Mengapa Kita Perlu Mengenali Diri dari Waktu ke Waktu?

Selasa, 20 Februari 2018 | 05:52 WIB
0
142
Mengapa Kita Perlu Mengenali Diri dari Waktu ke Waktu?

Apakah anda sadar, bahwa anda sedang membaca tulisan ini? Apakah anda sedang minum atau makan sesuatu? Apakah anda menyadarinya? Apakah anda menyadari suara-suara di sekitar anda?

Lalu, siapakah “anda” yang menyadari semuanya itu? Yang jelas, anda bukanlah nama, agama, ras ataupun etnis anda. Itu semua tempelan sosial yang bisa diubah, seturut kehendak anda. Di titik ini, kita memasuki salah satu tema yang paling menarik di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, yakni pertanyaan tentang “diri”.

Memang, diri itu misteri. Sampai sekarang, para filsuf dan ilmuwan masih terus berbincang soal tema ini. Ada beberapa kesepakatan bersama. Namun, kata final masih jauh dari genggaman.

Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Di beberapa peradaban kuno, pemahaman tentang “diri” menjadi pengetahuan tertinggi. Di dalam Akademi yang didirikan Plato di masa Yunani Kuno, lebih dari 2000 tahun yang lalu, tertulis kata “kenalilah dirimu sendiri”. Konon, jika orang belum mengenal dirinya sendiri, ia tidak boleh masuk ke dalam Akademi Plato tersebut.

Di dalam tradisi Timur, terutama Zen Buddhisme dan Advaita Vedanta, pemahaman tentang diri yang sesungguhnya merupakan ajaran yang paling utama. Hal serupa dapat ditemukan di dalam tradisi Jawa, terutama di dalam pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. Orang akan mencapai pencerahan, jika ia menyadari “diri sejatinya” tersebut.

Sekitar 30 tahun belakang, banyak dilakukan penelitian ilmiah terkait dengan konsep diri. Beberapa tema misalnya adalah kaitan antara diri dengan kesadaran dan otak manusia. Berkali-kali, melalui penelitian mereka, para ahli neurosains menegaskan, bahwa tidak ada yang disebut dengan “diri”. “Diri”, pendek kata, hanyalah sebuah ilusi: seolah ada, namun tak sungguh-sungguh ada.

Refleksi filosofisnya adalah, bahwa diri adalah sesuatu yang terus berubah. Orang tidak memiliki konsep diri yang tetap. Ketika berada di lingkungan sosial A, ia menggunakan konsep diri tertentu. Ketika lingkungan berubah, konsep diri yang digunakan pun juga berubah.

Zen dan Yoga

Di dalam tradisi Zen, yang berkembang dari Buddhisme dan Vedanta, pemahaman tentang diri sudah lama menjadi bahan kajian dan meditasi. Konsep “tanpa-diri” atau “non-self” adalah salah satu ajaran terpenting di dalam kedua tradisi tersebut. Dalam arti ini, diri dilihat sebagai sebuah bentukan sosial yang terus berubah, sejalan dengan perubahan keadaan. Ia tidak memiliki inti utama, melainkan terdiri dari gabungan beberapa unsur yang terus berubah.

Pemahaman ini sudah berusia ribuan tahun. Hanya belakangan ini, ilmu pengetahuan modern bisa mendekatinya. Lebih dari itu, di dalam tradisi Zen, pemahaman tetang kekosongan dan perubahan diri dijadikan dasar untuk pencerahan batin. Dalam arti ini, pencerahan berarti orang bergerak dari kesalahpahaman menuju apa yang sesungguhnya ada.

Di dalam tradisi Yoga, diri adalah bagian dari tubuh dan pikiran manusia, maka ia terus berubah. Diri, dalam arti ini, merupakan kumpulan hubungan sosial sekaligus pola hidup seseorang. Diri bukanlah inti terdasar manusia, melainkan hanya tampilan luarnya semata. Jika begitu, apa yang merupakan inti terdalam manusia?

Jawabannya sederhana, namun sekaligus rumit: kesadaran yang mengamati diri. Di belakang semua pikiran, emosi dan tubuh, ada sebuah kesadaran halus yang mengamati segala yang terjadi. Kesadaran ini tanpa materi, melainkan justru yang melahirkan materi tubuh, seperti otak dan beragam organ tubuh lainnya. Kesadaran ini adalah “hidup” itu sendiri.

Kunci Sukses: Sebelum “Diri”

“Hidup” itu adalah sebelum segala bentuk pikiran, emosi dan tubuh yang membentuk “diri”. Banyak orang lupa akan hal ini, karena mereka sibuk tenggelam dalam pikiran dan perasaannya. Kebutuhan tubuh menjadi yang utama, sehingga orang lupa, bahwa ia lebih dari sekedar tubuhnya. Kita perlu kembali ke sebelum “diri”, dan menyentuh sumber dari segala sesuatu, yakni kehidupan itu sendiri.

Hidup yang sukses bukanlah hidup bergelimangan harta dan nama baik. Seringkali, dua hal itu justru menjadi sumber penderitaan seseorang. Orang menjadi rakus, dan gila hormat. Orang semacam itu, sebenarnya, jauh dari kebahagiaan dan kedamaian.

Hidup yang sukses berarti hidup yang bergerak sebelum “diri”, yakni sebelum segala pikiran, perasaan dan kebutuhan tubuh. Hasilnya adalah hidup yang berpijak pada intuisi dari saat ke saat. Orang lalu mampu bertindak sesuai kebutuhan dengan berpijak pada kejernihan dan kedamaian. Ketika kemarahan dan penderitaan tiba, ia pun bisa tetap marah dan menderita secara jernih.

Sebelum “diri” berarti orang menciptakan jarak dengan pikiran, emosi dan tubuhnya. Ia menggunakan ketiga hal tersebut, tanpa melekat dan tunduk padanya. Lalu, orang akan sadar, bahwa “dirinya” bukanlah sekedar itu semua, melainkan jauh lebih besar dan lebih agung. Orang lalu terbuka pada kecerdasan semesta, dan sadar, bahwa dirinya sebenarnya adalah alam semesta itu sendiri.

***

Editor: Pepih Nugraha