Sebagai "Early Warning System", Ahok Adalah Berkah bagi Indonesia

Kamis, 22 Februari 2018 | 19:28 WIB
0
171
Sebagai "Early Warning System", Ahok Adalah Berkah bagi Indonesia

Ahok adalah berkah bagi Indonesia, tentunya bagi mereka yang mencintai Indonesia, dengan merawat imaji-imaji kemanusiaan kita tentang apa yang dinamakan negara kebangsaan.

Ketika BPUPKI mempersiapkan konsep-konsep negara bangsa bernama Indonesia, di dalamnya berhimpun berbagai suku, ras, dan agama. Sukarno meringkasnya dalam kata gotong-royong sebagai inti dari Pancasila.

Sebagaimana dalam catatan pergerakan kebangsaan kita, yang terlibat aktif untuk mengujudkan negara bangsa itu, terdapat anak manusia keturunan Jawa, Bali, Manado, Sunda, Minang, China, Arab, India, dan lain sebagainya (mohon maaf jika ada yang belum disebut).

Mereka bersepakat mendirikan negara bangsa bernama Indonesia, bukan negara bangsa bernama Eropa, Amerika, Afrika, Jawa, Sunda, atau Arab, dan sebagainya. Dalam sejarah pergerakan, keturunan Arab dan China turut serta. Mbahnya Anies Baswedan yang turun Arab, mentor politiknya adalah aktivis pergerakan turun China. Ada pula pasukan pejuang etnis China di Betawi, wilayah yang paling banyak mengadopsi kultur China, dari kuliner, musik, tarian, hingga baju koko para pendekar kapak 212.

[irp posts="6397" name="Ahok, Kenapa Kau Dulu Ada"]

Setelah Soeharto longsor 1998, masih saja dan bahkan justeru diperalat lagi dalam kontestasi demokrasi. Itu lantaran system dan norma politik kita kembali ke era primitif. Hanya pada kekuasaan, bukan pada keadilan, apalagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Ndilalahnya, memang ada aktor-aktor yang menyediakan diri dan kelompoknya, mendukung politik semacam itu. Ada kepentingan tumpang-tindih. Intinya, lebih mendahulukan kepentingan udelnya sendiri, seperut-perutnya tentu. Ada yang menyewakan martabat, norma, agama, bahkan korupsi tak apa asal seiman.

Kita boleh bilang, Ahok terlalu cepat datang. Tapi sebagai early warning system, Ahok adalah berkah. Kotak pandora bukan hanya perlu dibuka, melainkan dihancurkan, karena kita bersepakat azas Pancasila, kecuali yang memakai azas lain.

Ahok memang bukan Jokowi. Tapi model kepemimpinan Jokowi dan Ahok setidaknya yang dibutuhkan Indonesia masa kini. Sebagai prototype, adalah perpaduan transformasi kepemimpinan Indonesia di abad revolusi four point zero ini.

Masyarakat sekarang tidak butuh kepemimpinan analog, yang bermain analogi model Soehartoisme. Kita cukup lama disandera kepemimpinan yang tersandera. Saatnya, kepemimpinan yang merdeka, tapi partisipatif. Tak ada superhero.

Era komandan sudah selesai, giliran generasi baru Indonesia yang bekerja sama justeru karena berbeda-beda itu. Tulisan ini tidak sedang mengendors Ahok dan Jokowi untuk pemilu atau pilpres 2019. Tapi keduanya sebagai prototype.

Pola kepemimpinan dan pemikiran masa lalu, hanya berharga untuk dipelajari, bukan dipilih, apalagi dipakai kembali.

***

Editor: Pepih Nugraha