Ironis, di Negeri Ini Yang Otoriter dan Antikritik itu Malah Legislatif

Sabtu, 17 Februari 2018 | 21:42 WIB
0
494
Ironis, di Negeri Ini Yang Otoriter dan Antikritik itu Malah Legislatif

Biasanya dalam suatu negara di belahan dunia manapun yang mempunyai sifat otoriter dan anti kritik atau punya kekebalan hukum adalah penguasa suatu pemerintah negara tersebut. Bisa seoarang raja, Sultan, Amir/Emir dan atau Presiden.

Jadi yang punya sifat otoriter dan anti kritik adalah eksekutif, bukan legislatif. Tetapi kalau di negara kita terbalik, legislatif yang otoriter dan antik kritik, bukan eksekutif, yaitu Presiden.

Tapi kalau kita perhatikan berita akhir-akhir ini di negera tercinta Indonesia, yang jumlah penduduknya 250 juta lebih dari berbagai suku dan bahasa, ada fenomena yang agak aneh, apalah ini pertanda Indonesia bakal menuju negara yang otoriter dan antikritik.

Lahirnya UU MD3 yang sudah diketok palu atau disahkan oleh wakil rakyat atau DPR bersama pemerintah, memuat sejumlah pasal kontroversi, antara lain DPR yang mempunyai Hak Imunitas dan pasal penghinaan terhadap lembaga DPR.

Jadi DPR atau wakil rakyat ingin punya Hak Imunitas yang tidak bisa dituntut atau dipidanakan dalam menjalankan tugasnya. Padahal seorang Presiden dan Wakil Presiden tidak punya Hak Imunitas, kalau dipanggil oleh penegak hukum baik sebagai saksi atau dimintai keterangan wajib hadir.

Bahkan anggota DPR yang menjadi tersangka oleh penegak hukum, yaitu kepolisian atau kejaksaan harus ijin presiden. Kita ketahui kedudukan Presiden dan DPR adalah setara, dan Presiden bukan atasan DPR, ko harus ijin Presiden. Terus kalau Presiden dan Wakil Presiden mau diperiksa oleh penegak hukum, harus ijin siapa?

Kalau ingin menegakkan hukum dan memberantas korupsi, penegak hukum harus ijin kepada Presiden, ini akan berlarut-larut dan menghambat proses penegakan hukum atau pemberantasan korupsi.

Ya, kalau Presidennya peduli terhadap pemberantasan korupsi, kalau tidak bagaimana. Misal ada anggota DPR yang jadi tersangka oleh penegak hukum dan Presiden tidak mau tanda tangan atau ingin melindungi anggota DPR. Kita ketahui bersama kejaksaan dan kepolisian adalah lembaga di bawah Presiden, kalau Presiden tidak mengijinkan, pasti dua lembaga ini tidak berani memeriksa anggota DPR yang menjadi tersangka, beda sama KPK.

Ada anggota DPR dari PPP dan Golkar dari Kalimantan Selatan,yang pada tahun 2015 ditetapkan sebagai tersangka karena menyalahgunakan dana bantuan sosial oleh Polda Kalimatan Selatan, waktu itu kapoldanya Brigjen Arief Sulistyanto. Sampai sekarang kasusnya berhenti alias tidak jelas sudah menguap.

Ini contoh nyata kalau yang menangani penegakan hukum oleh dua lembaga tadi banyak tangan-tangan jahat yang intervensi atau campur tangan supaya kasusnya dihentikan. Lain cerita kalau yang menangani kasus adalah KPK.

Inilah bahayanya Hak Imunitas bagi anggota DPR, akan banyak negatifnya dan menghambat proses penegakan hukum.

Apalagi MK sebagai penafsir undang-undang kadang malah bikin putusan yang kontroversi atau malah menghambat penegakan hukum, yaitu harus ijin presiden.

Terus pasal penghinaan terhadap lembaga DPR di mana masyarkat bisa dipidana kalau ada anggota DPR merasa terhina atau dihina dan anggota DRP yang bersangkutan melapor ke pihak kepolisian. Jadi anggota DPR punya super body, tidak mau di kritik dan antikritik dari masyarakat, padahal mereka wakil rakyat yang dilpilih oleh masyarakat, bukan wakil Dedemit penunggu Gedung DPR.

Sedangkan waktu pemerintah mengusulkan undang-undang perlindungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam pasal penghinaan dan menjadi delik aduan, mereka menolak dengan kerasnya, hukum harus setara dan tidak memihak di hadapan hukum semua sama, kata wakil rakyat ini.  Tetapi,malah wakil rakyat sendiri bikin aturan yang melindungi diri mereka dengan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik.

Kita tahu kinerja para wakil-wakil rakyat ini sangat rendah, buktinya waktu mengesahkan UU MD3 itu yang ikut sidang paripurna atau yang hadir hanya sedikit, entah yang lain pada ke mana. Masyarakat sudah tidak percaya sama komitmen para wakil rakyat ini.

[irp posts="10536" name="Jadi Anggota DPR Itu Berat, Kau Tak Akan Kuat Kalau Tak Gila Hormat"]

Jadi yang otoriter bukan eksekutif dalam hal ini Presiden, tetapi yang otoriter dan antikritik malah legislatif dalam hal ini wakil rakyat atau anggota DPR.

Benar apa yang dikatakan mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal Gus Dur:

Ada tiga jenis Setan:

Setan jenis pertama dari golongan JIN; setan jenis ini kalau dibacakan ayat suci atau ayat kursi langsung kabur terbirit-birit, pokok’e langsung minggat.

Setan jenis kedua kurang lebih sama; kalau dibacakan ayat-ayat suci dan mendengar adzan akan kabur alias minggat.

Setan jenis ketiga,setan jenis ini agak bandel; dibacakan ayat-ayat suci atau ayat kursi tidak pergi, malah matanya mendelik dan nantang, mulutnya ngomyang (Jawa) atau ngomong tidak jelas, di ruqiyyah juga tidak mau pergi jenis setan ini, malah nantang-nantang. Saking jengkelnya dilempar kursi sekalian, eee malah jadi rebutan kursinya...

Anda tahu sendirilah menghuni gedung apa setan macam begini!

Jadi, mari kita bacakan tahlilan atau ruqiyyah supaya "penghuni" Gedung Senayan menjadi pada minggat terutama sering bikin ribut.

***

Editor: Pepih Nugraha