Cara Saksi Jehovah "Memasarkan" Agamanya

Selasa, 6 Februari 2018 | 06:10 WIB
0
1009
Cara Saksi Jehovah "Memasarkan" Agamanya

Beberapa hari lalu, saat menunggu bus di city centre, seorang pria bule tinggi besar senyum pada saya. Senyumnya saya balas. Di sebelahnya seorang wanita, bule juga, anggun dengan pakaian santun, dan senyum ramah ke arah saya.

Dalam hati saya langsung bisa menebak siapa mereka.

"Hi. Do you speak English?" kata si pria.

"Yes, I do," jawab saya.

"Do you have a moment so we can talk?"

"Err... But my bus is coming. Maybe next time," kata saya sambil menyetop bus.

"Then can I give you a brochure for you to read?" kata si wanita.

"Sure. Thanks!" saya menjawab sambil menerima brosur yang ia sodorkan.

Di dalam bus saya membaca sekilas. Dan betul dugaan saya. Mereka adalah para misionaris Kristen dari denominasi Jehovah's Witness (Saksi Jehovah - SJ).

Isi brosur kali ini tentang kebahagiaan dan cinta dalam keluarga. Di brosur-brosur sebelumnya SJ membahas tentang banyak hal. Mulai dari kejujuran, cinta kasih, penyelamatan, dan Hari Akhir (Armageddon).

Saya tak hendak mengkritisi SJ di sini, karena agama orang lain bukan ranah saya. Bahkan untuk agama sendiri saja saya masih harus banyak belajar.

Bagaimanapun saya sedikit tahu tentang prinsip ajaran SJ. Para pengikutnya meyakini kebenaran Injil (terjemahan New World). Mereka mengimani Kerajaan Tuhan dan Nabi Isa. Para SJ tidak percaya konsep trinitas, tidak merayakan Natal maupun Paskah, karena ritual-ritual itu tidak pernah diajarkan dalam Injil.

Di seluruh dunia pengikut SJ ada sekitar 10 juta, termasuk di Indonesia. Michael Jackson, Prince, Serena dan Venus Williams adalah sebagian pesohor penganut SJ.

Pergerakan mereka seperti organisasi profesional yang tersistematisasi dengan sangat baik. Di semua negara/wilayah benua pasti ada perwakilan SJ yang siap datang ke rumah siapapun, tanpa dipungut biaya. Mereka juga menerbitkan majalah Watch Tower yang beredar di seluruh dunia, sesuai dengan bahasa negara setempat. Dari mana saya tahu?

Kami sering menerima majalah ini di kotak pos.

**

Selama belasan tahun hidup di perantauan, khususnya Eropa, entah sudah berapa puluh kali saya bertemu dengan para misionaris SJ ini. Biasanya mereka menawarkan brosur atau buku di jalan, atau cukup sering juga datang ke rumah-rumah.

Di Inggris dulu saya bertetangga dengan seorang wanita paruh baya asli Leeds yang sungguh ramah. Beberapa kali dia mengundang saya minum teh di rumahnya. Paling sering kami berbincang di depan halamannya ketika saya akan berangkat kerja.

Kadang kami bertemu di Tesco, salah satu waralaba supermarket terbesar di Inggris. Si Ibu (yang saya lupa namanya) ini tahu sejak awal bahwa saya muslim, dari jilbab yang saya pakai.

Tapi setiap pertemuan, beliau selalu menyampaikan segala hal tentang SJ.

"My sister introduced me to be a Jehovah's Witness years ago. And I've never looked back," katanya selalu dengan wajah bahagia.

Pernah iseng saya bertanya, "You've known that I'm a muslim. But why do you always talk about your religion to me?"

Jawabannya selalu, "I know that, Love. But don't worry. I'm not trying to persuade you out of your religion. It's just my obligation to spread the good news to everyone, including you. And you are my good neighbour."

Entah berapa kali percakapan demikian berulang. Tapi si Ibu tetap keukeuh mendakwahi saya.

Alhamdulillah, Allah selalu memberi keteguhan imam di hati.

Hingga kami meninggalkan Leeds, kami tetap berhubungan baik. Dia tampak sedih ketika kami pindah tahun 2006 dulu.

**

Ketika baru beberapa minggu tinggal di Haugesund, Norwegia, bel pintu rumah kami berbunyi. Dua wanita paruh baya bertanya dengan sopan.

"Do you have a moment so we can talk? We come with a good news. Where are you from? What language do you speak?"

Ketika saya sebutkan bahwa kami dari Indonesia, si Ibu dengan semangat mencari buku panduan kecil dalam bahasa Indonesia, yang tentunya tak ada.

Kedua ibu ini mengingatkan saya pada tetangga baik di Leeds. Gaya bicaranya yang santun dan ramah memang khas. Sebelum terjadi diskusi panjang lebar, saya menjelaskan bahwa saya muslim, dan saya bahagia dengan agama saya sekarang.

"So, maybe we can talk some other time? Or you can read the book, access our website, or ring the number there. Our friend will be happy to answer your questions."

Baiklah. Dan merekapun pamit.

Di lain waktu, saya berpapasan dengan wanita paruh baya juga, yang langsung mengundang saya untuk menghadiri majelis di gereja SJ.

Keep calm and don't be angry.

Saya lagi-lagi hanya berterima kasih sambil mengatakan bahwa saya muslim.

Selain wanita dan lelaki paruh baya, para pendakwah SJ ini juga dari kalangan pemuda. Para pemuda tampan yang necis dengan seragam mereka.

Sempat terjadi diskusi singkat tentang Indonesia dan tentang agama masing-masing.

Mereka berharap saya maklum dengan cara mereka berdakwah di jalan dan door-to-door seperti ini, karena demikianlah metode mereka.

Saya tentu maklum dan tidak menyalahkan mereka yang hanya menjalankan tugasnya. Setiap pemeluk agamapun pasti punya tugas untuk berdakwah tentang agamanya di manapun mereka berada.

Ada yang dengan terang-terangan seperti itu, atau melalui teladan yang baik dalam pergaulan dengan sesama manusia.

Apapun caranya, yang penting tidak bertentangan dengan aturan negara setempat, dan dilakukan dengan cara yang santun dan tidak memaksa.

Sudah belasan kali saya jadi objek dakwah mereka, dan saya yakin kami akan bertemu lagi.

Entahlah, apakah mereka berdakwah secara acak ke setiap orang, atau ada ciri tertentu yang jadi sasaran.

Yang saya tahu, mereka ini punya kerja sama yang baik dengan pemerintah Norwegia. Mereka akan mendatangi para warga baru, atau mereka yang sedang punya masalah keluarga dan dipandang perlu pendampingan.

Beginilah romantika kehidupan kaum muslim sebagai minoritas di negeri Barat. Perjumpaan dengan berbagai karakter manusia, pergaulan dengan berbagai agama, seharusnya memang semakin memperkaya wawasan dan membuka pikiran.

Iman harus dijaga agar tetap kuat, sembari tetap berusaha jadi representasi Islam yang ramah dan bersahabat.

***

Editor: Pepih Nugraha