Pondok Pesantren Waria (3): Waria Pun Punya Sejarah

Selasa, 6 Maret 2018 | 20:53 WIB
0
1114
Pondok Pesantren Waria (3): Waria Pun Punya Sejarah

Oleh: Novia Nurist Naini

Dalam sejarah kehidupan manusia tidak ada arsip yang mencatat pada abad atau tahun berapakah waria ini muncul. Namun, dalam Suyana, sejarah bangsa Yunani tercatat adanya kaum waria pada abad ke XVII yaitu munculnya beberapa waria kelas elite seperti Raja Henry III dari Prancis, Abbe de Choicy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New York tahun 1702, Lord Cornbury. Pada waktu itu para dukun pria di Turco-Mongol di Gurun Siberia kebanyakan memakai pakaian wanita.

Jika dilihat kembali dukun-dukun seperti itu dapat dijumpai di negara Malaysia, kepulauan Sulawesi, Patagona, kepulauan Aleut dan beberapa suku Indian di Amerika Serikat. Oman terkenal dengan xanith. Konon, xanith diperbolehkan untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai bahaya dan pekerjaan sehari- hari.

“Menurut sejarah, di Oman pelacuran perempuan sangat jarang dan seandainya ada harganya sangat mahal, xanith kemudian beralih fungsi sebagai pelacur dengan harga yang terjangkau oleh kelas ekonomi bawah sekalipun. Busana yang dipakai xanith mengandung dua fungsi yaitu sebagai budaya dan sebagai daya tarik seksual ketika mereka berfungsi sebagai pelacur. Berbagai catatan tersebut, tidak jelas apakah mereka benar- benar kaum waria yang fenomena psikologisnya sebagai gejala transsexual atau sekedar gejala transvestet.” (Suyana, 2013: 40).

Di Indonesia, budaya waria memang tidak secara khusus seperti di Oman, Turco-Mongol, atau tempat- tempat lain (Nadia, 2005:53). Namun, bukan berarti kita tidak dapat menemukan fenomena kemunculan waria.

Kita dapat melihat bagaimana makna kesenian warok yang ada di Ponorogo di Jawa Timur. Nah, para warok ini memiliki kesaktian yang luar biasa dan sangat kebal serta kuat. Dalam setiap warok dapat dipastikan memiliki gemblakan, gemblakan ialah laki-laki yang berumur 9-17 yang bertugas seperti pembantu rumah tangga pada era sekarang.

Namun, selain membantu membereskan keperluan rumah gemblakan ini juga bertugas membantu para warok dalam memenuhi kebutuhan seksual para warok. Ini dilakukan karena dalam mencapai ilmu yang tertinggi para warok dilarang untuk berhubungan intim dengan wanita, jadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan seksual para warok, pria lah yang digunakan dalam memuaskan hasrat nafsu para warok.

Hal inilah yang menjadikan cikal bakal berkembangnya waria, karena para gemblakan yang di pelihara oleh para warok ini diperlakukan seperti wanita dan mendandani mereka seperti wanita pula.

Menurut Suyana (2013: 41) Di Kalimantan, Suku Dayak Ngaju mengenal pendeta perantara (medium-priest) yang mengenakan pakaian lawan jenis. Basir adalah seorang laki-laki, namun dalam segala hal dia berperilaku sebagai perempuan.

Di Sulawesi suku Makasar juga terdapat fenomena serupa yaitu Bisu (laki-laki yang diberi tugas menjaga pusaka), dan seorang Bissu diharamkan mengenakan pakaian perempuan, dilarang berkomunikasi dan dilarang berhubungan badan dengan perempuan.

Hal ini dilakukan demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya, dengan demikian jelas bahwa waria bukanlah sebuah produk modernisasi. Budaya waria barangkali sama panjangnya dengan sejarah dan keberadaan kaum homoseksual. 

Pesantren Waria Al Fatah Jogja

Ponpes Waria lahir tanggal 8 Juli 2008 dan di prakarsai oleh Maryani (salah seorang waria dari Jogjakarta yang juga merupakan ketua IWAYO atau Ikatan Waria Yogyakarta 2010-2012). Berlatarkan pengalaman mengikuti kegiatan pengajian dalam jamaah Kyai H. Hamroli Harun, beliau mencetuskan ide untuk mendirikan Ponpes Waria yang kemudian diberi nama Ponpes Waria “Senin- Kamis Al-Fatah”.

Pada saat itu dari sekian banyak jamaah hadir, hanya Maryani yang merupakan satu-satunya waria. Namun itu tidak menjadi halangan buat Maryani untuk mencari ilmu di samping juga mayoritas jamaah tidak mempersoalkan ke-wariannya yang selama ini identik dengan dunia cebongan (pelacuran) dan perilaku menyimpang lainnya.

Beberapa saat setelah aktif mengikuti pengajian KH.Hamroemli Harun, Maryani yang kala itu masih tinggal di kampung Surakarsan, berinisiatif menggelar pengajan di rumahnya, dengan harapan dengan adanya pengajian tersebut dapat mengajak teman-teman warianya yang lain untuk ikut serta dalam pengajian itu, dan juga sebagai wujud pembuktian pada masyarakat bahwa waria tidak hanya semata-mata hidup dalam dunia pelacuran dan perilaku yang menyimpang lainya. Iya, profesi teman-teman waria disini adalah PSK, pengamen, pekerja salon, penata rias.

Pengajian waria lalu dibuka oleh Maryani yang dilakukan rutin setiap malam Rabu Pon untuk umum. Jamaah pengajian ini kurang lebih lima puluh orang, dua diantaranya adalah waria (hanya dua). Pengajian ini rutin apik, hingga gempa Jogja 2006 bulan Mei memberhentikan rutinitas ini. Banyak waria meninggal dunia, dan luka-luka.

Pasca-gempa, Bu Maryani kembali mengumpulkan teman-teman waria di rumahnya yang baru di Notoyudan untuk menggelar doa bersama. Acara ini dihadiri oleh waria dari berbagai kota di Jawa, di antaranya Surabaya, Semarang, Solo, Madiun dan Ponorogo dengan jumlah sekitar 30 orang.

Gelar doa juga diikuti dengan kunjungan ke waria-waria lain sejumlah 43 orang yang menjadi korban bencana gempa untuk memberikan bantuan baik trauma healing maupun sembako.

(Bersambung)

***

Novia Nurist Naini, Creative Writer. UGM. Turns scientific research into popular feature, untuk Selasar.com, situs tanya-jawab berbagai pengetahuan dan pengalaman paling lengkap dan keren di Indonesia.

Laporan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/03/05/pondok-pesantren-waria-2-yang-maha-dosen/