Problema Layang-layang di Kota, Dilarang Salah Dibiarkan Menjengkelkan

Senin, 26 Februari 2018 | 11:45 WIB
0
677
Problema Layang-layang di Kota, Dilarang Salah Dibiarkan Menjengkelkan

Layang- layang Mengasyikkan

Sewaktu kecil di desa saya setiap kali musim angin kami pergi ke ladang, sawah kering yang jauh dari rumah main layang-layang. Benang layang sederhana hanya terbuat dari benang kain. Sangat mengasyikkan. Kami berbagi kesenangan, melupakan beban pikiran.

Tapi apalah beban pikiran kami karena sekolah belum menjadi rutinitas yang menakutkan. Habis sekolah masih bisa pergi menyusur pesawahan, mandi di sungai, bertualang mencari ikan dan makan-makanan liar yang tersedia di tepian tebing atau kebun tetangga.

Relasi dengan tetangga baik satu kampung maupun tetangga kampung masih terbangun baik. Layang-layang dan permainan-permainan kami itu memberi memori kuat pada kami oh ternyata kami masih bisa mereguk kebebasan bersama alam dan satu intinya saya dan teman-teman masih bisa menikmati masa kanak-kanak dengan wajar.

Setelah besar, setelah melewati beberapa fase kehidupan, ternyata tantangan hidup semakin berat, apalagi setelah berpengalaman hidup di gang-gang sempit Jakarta, di mana jika hujan menderas tiba tiba ketakutan datang. Banjir akan segera tiba, bencana  menjadi  pemandangan sehari-hari, dan melankoli pikiran tentu akan kembali ke masa kecil ketika masih bisa berenang di sungai, mencari ikan dengan bebas.

Di Jakarta saat banjir Anda bisa berenang tapi jangan tanya airnya berwarna apa, airnya campuran dari apa. Bisa jadi kotoran yang mengendap di got, luberan toilet, sampah pabrik,sampah rumah tangga campur menjadi satu. Anak-anak ternyata menikmati limpahan banjir itu dengan berenang dan cekikikan seperti tanpa beban.

Saya sendiri hanya bergidik melihat betapa kotornya air di perkotaan, tapi yang dihadapi saat ini adalah kenyataan hidup. Mau bertahan  sebagai kaum urban, atau pulang kembali ke desa dengan pelototan tetangga kok pulang? Mana hasil merantau? Atau jangan-jangan di kota hanya menjadi pembantu rumah tangga atau buruh yang pendapatannya mepet?

Kembali ke pokok cerita melihat anak-anak yang seakan tanpa beban menghadapi tantangan hidup di perkotaan itu saya jadi bertanya; bagaimana generasi milenial menghadapi tantangan di masa datang sedangkan masa kecilnya saja sudah susah menyesap hiburan dari alam yang tidak lagi ramah?

[caption id="attachment_11242" align="alignleft" width="472"] Layang-layang nyangkut (Foto: Validnews.co)[/caption]

Kalau melihat anak-anak main layang-layang di gang, di ruang kosong di tengah kota atau di jalanan itu adalah kebahagiaan mereka tapi tidak pada pengendara motor, tidak pada pemilik rumah-rumah yang menjadi tempat main layangan. Kami harus toleran tidak marah-marah, sementara setiap pagi kami harus membuang sampah benang berserakan bahkan membuat kendaraan roda dua saya yang sehari-hari digunakan untuk pergi bekerja mogok gara-gara benang layang yang melingkar di sela-sela gir rantai, roda dan merusak perputaran roda sehingga laju kendaraan menjadi tersendat.

Apakah harus melihat anak-anak yang ceria dan ingin melupakan beban hidupnya di perkotaan dengan mengadu layang-layang. Di situlah toleransi kehidupan perkotaan dipertaruhkan. Di satu sisi ada sejumlah kerugian akibat liarnya permainan layang-layang di kompleks tempat tinggal, tapi ada rasa kasihan melihat ruang bermain anak semakin menyempit dan akhirnya mereka berasyik masuk dengan gadget, game online, mojok di ujung gang, di lorong gelap kolong bawah jalan tol, mencoba merokok sebatang dua batang, bahkan sampai menghisap bau lem, yang membikin ketagihan.

Ini adalah problema kota. RPTRA, ruang publik untuk berinteraksi yang menyempit menjadi masalah bagi masa depan anak-anak. Mereka masih butuh ruang imajinasi, untuk mengembangkan pola pikir agar tidak terjebak dalam kejahatan pola baru karena latar belakang anak-anak yang suram.

Layang-layang Menjengkelkan

Kembali ke layang- layang. Permainan itu memang masih mengasyikkan tapi yang menjadi masalah adalah sampah-sampah benang itu. Benang-benang yang diproduksi sekarang adalah benang plastik. Sampahnya tidak mudah terurai. Lagi pula merasa harganya murah anak-anak membuang benang seenaknya setelah layang-layangnya putus.

Benang-benang itu  jatuh di genting, di ranting pohon, di tiang listrik dan di kabel-kabelnya. Keruwetan itu membuat antena tivi rusak. Bahkan benang layang-layang itu bisa membahayakan pengendara motor yang sedang melintas karena bisa melukai bahkan kalau fatal bisa membunuh, karena benang itu tidak mudah putus.

Dilema  Layang-layang

Sebuah perumpamaan tentang benang layang- layang  yang putus itu seperti perumpamaan tentang hidup seseorang yang tidak mempunyai pegangan hidup. Ia seperti sampah tidak berguna, hanya membuat orang lain susah dan tetangga marah-marah, sementara kepedulian pemiliknya hanya sementara, ia bisa mencari benang lagi dengan membeli selagi masih mempunyai uang.

Persoalan benang layang-layang itu terlihat remeh tapi sebenarnya menjadi masalah rumit. Dilemanya jika melarang anak-anak bermain  artinya kita ego telah menebas dan menghalang-halangi anak-anak menikmati masa-masa kebebasannya dengan bermain, tapi di satu sisi sampah benangnya menjadi persoalan yang membuat pusing penghuni perumahan atau perkampungan.

Lalu apakah anda mempunyai solusi terhadap masalah itu?

Bisa jadi anda, saya malah terlalu asyik dengan perang kata-kata di media sosial. Mumpung masih tahun politik, sebentar lagi partai politik, calon kepala daerah, calon pemimpin bangsa akan bertarung merebut simpati rakyat. Perang kata-kata sudah dimulai. Korbannya adalah pejabat yang berpikiran lurus tapi harus menghadapi fitnah keji dengan isu-isu PKI, Gratifikasi, pencitraan.

Semua orang berbalik baik, ia ingin menjadi pahlawan dan terlihat bercitra baik di mata rakyat. Rakyat sendiri gampang lupa oleh rekam jejak pejabat yang ketika sukses menjadi wakil rakyat atau pejabat lupa pada mereka yang telah menyumbang suaranya.

Hidup Terombang-ambing Seperti Layang-Layang Putus

Wajah-wajah yang dipoles menjadi malaikat itu sedang membranding diri, entah dengan trik merasa terdzolimi, entah dengan trik memanjakan rakyat kecil tapi melupakan sistem dan tata aturan perundang-undangan semuanya sah. Selama uang masih di kantong mereka akan melakukan berbagai cara untuk membungkus tubuh mereka dengan sematan yang menyilaukan mata, dan menimbulkan simpati, tapi tunggu sebentar.

Mereka yang kalah menjadi pecundang mungkin akan seperti layang-layang yang putus benangnya. Tidak mempunyai pegangan hidup, harta habis dan siap-siaplah rumah sakit jiwa penuh dengan penghuni baru, politisi dan calon pejabat yang kalah kontestasi.

***

Editor: Pepih Nugraha