Hiruk pikuk dan adu debat tentang Calon Presiden mendatang mulai bergulir. Banyaknya partai politik mendukung Presiden Joko Widodo memunculkan kecemasan di pihak lain melihat perkembangan yang terjadi. Banyak yang berkomentar tidak elok capres tunggal. Minimal ada dua capres, sehingga masyarakat diajak berdemokrasi sesungguhnya.
Bangsa Indonesia mengalami apa yang dinamakan Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila. Kita menyaksikan presiden yang akan diangkat seumur hidup. Kita pun mengalami presiden yang pernah menjabat 32 tahun, dan didukung oleh Golongan Karya. Golongan Karya, dulu semasa Presiden Soeharto berkuasa enggan memakai imbuhan Partai. Jadi cukup Golongan Karya saja.
Di masa Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, Golkar memperoleh hak istimewanya. Di masa ini, seorang Presiden memegang tiga wewenang sekaligus. Dia adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI), dia adalah Kepala Eksekutif dan sangat kontroversial, dia juga adalah Ketua Dewan Pembina Golkar.
Sementara, kedua partai politik lainnya, masing-masing Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) seakan-akan terpinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang kalimat “seakan-akan” memberi arti bahwa tidak terlalu terlihat apa yang dilakukan oleh Presiden. Jika ada acara-acara ketiga partai tersebut, Presiden selalu menghadiri acara Golkar.Tetapi kalau berlangsung acara dua Partai Politik lainnya, yang hadir cukup wakil yang ditunjuk oleh Presiden. Pada waktu ini, tidak ada kata kalah dalam kamus Golkar jika sedang melaksanakan Pemilihan Umum. Golkar selalu menang.
[irp posts="9070" name="Wajar PDIP Iri kepada Golkar Yang Dimanja Istana"]
Tetapi pada 21 Mei 1998, Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto lengser dari jabatan Presiden Republik Indonesia. Sudah tentu Golkar ikut terseret ke dalamnya dan dianggap bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan Soeharto selama 32 tahun. Golkar dihujat, dicaci maki, malah ada yang berkeinginan agar Golkar dibubarkan.
Keinginan membubarkan Golkar ini bukan hanya datang dari sebahagian masyarakat, tetapi juga dari penyelenggara negara di masanya, sebut saja Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika mengeluarkan Maklumat Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur memaklumkan di poin ke-3 nya untuk membekukan Golkar dengan dalih untuk menyelematkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur Orde Baru. Akhirnya sejarah berkata lain, keinginan untuk membekukan Golkar ditolak Mahkamah Agung.
Di era Reformasi, pada 7 Maret 1999 Golkar mendeklarasikan diri sebagai Golkar “baru,” di bawah Ketua Umumnya, Ir.Akbar Tandjung. Di Pemilihan Umum, Juni 1999, Golkar sudah memakai imbuhan Partai. Lengkapnya Partai Golkar. Pada waktu ini masih meraih suara kedua, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Partai Golkar terus berbenah diri. Ketua Umumnya silih berganti, dari Akbar Tandjung ke Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Setya Novanto dan kini Airlangga Hartarto. Pernah Partai Golkar menghadapi dilema yaitu saat pencalonan Aburizal Bakrie sebagai Presiden RI mengundang kritikan-kritikan tajam, terutama dari Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla. Elektabilitas Aburizal tidak pernah mampu menandingi calon-calon Presiden RI lainnya. Ada imbauan saat itu agar Aburizal mundur saja dari pencalonan dan menggantinya dengan kader-kader Golkar yang lain.
Di detik-detik terakhir Aburizal masih tetap ngotot menjadi Calon Presiden RI. Bahkan hingga Rapimnas Golkar terakhir ada kalimat yang seakan-akan mengatakan, Aburizal adalah satu-satunya wakil sah yang diusung partai berlambang beringin itu untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden RI. Jika ada kader-kader Golkar yang mendukung calon lain selain Aburizal Bakrie, maka silahkan mengundurkan diri dari jabatan strukturalnya. Faktanya, bisa kita saksikan banyak yang mengundurkan diri.
Di calon partai lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkembang pula gerak cepat dinamika partai. PDI-P memilih Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Wakil Presiden RI mendampingi Joko Widodo.
[irp posts="9970" name="Jokowi Bukan Prabowo Bukan, Siapa Capres Dambaan Amien Rais?"]
Sepertinya Partai Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie salah tingkah. Mereka menerima jabatan setingkat Menteri dan tidak lagi mendesak jabatan Wakil Presiden atau Presiden, karena posisi itu sudah diisi partai-partai yang berkoalisi lebih dulu. Akhirnya Partai Golkar berlabuh ke Calon Presiden Prabowo.
Memang ada persoalan , mengapa Partai Golkar secara resmi mendukung Gerindra waktu itu, tetapi yang jelas jelas, Calon Presiden dan Wakil Presidennya berasal dari partai lain. Sementara PDI-P mengusung Jusuf Kalla, mantan Ketua Umum Golkar sebagai Calon Wakil Presiden RI?
Nah, boleh jadi jika nantinya Aburizal Bakrie suatu ketika tidak menjabat Ketua Umum Partai Golkar menjadi Calon Presiden atau Wakil Presiden, boleh saja kader Golkar yang resmi pun tidak wajib mendukungnya. Kalau demikian, apa yang terjadi sekarang ini di Partai Golkar. Sudah tidak adakah rasa soliditas dan solidaritas di antara sesama kader? Kalaulah bisa disebut politik dua kaki, tetapi tidak eloklah melakukan hal demikian. Kecuali kalau Jusuf Kalla bertarung bukan sebagai Calon Wakil Presiden RI.
Inilah situasi yang terjadi sekarang ini di tanah air. Memang hendaknya menjadi pelajaran, calon tunggal itu sungguh tidak sesuai diterapkan di Indonesia.
Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews