoax bersertifikasi yang selama ini diproduksi oleh institusi resmi. Sebab, orang-orang yang merasa dirinya intelek seringkali menjadi korbannya.

***

Editor: Pepih Nugraha