Membaca dan Menulis Itu untuk Apa, Sih?

Jumat, 9 Februari 2018 | 20:24 WIB
0
401
Membaca dan Menulis Itu untuk Apa, Sih?

"Di sini ada program pemberantasan buta aksara, Teh," kata seorang pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) ketika aku berkunjung ke tempatnya. "Ibu-ibu pada diajarin membaca dan menulis. Tapi merekanya juga yang seperti gak minat gitu. Jadi udah bisa baca, udah bisa nulis, ya udah."

Aku mengangguk-ngangguk sambil mendengarkan ceritanya dengan saksama. Dulu, aku prihatin dengan ibu-ibu itu. Ya, mau dikasih ilmu kok ogah-ogahan. Tapi kalau kejadiannya sekarang-sekarang ini, aku bakal bertanya pada pengelola TBM itu, "Apa yang kamu harapkan dari ibu-ibu yang bisa membaca dan menulis?"

Ya, katakanlah aku lagi sinis. Tapi bukankah seharusnya kita tunjukkan dengan bisa membaca dan menulis, ibu-ibu bisa melakukan apa? Maka penting untuk bisa menulis. Pertanyaan 'apa' inilah yang harus dijawab. Supaya ibu-ibu bisa belajar dengan ikhlas.

Aku punya teman, sepasang suami istri, yang tinggal di daerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Mereka membuka rumah mereka untuk anak-anak yang ingin belajar pada mereka. Mereka menyediakan buku-buku untuk dibaca dan dipelajari. Bahkan, mereka pun menyewa lahan untuk anak-anak belajar bertani.

"Aku gak pernah nyuruh mereka baca atau nulis," kata Sang Istri. "Aku membaca dengan gembira dan menulis karena butuh. Jadi buat apa maksa orang?"

Aku tersenyum mendengarnya. Di rumah itu terlihat beberapa pemuda yang sedang asyik berdiskusi sesuatu sambil membuka beberapa buku dan satu orang sibuk dengan komputer. Gayanya sudah seperti kelompok diskusi pelajaran di kampus.

"Mereka mau bikin yoghurt," kata Sang Istri lagi. "Dan disinilah mereka belajar membaca dan menulis. Mereka mencari referensi tentang yoghurt dan olahan susu lainnya. Nyari-nyari mana yang bisa diaplikasikan. Namanya membuat sesuatu, pasti ada trial and error. Makanya, mereka belajar bikin logbook dan dokumentasi. Kalau pake resep yang ini hasilnya kayak apa, dibandingin sama resep yang lainnya bagus mana...."

"Cool," komentarku singkat.

Aku teringat status Facebook milik Yona Primadesi, penulis buku Dongeng Panjang Literasi Indonesia, tanggal 4 Februari 2018. Status itu berbunyi, "Apa betul baca itu bermanfaat? Manfaatnya apa? Jika memang bermanfaat, apa cara yang selama ini kita gunakan untuk membiasakan anak-anak baca, sudah tepat? Atau, jangan-jangan semacam kebijakan di awal 70-an, beri pakaian buat masyarakat di pedalaman pulau Mentawai (alasannya biar mereka tidak primitif dan jadi masyarakat beradab), tapi lupa melihat kebutuhan mereka yang sesungguhnya. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang terkena penyakit kulit bahkan meninggal dunia."

[irp posts="2693" name=" Segmented Writing", Menulis dengan Ceruk Bahasan Yang Kecil"]

Kita sebagai manusia modern mengerti, bahwa pakaian (sandang) adalah kebutuhan pokok hidup. Namun apakah itu juga berlalu di pedalaman Mentawai? Demikian juga dengan kegiatan baca tulis. Kita yang pernah sekolah pasti yakin baca dan tulis adalah kegiatan yang bermanfaat.

Namun bagaimana dengan ibu-ibu di ilustrasi awal tadi? Apakah ibu-ibu tadi benar-benar harus bisa baca tulis? Kalau sudah bisa membaca mereka mau apa? TBM membuat program pemberantasan buta aksara. Kalau semua warga bisa beraksara, lalu mau apa? Bukan sekedar buat kebanggaan bahwa kampung itu sudah maju, kan?

Anak-anak di rumah temanku, mereka tekun membaca dengan sendirinya. Mereka belajar menulis logbook dan dokumentasi dengan sendirinya karena mereka butuh. Mereka butuh tahu cara membuat yoghurt dan mereka butuh tahu takaran mana yang paling cocok untuk yoghurt yang mereka buat. That's it.

Sebuah talkshow bertajuk ‘Problematika Minat Baca Generasi Muda’ yang diselenggarakan oleh LPM Sukma UPBJJ-UT Jakarta pada tanggal 28 Januari 2018, menghadirkan Dea Anugrah, Gloria Morgen, dan Puthut EA sebagai pembicara. Dea Anugrah dan Puthut EA adalah penulis. Gloria Morgen juga menulis sebuah buku, namun beliau lebih dikenal sebagai anak muda inspirasional.

Pada kesempatan itu, Dea Anugrah menceritakan tentang kegembiraan membaca. Dea suka membaca karena menurutnya membaca itu menyenangkan. Menurutnya, salah satu penyebab rendahnya minat baca orang Indonesia karena ketika anak-anak hanya diberitahu kalau membaca itu penting. Membaca memang penting. Namun anak-anak tentu lebih menyukai sesuatu yang menyenangkan daripada sesuatu yang penting.

Misalnya saat Dea masih sekolah, guru Bahasa Indonesia Dea selalu menanyakan apa pesan moral dari sebuah cerita. Seolah-olah cerita hanya dibuat untuk menyampaikan pesan moral.  Tidak ada yang menanyakan hal-hal yang lebih mengolah rasa dan daya imajinasi anak. Contohnya dengan menanyakan karakter apa yang disukai? Bagaimana perasaannya jika mengalami situasi seperti tokoh utama? Atau apa yang akan dilakukan jika menjadi tokoh utama dalam situasi seperti di cerita?

Gloria Morgen pun menyampaikan hal yang senada. Menurut cerita Gloria, anak-anak di Amerika memiliki target untuk menyelesaikan membaca sekian buku dalam setahun. Setiap mereka selesai membaca sebuah buku, mereka akan mendapat apresiasi. Di sekolah yang diamati oleh Gloria, anak-anak akan mendapat sebuah stiker bila berhasil membaca satu buku. Bila stikernya terkumpul sejumlah buku yang ditargetkan untuk dibaca, mereka bisa menukar stiker itu dengan es krim atau cokelat. Bukankah mengerjakan sesuatu untuk bisa dapat cokelat adalah hal yang menyenangkan?

[irp posts="1864" name="IDE MENULIS OPINI (6) - Mengenal Cara Berpikir Mind Mapping""]

Selain apresiasi, menurut Gloria, penting juga untuk menumbuhkan rasa butuh seseorang pada buku. Kalau merasa butuh, dengan sendirinya orang akan tergerak untuk membaca. Media digital memang tumbuh sedemikian rupa, namun tetap ada hal-hal yang hanya diungkap oleh buku.

Biografi orang-orang hebat zaman dulu, misalnya. Tidak harus orang zaman dulu, Gloria mencontohkan bila kita ingin belajar berwirausaha dari Ciputra. Ciputra adalah orang sibuk. Beliau jarang tampil sebagai narasumber suatu seminar. Youtube pun hanya sedikit menampilkan video Ciputra. Sehingga kalau mau belajar dari Ciputra, kita perlu membaca buku biografinya.

Kalau Puthut EA, beliau mengatakan bahwa memang betul ada hal-hal di buku yang tidak bisa diungkap dengan media lain. Misalnya saja cerita dengan sudut pandang orang pertama. Sepanjang pengetahuan Puthut, belum ada film yang sukses menampilkan cerita dengan sudut pandang orang pertama. Ada hal-hal yang memikat ketika dituliskan namun tidak bisa divisualisasikan. Lagi-lagi, ini masalah kesenangan.

Ya, membaca itu penting dan menulis itu perlu. Untuk apa? Pribadi kita saja yang bisa menjawab dengan kebutuhan kita masing-masing. Bila ada orang yang merasa mengajak orang lain membaca dan menulis itu perlu, sebaiknya cari tahu kebutuhan apa yang bisa dijawab dengan membaca dan menulis. Dan, ajaklah membaca dan menulis dengan cara-cara yang menyenangkan.

***

Edito: Pepih Nugraha