Revolusi Islam Iran Yang Bangkitkan "Ghirah" Islam di Indonesia

Minggu, 11 Februari 2018 | 05:13 WIB
0
381
Revolusi Islam Iran Yang Bangkitkan "Ghirah" Islam di Indonesia

Postingan saya soal pendapat almarhum Motinggo Boosje tentang film islami ditanggapi beragam. Salah satu komentar ada yang bertanya, "Bener nggak Motinggo itu Syiah?" Wah, saya malah sampai sekarang nggak tahu. Dari mana dia dapat info? Ternyata dia pernah membaca di salah satu media diperkuat dengan foto Motinggo berlatar belakang poster Khomeini.

Barusan di beranda Fesbuk saya ada postingan, Amein Rais disebut sebagai pengagum Khomeini. Disebutkan juga Pak Amein memuji-muji Revolusi Islam Iran dan menyebut dampak revolusi itu di Indonesia yang ditandai dengan “revolusi” jilbab.

Terlepas dari motif tulisan itu, tulisan itu bisa saya pastikan bukan hoax, memang begitulah faktanya. Revolusi Islam Iran terjadi sekitar tahun 1979 ditandai dengan kembalinya Imam Khomeini dari pengasingannya selama 15 tahun di Prancis.

Bagi kids jaman now barangkali sulit memahami, kok Imam syiah itu dipuji setinggi langit oleh Pak Amien yang suni? Pada waktu itu bukan hanya dipuji oleh Pak Amien, tapi juga oleh kaum suni di seluruh dunia Islam. Waktu itu disebut sebagai kebangkitan Islam. Mereka melupakan sejenak perseteruan panjang Suni-Syiah.

Penyebabnya karena kebencian kepada Amerika yang didentikan dengan dunia barat sudah sampai ke ubun-ubun. Buat melawan Amerika rasanya mustahil. Amerika seperti Kucing garong yang sulit dikalahkan oleh tikus kecil.

Revolusi Islam Iran membalik keadaan. Bukan hanya berhasil menendang rezim Shah Reza Fahlevi yang disebut sebagai boneka Amerika dari Persia, tapi juga berhasil menjadikan Amerika seperti seekor tikus yang dipemainkan oleh anak kucing. Ditambah lagi ketika Amerika melakukan operasi pembebasan sandera yang ditahan oleh sejumlah mahasiswa di Iran, operasinya gagal total. Pesawat yang mengangkut tentara pembebasan jatuh nyungsep di pasir.

Kita kembali ke Indonesia. Benar apa yang dikatakan Pak Amien. Revolusi Islam Iran membangkitkan “ghirah” Islam di Indonesia. Waktu itu hanya segelintir orang yang tahu kalau Iran itu penganut Syiah. Segelintir orang yang tahu apa itu Syiah.

Bukan hanya gairah berjilbab. Saya kasih gambaran begini. Waktu itu anak muda perkotaan yang muslim tidak pede membawa simbol Islam. Misalnya, para remaja malu membawa Alqur’an di depan umum. Beda dengan anak muda kristiani yang dengan bangga menenteng kitab Injil.

Setelah revolusi islam Iran, keadaan berbalik. Anak-anak muda dengan bangga menggantung tasbih di dalam mobil, dan menaruh sajadah di jok belakang, persis yang digambarkan dalam film “Catatan Si Boy.”

Sebelumnya, Ibu saya termasuk rajin mengaji dan sholat tapi berhijab kalau mau mengaji, kondangan atau ke pasar, itupun hijab seadanya. Jadi bisa dibayangkan remaja putrinya kaya apa. Hijab hanya milik santriwati. Setelah revolusi Islam Iran berbalik 180 derajat. Remaja putri mulai bangga memakai hijab. Tentu saja ibu-ibunya tak mau kalah.

Bertebaran atribut Islam dijual. Dengan bangga dipasang di rumah, di motor, mobil, dan sebagainya. Tentu saja juga gambar Khomeini. Saya juga membeli poster Khomeini, saya pasang di kamar di samping poster Ritchie Blakcmore, padahal gitaris Deep Purple itu lambang barat yang sangat dibenci, setidaknya terwakili oleh Ibu saya yang berkali-kali bilang, "Ngapain kau pasang poster orang gila itu? Copot!"

[irp posts="7694" name="Di Balik Penahanan Mantan Presiden Iran Ahmadinejad"]

Sebenarnya dulu lebih banyak lagi poster superstar musik rock yang menghiasi kamar saya, untuk menghormati ibu saya hanya satu poster ini yang tersisa. Tapi tetap saja Ibu saya tidak mau masuk kamar saya sebelum poster orang gila itu dicopot.

Pengetahuan soal Syiah sangat minim. Melihat kebanggaan umat Islam Indonesia pada revolusi Islam Iran sudah “mengkhawatirkan,” barulah para ulama bangkit, berusaha membendung agar jangan sampai kebanggan pada revolusi Islam menjadi wabah ajaran Syiah. Mulailah marak seminar, pengajian, penerbitan buku-buku soal sesatnya ajaran Syiah.

Dan mulai menampakkan hasil. Gairah kebanggaan Islam tetap jalan, tapi menutup jalan untuk ajaran Syiah. Barulah saya tahu, Syiah hanya mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi. Sahabat lainnya bahkan konon katanya dicaci maki. Tentu saja saya tidak terima.

Saya sholat tarawihnya ikut yang 20 rakaat. Setelah sepuluh rakaat, mubalaghoh mengajak memuji para sahabat, mulai dari Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, dan Ali ra. Kalau ada ajaran yang membenci mereka wajib tidak boleh diikuti. Saya copot poster Khomeni, juga sekalian saya copot poster Ritchie Blackmore.

Saya bangga menjadi orang Indonesia. Bisa membedakan antara revolusi islam Iran dengan ajaran syiah. Revolusi Islam Iran dijadikan momentum kebangkitan Islam sekaligus menolak ajaran Syiah. Menyukai music rock dari barat sekaligus membenci perilaku orang barat. Rhoma Irama berda’wah dengan musik ala Soneta yang kemudian bernama dangdut. Dangdut Soneta adalah perpaduan musik rock ala melodi Ritchie Blackmore, India, padang pasir, dan melayu.

Isu Syiah perlahan mulai hilang tertiup angin. Entah kenapa mulai muncul kembali saat pilpres 2014 sampai sekarang. Tapi rada aneh sedikit. Berbeda dengan perang ajaran syiah tahun delapan puluhan dulu yang sarat dengan pengetahuan kesesatan ajaran syiah. Narasinya panjang, referensinya akurat, ilmiah, bahkan ada perbandingan fiqh Suni-Syiah. Pokoknya lengkap. Sekarang nampaknya minim referensi, lebih politis. Entahlah.

Aksi dua satu dua tidak kalah dahsyatnya dari revolusi Islam Iran dalam hal “ghirah” Islam. Boleh dibilang babak baru “ghirah” Islam. Muslim yang sebelumnya tidak banyak bicara melihat kemunkaran di sekitarnya, mulai berani bicara. Boleh dibilang, kalau momentum revolusi Islam Iran memicu ghirah Islam secara simbol, aksi dua satu dua menjadikan ghirah Islam secara verbal, dan bisa menyatukan kekuatan simpul-simpul Islam yang selama ini aspirasinya tidak tertampung melalui ormas Islam mainstream.

Perjalanan masih panjang.

06022018

***

Editor: Pepih Nugraha