Memahami Ustad Abu Bakar Ba'asyir

Minggu, 4 Maret 2018 | 06:21 WIB
0
1235
Memahami Ustad Abu Bakar Ba'asyir

Ustad Abu Bakar Ba’asyir divonis 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2011 karena dinilai telah terbukti merencanakan dan menggerakkan pelatihan militer bersama Dulmatin atau Yahya alias Joko Pitono.

Setelah dijatuhi vonis, ustad Abu Bakar Ba’asyir menjalani hukuman di Lapas Nusakambangan. Di Lapas ini ia sering dikunjungi oleh keluarga dan sahabat atau para jamaahnya. Karena lagi ramai-ramainya ISIS dan takut ustad Abu Bakar Ba’asyir dijadikan rujukan atas fatwa-fatwanya, maka ia dipindahkan di penjara Gunung Sindur, Bogor, yang sangat super maksimum keamananya dan tidak bisa bebas bertemu dengan siapapun juga, kecuali keluarganya.

Sewaktu masih di Lapas Nusakambangan, Ustad Abu Bakar Ba’asyir tidak mau makan-makanan yang disediakan oleh petugas lapas seperti narapida lainnya, tetapi memasak sendiri atau yang sudah disediakan oleh keluarga.

Karena faktor usia yang sudah berumur yaitu 80 tahun, maka wajar kalau ia sering sakit-sakitan dan mengalami pembengkakan di kedua kakinya.

Karena sakit itu sering kali ia tidak bisa bebas melakukan pengobatan di rumah sakit yang ia inginkan, tetapi harus melalui prosedur yang rumit dan ini wajar karena ustad Abu Bakar Ba’asyir terkena vonis dalam kasus terorisme.

Dan berkat usaha ketua MUI Ma’ruf Amin yang kemudian menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, presiden pun mempertimbangkan masukan kyai Ma’ruf Amin.

Ma’ruf Amin mengaku, permintaannya ini sudah ia sampaikan langsung kepada Presiden dan permintaan itu langsung disetujui oleh presiden Joko Widodo.

Karena pertimbangan atau alasan kemanusiaan, maka Presiden memperbolehkan ustad Abu Bakar Ba’asyir untuk dirawat atau berobat di RSCM,Jakarta.

“Ini 'kan sisi kemanusiaan,yang juga saya kira untuk semuanya, kalau ada yang sakit tentu saja kepedulian kita untuk membawa ke rumah sakit untuk disembuhkan,” kata Presiden Joko Widodo pada acara pelantikan kepala BNN di Istana, Kamis 1 Maret 2018.

Sebenarnya kasus terorisme seperti yang di alami oleh ustadAbu Bakar Ba’asyir ini termasuk kasus yang berat dan tidak mudah untuk dapat kemudahan atau keistimewaan untuk dapat berobat di rumah sakit yang sesuai keinginannya. Antara lain karena harus dapat persetujuan Dirjen Lapas dan konsultasi dengan BNPT dan Desus 88 atau anti teror.

[irp posts="5814" name="Islam, Barat, dan Terorisme"]

Karena berkat inisatif ketua MUI Ma’ruf Amin,seperti yang telah disampaikan di atas, atas nama kemanusiaan ia diperbolehkan berobat di rumah sakit di RSCM,Jakarta.

Tentu kalau atas nama kemanusiaan, harusnya tidak hanya berlaku kepada ustad Abu Bakar Ba’asyir saja.

Karena ada ribuan narapida yang juga pengin berobat yang layak, tetapi karena narapidana tidak punya uang dan bukan seorang tokoh terkenal dan tidak punya perantara atau pihak-pihak yang memperjuangkannya, maka sulit untuk dapat ijin berobat keluar lapas. Kalaupun bisa itu juga harus pakai uang yang tidak sedikit. Banyak narapidana yang meninggal di tahanan karena sakit.

Seperti kasus korupsi mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin yang ketahuan berobat keluar lapas dan tinggal di rumah mewah.

Dan memang pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan untuk membuat aturan atau undang-undang bersama DPR untuk narapidana yang sudah berumur 75-80 tahun dalam kasus apapun, lebih baik dibebaskan dan dikembalikan keluarganya. Maksudnya biar di hari tuanya di sisa umurnya bisa menghirup udara bebas dan mempersiapkan diri atau memperbaiki diri.

Nah, bagaimana kalau di usia 75-80 tahun malah melakukan tindakan kejahatan, katakanlah kejahatan seksual? Karena pernah terjadi kakek usia 75 tahun melakukan pencabulan, di sinilah timbul masalah krusial hukum.

Kembali ke kasus ustad Abu Bakar Ba’asyir.

Banyak tokoh-tokoh agama atau ormas-ormas yang mendesak Presiden untuk memberikan Grasi kepada ustad Abu Bakar Ba’asyir berkaitan dengan kondisi fisiknya yang sudah sepuh dan sakit-sakitan.

Berkaitan dengan Grasi, Presiden juga sudah menyampaikan sampai saat ini belum ada surat mengenai permintaan Grasi tersebut. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Abolisi adalah penghapusan proses hukum atau menghentikan pengusutan perkara terhadap seseorang di mana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut.

Dan syarat Grasi yaitu mengakui kesalahannya yang telah diperbuat, berkelakuan baik selama di menjalani hukuman dan memohon pengapunan kepada Presiden. Grasi juga harus dimohonkan oleh terpidana lewat pengacaranya kepada presiden.

Menurut anak dari Abu Bakar Ba’asyir, yaitu Ba’asyir Abdul Rohim, ayahnya kemungkinan tidak mau mengajukan grasi kepada Presiden.

“Kalau mengajukan grasi, saya kira ustadz Abu Ba’asyir tak akan mau sepertinya. Karena 'kan beliau sejak awal meyakini "saya itu tidak salah. Karena saya sedang menjalankan ajaran syariat saya, sehingga beliau tidak pernah mengakui vonis yang selama ini divoniskan kepada beliau,” kata Ba’asyir Abdul Rohim.

Ba’asyir Abdul Rohim mengatakan, ustad Abu Bakar Ba’asyir keberatan mengajukan grasi karena tak pernah merasa bersalah atas kasus terorisme yang telah diputuskan majelis hakim.

Dan ini juga dipertegas oleh pengacaranya, yaitu Achmad Michdan, bahwa ustad Abu Bakar Ba’asyir tidak akan mengajukan grasi kepada presiden. Tetapi kalau undang-undang memungkinkan, biar tokoh-tokoh atau ormas-ormas yang mengajukan grasi kepada presiden.

Padahal aturan mengajukan grasi dimohonkan oleh terpidana, bukan oleh pihak-pihak lain yang tidak ada kepentingannya.

Bahkan dalam kasus bom Bali, Ali Imron, yaitu adik dari terpidana yang sudah dieksekusi mati, Muklas dan Amrozi, divoinis seumur hidup. Dan Ali Imron ini berkelakuan baik dan mengakui kesalahannya dan membantu Densus 88 dalam banyak mengungkap kasus terorisme dan sering dipinjam oleh Densus atau BNPT dalam mengungkap jaringan terorisme dan deradikalisasi.

Dan kemarin di Hotel Borobudur, Rabu 28 Februari 2018 di Jakarta dipertemukan korban-korban terorisme dan keluarga pelaku terorisme yang berjumlah kira-kira 103 mantan teroris atas inisiatif menteri Menkopolhukam, Wiranto.

Lewat adik Ali Imron, yaitu Ali Fauzi yang saat ini konsen terhadap keluarga pelaku terorisme, juga mengajukan atau permohonan pengurangan hukuman atau dibebaskan kepada Menkopolhukan yang merupakan wakil pemerintah, karena kakanya Ali Imron sudah mengakui kesalahannya dan berkelakuan baik dan banyak membantu aparat dalam mengungkap jaringan terorisme.

Kalau dari pertimbangan hukum yang layak mendapat grasi atau pengampunan, menurut saya yaitu, Ali Imron, karena telah banyak membantu Densus 88 dalam mengungkap kasus terorisme dan mengakui kesalahanya dan berkelakuan baik selama menjalani masa tahanan.

Tetapi kalau menurut pertimbangan politik, tentu ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang layak dibebaskan atau tahanan rumah. Dan berdasarkan usul presiden Joko Widodo, penahanan Abu bakar Ba’asyir lebih baik di lapas Surakarta yang dekat dengan keluarga.

Berlaku adilah, sekalipun itu terhadap keluargamu, kerabatmu atau kepada ibu-bapakmu, karena adil lebih dekat dengan taqwa.

***

Editor: Pepih Nugraha