Tatkala Intelektual Kecebur Comberan Bahasa lewat Perang Kata-kata

Selasa, 20 Februari 2018 | 20:49 WIB
0
1111
Tatkala Intelektual Kecebur Comberan Bahasa lewat Perang Kata-kata

Kalau di jaman Bung Karno sampai Jaman SBY, intelektual-lah yang mempengaruhi opini publik, bahasa-bahasa intelektual menjadi perbendaharaan bahasa atas diskusi publik, di era media sosial ini, bahasa bahasa banal publik-lah malah menjadi bahan bahasa bagi kaum intelektual.

Adanya keterbelahan antara cebong dan kampret justru menyeret banyak kaum intelektual dan berpendidikan tinggi masuk ke dalam comberan opini publik, mereka merasa mendapatkan endorphin kegembiraan dari saling serang dan caci maki di wilayah publik.

Maka tak heran jargon jargon caci maki juga muncul dari kalangan intelektual yang seharusnya mampu menjaga jarak dari lumpur caci maki publik. Tapi mereka justru terjebak dalam situasi itu dan menikmatinya, nggak kelompok cebong dan kelompok kampret.

Bahasa-bahasa seperti "IQ Sekolam", "Junjungan", "Asing Aseng", "Penunggang Kuda", "Pemelihara Kodok" dan lain macam itu menjadi kosa kata baru dalam dunia politik.

Jelas ini kemunduran kualitas verbal dan kualitasn nalar atas narasi, bayangkan dengan bahasa bahasa yang tercipta di masa Sukarno seperti "Kontra Revolusi", "Progresif Revolusioner", "Manipol Usdek" , "Ganefo" yang dibuat lawakan di Yogya jadi Ganewul = Segane Tiwul.

[irp posts="9949" name="Partai Tommy Soeharto Ikut Pemilu, Apakah Akan Jadi Kecebong" Juga?"]

Atau, di masa Pak Harto lebih canggih lagi ada kata-kata "Hegemoni", "Penyesuaian", "Diselesaikan Secara Adat", "Diamankan", "Bersih Lingkungan" bahkan sampai ada akronim "Sikontolpanjang" = Situasi Kondisi Toleransi Pantauan dan Jangkauan.

Di Jaman SBY, bahasa bahasa yang tercipta belum sekasar di masa Jokowi dan Ahok, karena bahasa masih dikuasai kelompok wartawan koran, namun saat itu yang jadi pujaan bahasa bahasa politik publik adalah Koran Merdeka, yang headline-nya kerap lucu-lucu tapi kadang isinya singkat.

Nah di masa Jokowi dan Prabowo ini Media Sosial menjadi puncak atas platform komunikasi publik. Awalnya kaum intelektual masih mendominasi perbendaharaan kata publik, namun sejurus waktu kelompok kelompok rakyat kebanyakan-lah yang mendominasi percakapan publik di segala platform sosial media.

Bila perang gagasan di masa SBY dan Megawati adalah pertarungan antara kelompok Nasionalis-Populis dengan Kelompok Neo Liberal, maka perdebatannya ya gak jauh jauh dari Milton Friedman sampai dengan Amartya Sen, maka di jaman Jokowi dan Prabowo tak ada lagi diskusi tokoh. Bahkan kaum intelektual merasa terasing dari hiruk pikuk jaman.

Mereka yang tak kuat kesepian langsung nyebur ke comberan pertarungan itu dan perang kata-kata tiap hari soal junjungan, soal asing aseng, soal definisi kata "cebong mana ngarti" soal "Kampret Sana Kampret Sini"...dan ini lebih parah dari isu besar di jaman Orde Baru soal "Pelacuran Intelektual" tapi di masa ini adalah masuk ke dalam jaman Ronggowarsito "Saiki Jaman Edan, yen ra edan ora keduman..."

Intelektual yang kesepian dan berusaha menjadi netral perlahan lahan birahinya naik melihat pesona pertarungan rakyat yang saling caci maki itu...

***

Editor: Pepih Nugraha