Masyarakat Mata Keranjang, Segala Hal Dikaitkan dengan Hubungan Intim

Jumat, 16 Februari 2018 | 16:20 WIB
0
495
Masyarakat Mata Keranjang, Segala Hal Dikaitkan dengan Hubungan Intim

Kita hidup di masyarakat “mata keranjang”. Di dalam masyarakat semacam ini, segala hal dikaitkan dengan seksualitas, tepatnya dengan hubungan seks. Tubuh perempuan terbuka sedikit, pikiran banyak orang langsung ke arah seks. Tubuh pria kekar sedikit, pikiran mereka pun langsung tertarik secara seksual.

Tak heran, di masyarakat semacam ini, banyak mata keranjang dan hidung belang. Ini adalah julukan bagi orang-orang yang suka melihat orang lain secara seksual. Ia hanya ingin menggunakan orang lain untuk kenikmatan dirinya, tanpa peduli pada harkat dan martabat orang lain sebagai manusia. Tak heran pula, di masyarakat semacam ini, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tindak kriminal yang paling banyak terjadi.

Sebagai reaksi dangkal atas hal ini, banyak orang lalu menjadi tertutup. Mereka memenjara tubuh dengan beragam kain, supaya tak mengundang rangsangan seksual. Tubuh tertutup bagaikan ninja di siang hari bolong, sehingga jauh dari tatapan mata para hidung belang dan mata keranjang. Tentu saja, reaksi semacam ini justru menciptakan banyak masalah lain, mulai dari pelanggaran hak-hak asasi manusia, kemunafikan moral sampai masalah kesehatan.

Mengapa?

Mengapa kita berubah menjadi masyarakat “mata keranjang”? Ada tiga hal yang kiranya bisa diperhatikan;

Pertama, energi seksual meletus secara kolektif di dalam masyarakat, karena energi tersebut tak menemukan penyaluran yang cocok. Ini terjadi, karena kita tidak memiliki cara dan pemahaman untuk mengelola energi yang ada. Akibatnya, energi tersebut berubah menjadi frustasi, dan meletus ke tempat-tempat yang tak semestinya, seperti konflik dan seks tanpa arah.

Dua, kita tidak memiliki cara dan pemahaman tentang energi kehidupan, karena kita hidup dengan ajaran-ajaran yang salah. Alih-alih memahami energi, kita menekan energi, terutama energi seksual, atas nama agama dan moralitas. Akibatnya, energi itu mampet, dan meledak di berbagai ranah kehidupan lainnya, seperti seks dan belanja tanpa arah. Tak heran, mata orang begitu mudah melotot, ketika melihat tubuh cantik atau ganteng di jalan, dan langsung berpikir ke arah seks.

[irp posts="9232" name="Mengapa Pasien Tahu Dia Mengalami Pelecehan Seks? Ini Penjelasannya"]

Tiga, semua ini tentu tak lepas dari menyebarnya pornografi di masyarakat kita. Ini merupakan salah satu sisi negatif dari berkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan kontrol. Namun, usaha ini tak cukup, karena tayangan pornografi masih begitu mudah didapatkan dan dilihat di Internet.

Bagaimana?

Pemahaman akan tiga hal di atas akan mengantarkan kita pada tiga hal lainnya yang bisa dilakukan;

Pertama, kita perlu belajar untuk memahami dan mengelola energi di dalam diri. Ini bisa dilakukan dengan cara meditasi. Namun, meditasi terkait dengan energi tidak hanya dengan duduk diam, melainkan meditasi dalam gerak. Seni tari, musik dan bela diri bisa menjadi beberapa pilihan yang mungkin.

Dua, pemahaman ini hanya mungkin, jika kita mampu keluar dari ajaran-ajaran masyarakat yang salah, yang menekan energi seksual atas nama moralitas dan agama, sehingga jatuh ke dalam kemunafikan. Dengan kata lain, kita harus bisa berbicara tentang seks secara sehat dan rasional sebagai manusia dewasa, dan bukan sebagai manusia yang tunduk patuh buta terhadap tradisi.

Tradisi memang berharga. Namun, jika ia dipuja secara buta, ia akan menjadi penghalang terbesar kehidupan manusia.

Tiga, mekanisme kontrol terhadap pornografi tetap harus dilakukan, dan ditingkatkan. Namun, yang terpenting adalah kita memahami hakikat tubuh manusia sebagai mahluk yang bermartabat.

Tubuh yang cantik, ganteng dan seksi tidak bisa menjadi obyek untuk kepuasan sesaat. Tubuh adalah subyek yang memiliki martabat luhur, maka harus dihargai dan dihormati, tanpa jatuh pada pemenjaraan baru.

Masyarakat “mata keranjang” akan ditinggalkan peradaban. Negara-negara lain sudah memikirkan energi alternatif dan mencari peluang di planet baru di jagad raya yang nyaris tak terbatas. Sementara itu, negara kita masih saja berperilaku biadab. Revolusi mental adalah revolusi pemahaman di dalam mengelola energi dan kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya soal membangun jembatan.

***

Editor: Pepih Nugraha