7 dari 14, PDIP Partai Ketujuh Yang Mendukung Joko Widodo

Senin, 26 Februari 2018 | 08:07 WIB
0
514
7 dari 14, PDIP Partai Ketujuh Yang Mendukung Joko Widodo

Hari Jumat lalu, saya kok tertegun dengan realitas angka-angka, yang saya yakin sebenarnya bisa sangat dinamis, berubah dari waktu ke waktu. Namun demikian, nyatanya kok sedemikian persis, walau tentu saja irisannya tidak sama betul dan menurut saya gak terlalu aneh.

Pertama, beberapa hari yang lalu KPU menetapkan 14 partai yang resmi bisa ikut Pemilu. Saya yakin jumlahnya akan bertambah, karena baik PBB dan PKPI yang dinyatakan tidak lolos, kompak menggugat. Bahkan mereka berseloroh akan mempidanakan para komisioner KPU karena dianggap tidak adil dan bisa bersikap netral.

PBB kita tahu dibelakangnya ada Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara yang matang dalam hal-hal beginian. Sedang di belakang PKPI saat ini diketuai AM Hendropriyono, yang pernah menjabat Kepala BIN. Kedua partai ini seolah mengulang Pileg dan Pilpres 2014 yang awalnya, dinyatakan tidak lolos, walau akhirnya mereka memenangkan gugatan. Walau akhir ceritanya tetap sama, tetap berstatus partai gurem.

Penyakit KPU Pusat itu masih tetap sama: buang-buang waktu pecuma. Pasal yang ingin, saya bahas lebih pada 7 dari 14 partai adalah sebenarnya apa yang sebut sebagai Kelompok Partai Gagal Move-On, yang sebenarnya tak lebih partai-partai sempalan Golkar. Lebih buruk lagi mereka masih dalam sistem kekerabatan yang sama yang sangat kuat baunya dengan kayu Cendana.

Mereka adalah Golkar, Hanura, Demokrat dan Gerindra. Plus tiga anak baru: Garuda, Berkarya dan Perindo. Menunjukkan bahwa duit mereka memang bener gak akan habis tujuh turunan, dan kalau bisa berkembang untuk 14 turunan!

Di luar ketujuh partai ini, terdapat tiga kelompok lain yaitu kelompok partai bernuansa Islam, yang dalam peta politik Indonesia (maaf) dikategorikan sebagai Kelompok Sukar Maju. Kenapa disebut demikian, mereka ini mengingkari marwah dari spiritualisme bahwa agama sebaiknya tidak dibawa-bawa dalam gerakan politik praktis. Karena di luar akan merendahkan agama itu sendiri, namun pada akhirnya membuat para penggiat politiknya terjebak dalam kebohongan-kebohongan yang tak pernah usai.

[irp posts="8691" name="Politik Kekinian Gaya Partai SoIidaritas Indonesia"]

Dalam kasus Indonesia, tampaknya hal ini terbukti, walau apa daya karena ini masalah hak berserikat maka apa boleh buat. Mereka akan tampak besar (minimal) di ranah media, tapi selalu gagal mendapat suara mayoritas. Terpecah-pecah dalam wadah yang saling berseteru dan mencurigai. Ini sangat kental dialami oleh empat partai itu: PPP, PKB, PAN, dan PKS.

Pada bagian yang lain, terdapat sebuah partai yang walau tampak besar dan memiliki pendukung fanatik, tapi sesungguhnya kesunyian dan berjalan sendirian. PDIP, sebenarnya juga partai produk Orde Baru, namun karena faktor Megawati sebagai anak Soekarno tampak memiliki ideologi nasionalisme yang sangat kuat, jadi berbeda dengan partai-partai lainnya yang sama mendaku nasionalisme (terutama kelompok 7 dari 14 di atas).

PDIP tampak lebih tradisionalis, kalau tidak mau dianggap sebagai partai tua paling feodal yang masih tersisa. Karena sangat mudah dipahami, mengapa dalam menentukan suatu keputusan, ia cenderung paling lambat. Walau dalam banyak kesempatan ia akan mengaku sebagai cermat dan berhati-hati.

Sedang pada bagian terluar, saya bisa kategorikan dua partai terakhir sebagai pilihan paling modern. Keduanya dapat disebut "Partai Media". Karena akar mereka sebenarnya sama, sama-sama dibesarkan di dunia media massa. Kita boleh tidak suka terhadap sosok Surya Paloh, sebagai seorang konglomerat di belakang Partai Nasdem.

Tapi kita tidak menafikan ciri-ciri partai modern dan terbuka yang ingin dibangunnya. Partai ini selalu memiliki sikap tegas dan berani, ia termasuk kloter pertama ketika memberikan figur dukungan pada calon kepala daerah atau suatu keputusan yang berpihak pada rakyat. Sebaliknya ia juga tampak tegas menolak kebijakan DPR yang dianggap mencederai rakyat.

Tanpa terlalu banyak berhitung untung rugi. Pilihannya selalu rasional, walau kita tahu bahwa pemilih kita selalu bersikap irasional (dan itu penyakit ngehek yang sulit disembuhkan!). Partai ini juga memiliki sikap tegas terhadap perilaku koruptif, bahkan saat Ketua Umum-nya baru terindikasi menerima suap. Ia langsung mengundurkan diri.

Bandingkan dengan partai Si Embah Tua dari Jogja itu, yang ketika kadernya terkena OTT mencla-mencle memberikan pembenaran dan argumentasi. Bahkan jauh lebih buruk malah menyalahkan sistemnya, padahal mereka-mereka inilah yang turut merusak sistem yang diamaendemennya pada masa-masa awal reformasi.

Dan terakhir tentu saja Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebuah anomali yang lahir saya pikir dimulai dari kehadiran Jokowi-Ahok di Jakarta. Ia sebenarnya kelompok independen, yang (mungkin) mula-mulanya diinisiasi oleh semangat anak-anak muda golongan milineal yang dulu menginginkan Ahok untuk bertarung di jalur independen saja. Nyatanya Ahok tergoda, dan ia dipermalukan oleh "pengkhianatan"-nya terhadap kelompok yang betul-betul mencintai dan mendukungnya secara tulus ikhlas.

[caption id="attachment_11200" align="alignleft" width="590"] Joko Widodo dan Megawati (Foto: Kompas.com)[/caption]

Dan hari ini, PDIP mendeklarasikan diri sebagai partai ketujuh dari empatbelas partai yang mendukung Jokowi sebagai capres di Pilpres 2018. Sebagai partai induk Jokowi, tentu ini sikap yang menyebalkan dan seperti biasanya: lambat, seenaknya sendiri tapi beralibi berhati-hati.

Ia baru menetapkan belakangan karena tidak mau kecolongan, bahwa Jokowi akan jadi kuda tunggang partai-partai lain. Walau relitas sebenarnya, karena justru PDIP merasa kedodoran dengan calon-calon Kepala Daerah yang diusungnya dalam Pilkada 2018 ini. Ia berharap "Jokowi Effect" akan mengangkat popularitas calon-calon yang disungnya. Huh!

Dari ketujuh partai tersebut, seperti yang saya tulis di atas, tidak mencerminkan realitas dari kelompok partai apa mereka berasal. Coba tilik ketujuhnya (minimal hingga hari ini): Nasdem, PPP, Golkar, Hanura, Perindo, PSI, dan terakhir PDIP. PKB yang Ketum-nya berjualan diri Cawapres, tapi tampaknya tidak laku malah seolah mutung.

[irp posts="9949" name="Partai Tommy Soeharto Ikut Pemilu, Apakah Akan Jadi Kecebong" Juga?"]

Tentu menyenangkan bagi saya, sebuah partai baru seperti PSI sudah memberikan arah yang jelas, pada mata pemilih yang sekarang sedang mulai bertanya-tanya siapa yang ada di belakang PSI ini? Mereka para "floating mass" bergaya milineal ini mulai diserang rasa takut kecewa. Kenapa ia sedemikian bisa cepat merebut simpati, dan potensi dukungan pemilih. Penting, ya? Menurut saya gak penting-penting amat! Ia sesuai jargonnya progresif dan terbuka!

Yang saya khawatirkan dari PSI justru cuma satu. Ketua Umum partai ini terlalu cantik untuk sebuah lembaga yang mudah terjerumus berkubang dengan kotoran. Bukankah seorang bidadari harusnya ada di pintu surga, menyambut para jihadis yang tergesa ingin segera menemuinya itu.

Sialnya ia tidak sendirian, bejibun sosok cantik (juga ganteng) namun cerdas dan progresif lain menyertainya. Ah, PSI ini memang jahat dari awal!

Ia terlalu cepat memindahkan "wajah dan bau surga" ke dunia yang fana dan amburadul ini.

Dadi aku kudu piye!?

***

Editor: Pepih Nugraha