PSI, Ajian Semar Mesem dan Budaya Politik

Senin, 5 Maret 2018 | 17:24 WIB
0
555
PSI, Ajian Semar Mesem dan Budaya Politik

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang digawangi anak-anak muda belakangan tampak kian moncer. Bukan saja proses pendiriannya yang yang super cepat —karena memang berkejaran dengan waktu menjadi parpol peserta pemilu 2019— hampir dipastikan partai baru ini tak mendapat kendala apapun dari mulai proses pembentukan, sosialisasi, lolos verikasi KPU baik secara prosedural maupun faktual.

Lain halnya dengan tiga parpol lainnya yang harus berjibaku “melawan” keputusan KPU dengan menggugat secara administratif ke Bawaslu. Ketiga parpol, baik PBB pimpinan Yusril Ihza Mahendra, PKPI Hendropriyono, dan Partai Idaman si Raja Dangdut Rhoma Irama, serasa masih kecewa karena gagal mendapat tiket sebagai peserta pemilu 2019. Hanya PBB yang baru-baru ini sukses memenangkan gugatannya dan tiket sebagai kontestan di pemilu 2019 sudah dikantonginya.

PSI sepertinya mempunyai “ajian semar mesem” yang konon dalam legenda jaman dahulu merupakan ilmu yang khusus untuk menaklukan hati seseorang atau siapapun dalam banyak hal. Buktinya PSI yang relatif muda dalam kiprah politik, berhasil “menundukkan” banyak pihak, termasuk juga “meluluhkan” hati Presiden Joko Widodo yang saat pertemuannya di Istana Negara, beberapa pengurus PSI dihadiahi tips soal bagaimana meraih kemenangan di pemilu 2019 mendatang.

Kok bisa? Ya, tentu saja bisa, karena “ajian semar mesem” mampu menembus siapa saja, tak terkecuali presiden! Pertemuan PSI dan Jokowi di Istana Negara yang semestinya merupakan pertemuan informal—antara kepala negara dan rakyat—memang seharusnya tidak terlampau jauh bicara soal menang-kalah dalam pemilu, cukup nasehat saja yang baik.

Bangsa ini tentu saja sedang belajar menjadi semakin dewasa dalam berpolitik, termasuk bersikap fair dan menerima apapun risiko yang terjadi dalam sebuah proses politik. Kita sedang menuju proses apa yang dinamakan sebagai “pematangan” budaya politik. Semua proses ini terserap secara psikologis dalam diri setiap anak bangsa ke dalam sisi kognitif, afektif, dan terus menerus berdialog dalam ruang-ruang evaluatif.

[irp posts="8689" name="Cara Grace Natalie Pimpin PSI Himpun Fundrising"]

Jika dulu, kita masih kaku dan takut-takut dalam berpolitik, kini mulai bebas dan terbuka, bahkan terkadang juga kebablasan. Proses-proses politik yang dulu diatur, ditentukan, dan dipaksakan secara terstruktur melalui pusat dan didistribusikan ke daerah-daerah, kini proses itu relatif terbuka dan bahkan terkesan sangat bebas, karena siapapun boleh berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik.

Ketika sebuah budaya politik yang sudah baik tercipta, melalui kematangan dalam hal politik dan seluruh proses-proses yang melingkupinya, maka sudah semestinya tak perlu lagi ada pihak yang menjalankan praktik politik “aji mumpung”, sehingga proses belajar kedewasaan berpolitik justru dirusak oleh kondisi-kondisi seperti ini.

Barangkali, inilah yang menjadi kritik salah satu pakar politik, Siti Zuhro yang dialamatkan pada PSI ketika mengungkap pertemuannya dengan Jokowi di Istana. Dirinya menyebutkan, bahwa sebagai Presiden, Jokowi seharusnya mampu merawat etika politik agar nilai-nilai budaya politik yang kompatibel dengan demokrasi, terbangun (Detik.com, 5 Maret 2018).

Sejauh ini, nilai-nilai budaya politik yang ada dan dipedomani oleh seluruh elemen anak bangsa sudah semestinya dimatangkan, bukan kemudian dimentahkan lagi untuk dimasak. Jika budaya politik partisipan yang menjadi ciri dari bangsa ini, maka keberagaman cara pandang terhadap seluruh sistem politik, harus tetap dijaga dan dihargai.

Presiden sebagai “simbol negara” harus juga bersikap netral dalam berpolitik, bukan malah bersikap tebang pilih atau membedakan mana parpol yang dianggap “menguntungkan” dirinya dan mana yang tidak.

Saya kira, “ajian semar mesem” yang ditebar oleh PSI, sepertinya meluluhkan hati Presiden, sehingga terkesan “menganakemaskan” parpol baru ini dan tentu saja membuat parpol lain gerah dibuatnya.

Terlepas dari praktik “ajian semar mesem” PSI yang dikelola sebagai sebuah “siasat” politik, mengedepankan etika politik dalam balutan kematangan budaya, tentu saja harus tetap didahulukan. “Anak muda” yang baik, tentu saja harus memberikan contoh yang baik kepada para “orang tua” yang notabene memiliki segudang pengalaman yang lebih banyak dalam urusan-urusan politik.

Jika benar bahwa PSI adalah sekumpulan anak muda yang hasrat politiknya sedemikian membara, maka janganlah lupa ada etika yang senantiasa dibawa agar tetap menjadi citra baik dalam suasana berpolitik. Belum juga apa-apa, PSI sudah dilaporkan oleh parpol lain, karena hasrat politiknya telah mengalahkan etika dan malah menjadi sebuah “perang terbuka”.

[irp posts="8691" name="Politik Kekinian Gaya Partai SoIidaritas Indonesia"]

Memang, berpolitik itu menyusahkan, “Leiden is Lijden!”, demikian kira-kira ungkapan KH Agus Salim yang jika diartikan bebas kira-kira, “menjadi pemimpin atau berpolitik itu berat dan menderita”, jadi wajar jika salah sedikit saja sudah siap dengan risiko-risiko sulit yang harus dihadapi. Hal ini nampaknya mulai menjadi bulan-bulanan PSI, termasuk menempatkan nama Sunny Tanuwidjaja—mantan staf Ahok—yang juga dikritik setelah diketahui masuk dalam jajaran dewan pembina partai.

Hal ini juga yang membuat sang sekjen partai, Raja Juli Antoni tampak sibuk memberikan komentar dan klarifikasi dalam berbagai media. Namun demikian, posisi PSI yang terkesan di atas angin, nampaknya bergeming, bahkan akan meladeni dengan “terharu” setiap gugatan dari pihak manapun yang mempersoalkan partai berlambang bunga mawar ini secara hukum.

Saya cukup salut dengan kumpulan anak muda cerdas dan pemberani yang tergabung dalam PSI, walaupun menilai parpol baru ini secara berlebihan, juga belum teruji secara baik dalam kancah kontestasi politik. Atau jangan-jangan, karena parpol ini memiliki “kedekatan” dengan penguasa, sehingga tampak terkesan menunjukkan kekuasaannya.

Ya, mungkin saja, karena “ajian semar mesem” yang sejauh ini mampu “menaklukkan” mereka yang berkuasa dan sukses “menyalip” parpol-parpol lain yang sesungguhnya digawangi para “orang tua” yang sudah makan asam-garam dalam perhelatan dunia politik. Untungnya, parpol besutan Yusril Ihza Mahendra lolos dan diterima sebagai parpol peserta pemilu 2019, namun jika tidak, saya membayangkan, betapa tidak matangnya budaya politik di negeri ini.

Lalu, jika yang lain dapat lolos dan mendapatkan tiket ke gelanggang perhelatan kontestasi politik nasional dan yang lainnya tidak, apakah kira-kira tersangkut soal administratif? Saya kira, tidak semudah itu persoalannya. Membuat dan menekuni berdirinya parpol baru-baru ini, sudah pasti harus mempunyai dana yang tak mungkin sedikit, bisa berpuluh-puluh kali lipat dari sekadar mahar politik bagi seseorang menjadi kontestan politik.

Saya kira, banyak parpol-parpol baru yang ditolak, lagi-lagi tak sekadar minimnya soal prosedural adminsitratif, tapi lebih kepada kurang modal, karena membuat partai bak membuat sebuah perusahaan multinasional.

Jadi, berpikir modal politik saat ini justru lebih rasional daripada soal etika dan membangun nilai-nilai budaya politik yang dapat lebih mendewasakan masyarakat politik. Kecuali, jika memang terlebih dahulu mempelajari “ajian semar mesem” yang pada akhirnya mampu “menaklukkan” banyak pihak, termasuk para pemodal, penguasa, struktur dan lembaga-lembaga politik yang telah ada.

Santunlah dalam berpolitik, kedepankan etika, untuk kematangan budaya politik kita!

***

Editor: Pepih Nugraha