Semangat Kebangsaan Yang Salah Alamat

Kamis, 1 Maret 2018 | 12:28 WIB
0
804
Semangat Kebangsaan Yang Salah Alamat

Islam rahmatan lilalamin penafsirannya bisa seluas samudera, bahkan lebih. Saya mau kasih contoh satu tetes saja dari segi keamanan lingkungan. Kalau melihat tayangan 86 Net TV, setiap kali Pak Polisi menemukan anak-anak muda yang nongkrong sambil minum minuman keras, Pak Polisi memerintahkan menumpahkan minuman itu ke tempat sampah, setelah itu dinasehati, minuman keras bisa menjadi pemicu kejahatan, jangan diulangi lagi. Silakan pulang ke rumah masing-masing. Bisa jadi para peminum itu adalah muslim mengingat Indonesia adalah mayoritas muslim.

Keharaman muslim minum minuman keras sangat terang benderang, sebenderang keharaman makan daging babi. Alqur’an ketika melarang minum minuman keras yang sudah menjadi kultur bangsa Arab waktu itu dilakukan secara bertahap. Mulai dari menyuruh peminumnya berpikir, bahwa lebih banyak mudharatnya daripada manfaaatnya, kemudian ditingkatkan menjadi larangan minum minuman keras sebelum sholat, sampai akhirnya melarang secara total. Bukan hanya bagi peminum, tapi juga penjual, dan pramuniaganya.

[irp posts="9003" name="Islam Nusantara dan Soal Akulturasi Agama-Budaya"]

Kalau saja satu wilayah yang mayoritas muslim patuh pada larangan minum minuman keras, Pak polisi lebih ringan kerjanya. Kejahatan jalanan akan berkurang drastis, dan tentu saja rasa aman di masyarakat bukan hanya dinikmati oleh warga muslim saja, tapi juga oleh warga non muslim. Hukum larangan minum minuman keras bisa menjadi “rahmat” bagi lingkungan.

Beda lagi pemahaman rahmatan lil alamin secara politik. Setiap musim pemilu, gencar dikampanyekan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Tergantung berada di kubu mana. Bagi politisi kubu pemerintah, rahmatan lil alamin maknanya adalah tidak menggunakan isu agama pada setiap kampanye, tidak boleh bicara politik pada setiap khutbah, termasuk bicara surah Al Maidah ayat 51. Tidak boleh mengeritik pemerintah, NKRI harga mati, Pancasila, pokoknya harus menciptakan suasana sejuk, sejuk bagi petahana tentu saja.

Demo dua satu dua saja kerap dibenturkan dengan Islam rahmatan lil alamin. Ketika peserta demo memberi contoh betapa damainya demo itu, betapa tolerannya, memberi jalan calon pengantin yang akan menikah di gereja. Pihak kontra dua satu dua selalu punya jawaban, iyalah kalian kan bikin jalanan macet, sudah sewajarnya kalian memberi jalan.

Rahmatan lil alamin secara kultural ditandai dengan gerakan Islam Nusantara. Islam yang punya ciri khusus khas Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bukan Islam ala Arab, bukan ala Eropa, bukan pula ala Asia, tapi ala Nusantara. Islam bisa berkolaborasi pada budaya Nusantara sebagai bukti bahwa Islam tidak hanya untuk bangsa Arab saja, tapi untuk seluruh alam, termasuk alam Indonesia.

Tapi pada tataran parktik, ketika sudah bernama Islam Nusantara maka dia sudah “tidak lilalamin” lagi, sudah menjadi “linusantara.” Ketika ada salah satu kultur Indonesia ingin dipaksakan penerapannya di luar alam Nusantara, tidak nyambung lagi.

Pelaksanaan sa’i dengan memasukan unsur kearifan lokal nusantara sambil membaca Pancasila memang ibadahnya tetap sah, tapi tentu saja menimbulkan reaksi negatif dan protes kerajaan Arab Saudi yang dialamatkan ke kedubes Indonesia yang akhirnya berujung permintaan maaf dari pembimbing umrah, dia mengaku khilaf.

[irp posts="9740" name="Setelah First Travel, Kini PT SBL Menipu 12.000 Calon Jamaah Umrah"]

Supaya kejadian tidak berulang lagi disebarlah pesan. "Untuk diketahui bersama, pemerintah Kerajaan Arab Saudi melarang keras segala bentuk upaya yang mempolitisasi Umrah dan Haji," kata pesan berantai dari KBRI di Arab Saudi.

Belum kering bibir permintaan maaf itu, kejadian serupa terjadi lagi. Ada yang menyanyikan lagu “hubbul wathan” (Cinta Tanah Air). Karena dua kali jatuh pada lubang yang sama, tentu saja pihak kedubes Indonesia menahan malu yang tak terperi.

Semangat kebangsaan sih bagus.Tapi hanya cocok diterapkan di alam Nusantara. Kalau sudah beda alam, lain cerita.

***

Editor: Pepih Nugraha