Datangi PGRI, Langkah Cerdas Khofifah yang Ternyata “Keliru”

Kamis, 1 Maret 2018 | 17:57 WIB
0
610
Datangi PGRI, Langkah Cerdas Khofifah yang Ternyata “Keliru”

Langkah calon gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menggelar dialog bersama ratusan guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Timur di Wisma PGRI, Surabaya Rabu 28 Februari 2018, dinilai sangat cerdas.

Kegiatan yang disebut sebagai bagian dari navigasi program Nawa Bhakti Satya yang rutin dilakukan oleh Khofifah selama masa kampanye ini cukup efektif. Apalagi, dari diskusi itu Khofifah mendengar keluhan betapa rumitnya poses sertifikasi guru.

Mengutip JawaPos.com, “Mengurus sertifikasi sangat menyita perhatian dan waktu guru. Namun seleksinya sangat ketat. Penilaiannya sangat saklek. Lagi pula, sertifikasi guru ini ditangani oleh Dikti,” ungkap Dewan Pembina PGRI Jatim Rasiyo.

“Apakah tidak sebaiknya melibatkan Mendikbud atau juga guru yang tahu pasti bagaimana kondisi guru di lapangan,” ujarnya. Masalah yang cukup kompleks lainnya yaitu honorarium Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang masih rendah.

Hal itu masih menjadi tuntutan utama para GTT dan PTT hingga saat ini. Disamping itu, para guru juga menginginkan pengangkatan status menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Para guru juga mengeluhkan statusnya agar diangkat sebagai PNS.

“Nah GTT PTT ini tidak hanya ada di SMA SMK saja, tapi juga SD dan SMP, maka harus ada sharing dengan pemerintah kabupaten-kota, kita tadi memberikan masukan tentang itu,” ucapnya, seperti dilansir JawaPos.com, Rabu 28 Februari 2018.

Mendapat keluhan tersebut, Khofifah menyampaikan siap mengkomunikasin hal tersebut kepada pihak-pihak terkait. Khusus masalah scoring system dalam sertifikasi guru yang harus bulat dengan nilai 80. Menurutnya, hal tersebut masih bisa dinegoisasikan.

“Menurut saya scoring system itu negosiable. Saya pernah jadi pansel Komnas HAM, pansel KPAI, lalu juga menerima laporan pansel saat jadi Menteri, dan tahu masing-masing tahapan seleksi punya skor sekian,” terang Khofifah.

Ke depan, Ketua Umum Muslimat NU itu akan mengusulkan agar penilaian sertifikasi guru lebih baik menggunakan sistem Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela (PDLT). Ia menilai, sistem PDLT itu masih sangat relevan untuk diterapkan saat ini termasuk penilaian guru, PNS, dan juga TNI-Polri.

“Ini yang harus didiskusikan kembali agar scoring system untuk menilai guru SMA SMK benar benar sesuai dengan kondisi riil guru SMA SMK. Ini kita diskusikan dengan PGRI. Di jaman orde baru ada kategorisasi yang masih sangat relevan untuk era saat ini yaitu PDLT. Sangat relevan karena untuk menilai empat hal itu harus jadi satu kesatuan,” pungkasnya.

Perlu dicatat, guru menjadi ujung tombak untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Jatim. Apalagi, sebaran para guru sudah mencapai pelosok 38 wilayah kabupaten-kota Jatim. Potensi guru dan segara fasilitas infrastruktur penunjangnya tentunya sangat diperlukan.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) Jatim mencatat, jumlah guru TK (2017) se-Jatim mencapai 69.089 orang untuk sejumlah sekolah TK 18.173 unit dengan murid TK sebanyak 1.069.297 siswa. Sedangkan jumlah guru SD se-Jatim mencapai 217.693 orang.

Jumlah itu untuk sekolah 19.533 unit dengan murid SD sebanyak 3.170.002 siswa. Untuk guru SMP se-Jatim jumlahnya mencapai 98.131 orang untuk sekolah 4.606 unit. Muridnya 1.223.632 siswa. Sedangkan jumlah guru SMK se-Jatim 68.336 orang.

Sekolah SMK mencapai 1.975 unit dengan murid mencapai 701.029 siswa. Sedangkan untuk guru SMA, hingga kini tercatat sebanyak 40.365 orang untuk sekolah sebanyak 1.426 unit dengan murid sebanyak 482 309 siswa (data terakhir pada 2014/2015).

Setiap kali menjelang Pilkada, beberapa bakal calon kepala daerah selalu meminta kepada guru-guru untuk membantu sosialisasi visi dan misi balon tersebut. Karena, melihat potensi jaringan para guru yang begitu luas sampai ke orang tua atau wali murid.

Melihat data BPS Jatim yang mencatat jumlah guru di Jatim di atas, potensi guru yang begitu besarnya itu tidak bisa diremehkan begitu saja. Karena, mereka tidak mengenal dengan istilah pembagian wilayah Tapalkuda, Pendalungan, atau Mataraman lagi.

Menurut DR Sugeng Harianto, potensi besar guru untuk mendulang suara saat Pilkada Jatim 2018 tersebut sangat tergantung pada apakah masing-masing pasangan calon menggunakan pengaruhnya atau tidak.

“Secara teoritik, paslon yang mempunyai sumberdaya dapat menggunakan sumberdayanya untuk mempengaruhi guru agar memilih dirinya,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial & Hukum Universitas Negeri Surabaya (FISH UNESA) itu.

Menurutnya, pendidikan itu sektor pembangunan yang paling strategis untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas ke depannya. Oleh karena itu Jatim membutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai visi misi tujuan dan sasaran strategis yang jelas.

“Salah satunya adalah komitmen anggaran, terutama untuk maayarakat strata sosial bawah. Dan, pendidikan merupakan insttumen penting untuk memutus mata rantai kemiskinan,” ujar Sugeng Harianto kepada Pepnews.com.

Ia menambahkan, untuk potensi guru dimobilisasi memilih salah satu paslon tidak semudah seperti dulu. Urusan pendidikan SMA-SMK menjadi kewenangan PemprovJatim, sementara  PAUD, TK, SD, SMP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

[irp posts="11247" name="Kasihan Khofifah, Cuma Terima “Pepesan Kosong” dari Parpol Pengusung"]

Oleh sebab itu, beberapa waktu lalu terjadi perebutan kewenangan untuk urusan pengelolaan SMA-SMK. “Saya tidak menduga bahwa perebutan itu dilatarbelakangi potensi suara guru yang besar,” lanjut Sugeng Harianto.

Kedua, Sugeng Harianto mengingatkan, masyarakat yang serba transparan sulit melakukan mobilisasi. Karena, “Resiko sangat tinggi,” ungkapnya. Jadi jelas, jika melihat potensi suara guru, tentunya paslon harus piawai dalam merebut suaranya.

Selain potensi guru, paslon yang punya akses di kalangan birokrat tentunya juga berpeluang mendulang suara pegawai negeri sipil (PNS). Karena, seperti guru, mereka ini tidak melihat pembagian wilayah seperti Tapalkuda, Pendalungan, atau Mataraman.

DR Soekarwo yang sebelum maju dalam Pilkada Jatim 2008 hanya dikenal sebagai seorang pejabat Sekretaris Wilayah Daerah Provinsi Jawa Timur (baca: birokrat), namun oleh Partai Demokrat akhirnya diusung sebagai calon gubernur Jatim 2008.

Kemenangan Soekarwo itu bukan semata-mata karena ia berasal dari Mataraman (Madiun). Tapi, karena ia berhasil “menguasai” suara dari birokrat dan kalangan guru juga. Langkah Khofifah “mendekati” PGRI itu jelas sangat cermat dan cerdas.

Ingat, satu guru itu bisa membawa 100 suara! Itu rumus yang perlu dipegang oleh Khofifah. Potensi suara guru dan birokrat tersebut akan dengan mudah “diserobot” cagub lainnya jika Khofifah lambat dalam merangkulnya.

Sayangnya, langkah yang dilakukan Khofifah dengan mendatangi Wisma PGRI itu menjadi blunder bagi dirinya. Karena, Rasiyo masih menjabat Komisaris Utama Bank UMKM Jatim. Kehadirannya ini dinilai menyalahi aturan sesuai Surat Wdaran Menteri BUMN.

Mengutip Merdeka.com, alasannya Bank UMKM Jatim merupakan salah satu BUMD milik Pemprov Jatim yang ditugasi gubernur untuk meningkatkan derajat pengusaha UMKM di Jatim dengan bantuan permodalan usaha.

Rasiyo melakukan aktivitas politiknya dengan ikut menghadiri kampanye Khofifah yang bersilaturrahmi di Wisma PGRI Surabaya. Rasiyo dalam kaitan sebagai Dewan Penasihat PGRI Jatim.

Adalah anggota DPRD Jatim Anwar Sadad dari Fraksi Gerindra yang bereaksi atas langkah Khofifah yang mendatangi Wisma PGRI tersebut. Menurut Anwar Sadad, tidak seharusnya seorang Komisaris BUMN atau BUMD melakukan kegiatan politik.

“Ada aturan tegas dan jelas dari Menteri BUMN bahwa pejabat BUMN atau BUMD dilarang berpolitik. Bisa dipidana kalau ketahuan kampanye,” tegasnya, seperti dilansir Merdeka.com. Ia pun mengutip Surat Edaran (SE) Menteri BUMN Rini Soemarno itu.

Dalam SE Menteri BUMN Nomor SE-07/MBU/10/2015 tertanggal 30 Oktober 2015 tersebut ditujukan kepada Direksi BUMN dan Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN telah jelas disebutkan larangan berpolitik bagi mereka.

SE ini berisi tentang Ketentuan Pencalonan Pejabat dan Karyawan BUMN sebagai Calon Kepala Daerah dan Larangan Penggunaan Sumber Daya BUMN dalam Kegiatan Politik Praktis Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

“Pada poin E butir b itu jelas memuat ketentuan dalam rangka menghadapi pilkada, dengan ini diminta kepada seluruh Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Karyawan BUMN untuk tidak ikut serta atau terlibat dalam kampanye pilkada,” katanya.

Nah, kalau sudah begini, tentu saja apa yang dilakukan Khofifah justru merugikan dirinya. Apa pun alasannya, mayoritas pengurus PGRI itu guru/ASN/PNS. Khofifah sudah dibidik pendukung Saifullah Yusuf – Puti Guntur Soekarno, Anwar Sadad!

***

Editor: Pepih Nugraha