Betulkah Palestina Tak Inginkan Peranan Penting AS?

Minggu, 4 Maret 2018 | 07:00 WIB
0
875
Betulkah Palestina Tak Inginkan Peranan Penting AS?

Masalah kemerdekaan Palestina secara "de jure," semakin sulit diharapkan, setelah melihat perkembangan terakhir, bahwa Pemimpin Palestina di Tepi Barat, Mahmoud Abbas pelan-pelan telah meninggalkan Amerika Serikat sebagai juru damai dan sebaliknya mendekati Rusia.

Mampukah Rusia melakukannya sebagaimana dahulu--waktu itu masih bernama Uni Soviet di tahun 1948- melakukan hal sama kepada masyarakat Yahudi mendirikan negara Israel? Jika ini terjadi, maka Rusia menjadi negara yang dihormati dunia di panggung internasional.

Sebelumnya Mahmoud Abbas marah besar setelah AS menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Selama ini ibu kota Israel terletak di Teluk Aviv dan Yerusalem menjadi wilayah yang diawasi pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tetapi selama ini yang kita saksikan,  pasukan perdamaian PBB tidak terlihat. Hanya pasukan Israel yang hilir mudik di wilayah Palestina, khususnya di sekitar Masjid al-Aqsa, masjid bersejarah ummat Islam. Seiring dengan itu, Palestina, menginginkan Yerusalem Barat sebagai ibu kota Palestina merdeka.

[caption id="attachment_11699" align="alignleft" width="148"] Ribbi Y Awad[/caption]

Ketika saya bertemu Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Ribhi Y Awad pada tanggal 23 Februari 1997, di Kedutaan Besar Palestina, Jakarta, yang saya tanyakan pertama sekali adalah,  kapan negara Yang Mulia merdeka secara "de jure?"

Meski secara sadar, saya berhadapan dengan seorang Duta Besar, di mana biasanya seseorang disebut Duta Besar, karena negaranya telah diakui kemerdekaannya secara "de facto," dan "de jure." Secara fakta dan hukum internasional. Yang terjadi selama ini, Duta Besar Palestina hanya diakui secara fakta dan belum diakui secara hukum internasional atau "de jure."

Beliau menggeleng-nggelengkan kepalanya, sepertinya ia ingin mengatakan, sebenarnya Anda juga tahu . Atau karena banyak sekali permasalahan Palestina yang belum terurai dengan baik, sehingga masih seperti benang kusut. Perbincangan kami, memang banyak mengulas sikap Israel yang selalu menyerang wilayah Palestina.

“Bahkan wilayah kami yang luas, kini tinggal sebahagian kecil. Sebahagian besara wilayah, sudah diambil Israel) ,” ujar Ribhi Y Awad.

Saya terdiam saja ketika pembicaraan sudah memasuki kekejaman Israel di wilayah pendudukan bangsa Palestina. Sudah tentu mendengarnya ikut terharu bercampur geram. Tetapi apa yang bisa kita lakukan sebagai bangsa Indonesia. Jika persoalan dukungan ke bangsa Palestina sudah sejak masa Pemerintahan Presiden Soekarno hingga sekarang tidak diragukan lagi.

Kemarahan bangsa Indonesia terhadap Israel sudah lama terjadi. Coba lihat ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion.

Apakah pernah ditanggapi dengan baik oleh Indonesia? Tidak. Mohammad Hatta ketika menerima ucapan tersebut hanya mengucapkan terimakasih. Tidak ada kata-kata lain. Pun Presiden Soekarno juga tidak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel.

Begitu pula sebaliknya ketika Israel memproklamirkan kemerdekaan oleh David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, Indonesia tak menanggapinya. Sudah dapat dipastikan, wilayah yang dimerdekakan Israel atas dukungan Uni Soviet itu adalah wilayah Palestina. Hasil rampasan. Sampai sekarang, hubungan diplomatik Indonesia-Israel tidak terjalin.

[irp posts="11314" name="Hubungan AS-Indonesia Setelah RI Konsisten Dukung Palestina"]

Memang ada kejadian menarik dengan Israel ketika putera bangsa Indonesia, Mayor Jenderal Rais Abin akan diangkat sebagai Panglima misi perdamaian PBB, yang bermarkas di Mesir. Selain harus disetujui oleh anggota Dewan Keamanan PBB, juga oleh pasukan PBB yang akan dipimpinnya, harus pula disetujui oleh negara yang sedang bertikai, Mesir dan Israel . Jika satu negara saja tidak setuju, maka Rais Abin gagal menjadi Panglima.

Akhirnya setelah Rais Abin bertemu Menteri Pertahanan Israel, Shimon Peres dan sudah tentu sebelumnya Rais Abin berkonsultasi dengan Sekjen PBB waktu itu, Kurt Waldheim, maka Israel diluar dugaan menyetujuinya. Sebelumnya di pikiran Rais Abin, untuk apa jadi Panglima jika tidak disetujui negara bersengketa, terutama Israel?

“...kami sudah pelajari riwayat hidup Anda, tugas Anda selama satu tahun ini sebagai Kepala Staf Pasukan Perdamaian dan Pejabat Sementara Panglima Pasukan Perdamaian PBB. Angkatan Bersenjata Israel sangat bersimpati atas pengangkatan Anda,” ujar Shimon Peres ( Dasman Djamaluddin, Catatan Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976-1979, /Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2012), hal.40.

Semua ini di luar dugaan. Negara yang tidak pernah menjalin hubungan diplomatik, kok setuju? Apa lagi sejauh ini Indonesia selalu mendukung perjuangan bangsa Palestina. Memang bagaimana pun sejak awal bangsa Indonesia mendukung perjuangan bangsa Palestina.

Terakhir yang kita saksikan, dukungan Presiden RI, Joko Widodo yang tidak hanya mendukung, tetapi juga membuka Kedutaan Besar Indonesia di Ramallah. Sangat jelas dukungan ini pun akhirnya dituangkan dalam butir-butir hasil di Peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-60 di Bandung dan Jakarta belum lama ini.

Yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa bagaimana pun juga peranan AS yang selalu mengatakan mendukung kemerdekaan Palestina tidak terealisir hingga kini, meski pendekatan-pendekatan Yahudi di negara Paman Sam itu sangat kuat. Sejauh ini Israel tetap menjadi “anak kandung” Amerika Serikat.

Banyak hal yang mendukung pendapat tersebut. Sehingga pada akhirnya sulit untuk mengatakan bahwa Palestina betul-betul didukung kemerdekaannya oleh AS. Kalau benar, bagaimana hubungannya dengan Isreal? Karena sejak bertahun-tahun, tidak terbesit sedikit pun AS-Israel tidak saling mendukung.

Kita lihat misalnya perkembangan nuklir Iran. Ketika Israel mulai cemas, suatu ketika akan diserang oleh Iran, pendekatan-pendekatan pun dilakukan oleh AS,  agar Iran mau berunding di meja perundingan tentang senjata nuklir. Lalu bagaimana dengan perkembangan nuklir Israel? Adakah yang tahu selain AS? Di sinilah letak ketidakadilan tersebut.

Belum lagi kalau kita membaca sumber tentang konflik yang semakin tidak menentu di Suriah. Dahulu pernah AS mengeluh karena tidak mengetahui kekuatan tentara Suriah sebab hubungan kedua negara tidak bersahabat.Tetapi sekarang melalui pihak oposisi dan membantunya, peta politik di Suruah semakin  terbaca. Bagaimana mungkin keadilan di Timur Tengah bisa tercipta, jika AS dan Israel diam-diam melakukan gerakan-gerakan “tak bersuara” di kawasan Timur Tengah.

Kalau kita baca perkembangan terakhir di wilayah Palestina, Hamas sudah dituduh melakukan kejahatan perang. Hal ini terjadi di saat, Vatikan dan beberapa negara lain mendukung kemerdekaan Palestina. Jadi bolehlah dikatakan , sepertinya masalah Palestina tidak segera selesai. Disebutkan oleh berbagai Kantor Berita, Amerika Serikat, Perancis dan Inggris, bahwa Amnesty International menganggap Hamas telah melakukan kejahatan perang terhadap warga sipil Palestina.

Berarti dugaan ini, menjadikan wilayah Timur Tengah semakin memanas dalam waktu dekat ini. Kalau tidak salah, Israel juga pernah dituduh melakukan kejahatan perang. Hasilnya hingga sekarang tidak ada.. Tidak satu pun keputusan yang dibuat untuk menuduh Israel terlaksana dengan baik.

Di Palestina sekarang ini Hamas berjuang di Jalur Gaza, wilayah kantong di pesisir Laut Tengah yang berbatasan dengan Israel dan Mesir. Jadi aksi keras Hamas ini memang menyulitkan Israel. Serangan-serangan Israel lebih banyak ditujukan ke Hamas, karena berbatasan dengan Israel, negara Yahudi itu sering dirugikan. Tidak jarang, benturan-benturan fisik antara Israel dan Palestina terjadi di Jalur Gaza ini.

Berbeda dengan Jalur Gaza, yang dihuni aliran keras Palestina, ada juga pejuang Palestina lainnya yang moderat dan mendiami wilayah Tepi Barat.Di sinilah Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat melanjutkan perjuangannya secara moderat, setelah berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain di Timur Tengah.

Setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, Fatah muncul dalam dunia politik di Palestina. Fatah didirikan pada tahun 1958 oleh sekelompok warga Palestina yang menempuh pendidikan di Kairo, Mesir, salah seorangnya adalah Yasser Arafat.

Pada tahun1960-an Fatah bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan tokoh sentral Yasser Arafat hingga ia meninggal dunia tahun 2004. Israel kelihatannya memang lebih suka dengan cara-cara yang dilakukan PLO dari pada Hamas.

Tetapi bagaimana pun juga untuk meraih sebuah kemerdekaan Palestina yang dicita-citakan perlu dilakukan dua jalur, jalur diplomasi dan perjuangan bersenjata. Tetapi Israel lebih dahulu terlalu pandai dalam hal memecah belah. Ketika muncul pertanyaan, kenapa Palestina belum merdeka. AS dan Israel sudah punya jawaban, bagaimana Palestina merdeka, sementara warganya terpecah di Tepi Barat dan Jalur Gaza?

Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net

***