Janji Manis ke Rakyat sebelum Jadi, Jadi Beban Rakyat setelah Jadi

Minggu, 18 Februari 2018 | 09:25 WIB
0
554
Janji Manis ke Rakyat sebelum Jadi, Jadi Beban Rakyat setelah Jadi

Kampanye pilkada serentak segera dimulai, para calon kepala daerah rajin turun ke masyarakat dengan segudang janji. Mereka berusaha mendekati masyarakat dan mendengarkan segala keluhan dan permintaannya. Seakan para calon kepala daerah bisa memberi solusi dari segudang masalah.

Para calon kepala mengumbar janji-janji kepada masyarakat untuk mendapatkan simpati dan dengan harapan mau memilih, janji dengan kemasan manis terus ditawarkan kepada masyarakat.

Janji calon kepala daerah, mulai dari pelayanan kesehatan kepada masyarakat, lapangan pekerjaan, bantuan kepada fakir-miskin, bantuan pendidikan, semua janji diobral sekalipun ia tahu kalau itu tidak mudah seandainya terplilih menjadi kepala daerah.

[irp posts="10563" name="Zumi Zola Sudah Di Ambang Pintu Jeruji Besi KPK"]

Para calon kepala daerah yang jelas-jelas mayoritas politikus, dengan mengumbar janji-janji manis sekalipun ia tahu di daerah itu tidak ada sungai, tetapi mereka menjanjikan akan membangun jembatan kelak kalau terpilih sebagai kepala daerah. Itulah gambaran janji para calon kepala daerah yang kadang terksesan asal bunyi.

Banyak para calon kepala daerah yang tidak tahu tugas dan wewenang kalau mereka terpilih menjadi kepala daerah, contoh,dalam kampanye mereka menjanjikan harga pangan yang terjangkau atau biaya pendidikan yang gratis, membuka lapangan pekerjaan, padahal yang mereka janjikan itu tidak berdiri sendiri dalam arti mutlak kewenangan sang kepala daerah, tetapi itu kewenangan pemerintah pusat.

Seperti melambungnya harga beras, pemerintah daerah baik kabupaten dan tingkat provinsi tidak bisa apa-apa dan tidak berdaya terhadap kenaikan harga-harga pangan. Padahal, di daerah ada namanya tim pengendali inflasi.

Kasus yang terbaru gizi buruk dan campak yang terjadi di Asmat, itu sebenarnya tanggung jawab daerah baik provinsi atau kabupaten, tapi apa yang terjadi pemerintah pusat akhirnya yang bertanggung-jawab terhadap gizi buruk dan campak. Padahal daerah sudah dikasih anggaran untuk memperbaikin gizi buruk atau campak.

Ada lagi viral, di suatu daerah yang masyarakatnya tidak bisa sekolah atau tidak punya baju dan sepatu yang layak, tetapi minta ke Presiden.

Lha kalau kayak seperti ini terus apa fungsi kepala daerah padahal mereka sebelum terpilih berjanji akan menjadi pelayan yang baik, tapi dalam prakteknya hanya manis di bibir saja seperti lagu musisi Malaysia “Manis di Bibir”.

[caption id="attachment_10707" align="alignleft" width="620"] Kepala daerah koruptor (Grafis: Berita2bahasa.com)[/caption]

Boleh-boleh saja berjanji atau obral janji, tapi jangan terlalu atau yang kemungkinan susah direalisasikan, seorang kepala daerah memang harus kreatif dan banyak gagasan dalam membangun wilayahnya atau daerahnya. Potensi daerah harus digarap supaya bisa menghasilkan pendapatan daerah dan bisa untuk membiayai jalannya pemerintahan. Jangan malah jadi beban pemerintah pusat, pendapatan minus dan habis hanya untuk gaji pegawai.

Para calon kepala daerah rajin mencari dukungan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat,atau petani dan nelayan, mereka dengan lembutnya dan ramahnya, menyapa masyarakat bawah,tapi setelah terpilih, mereka sering lupa habis manis sepah ..... dimaka juga, eh....sepah dibuang ding, begitu peribahasanya.

[irp posts="10455" name="Wakil Gantikan Bupati Yang Korupsi, Setelah Jadi Bupati Korupsi Juga"]

Kalau menjadi pejabat jadilah pejabat yang baik dan bersih dari korupsi seperti dalam janji-janji kampanye yang akan menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan atau berpihak pada masyarakat bawah.

Akses kesehatan dan pendidikan yang dipermudah, bukan malah bertele-tele dan terlalu birokratis dan masyarakat sering jadi korban.

Untuk para calon kepala daerah jangan obral janji-janji manis, tetapi kalau terpilih menjadi pejabat atau kepala daerah, jangan korupsi dan jadilah kepala daerah yang jujur.

Wis ngono wae...

***

Editor: Pepih Nugraha