Melampaui Formalisme Agama

Selasa, 6 Februari 2018 | 16:48 WIB
0
234
Melampaui Formalisme Agama

Formalisme agama mungkin adalah virus sosial yang paling mematikan di dunia sekarang ini. Dalam arti ini, formalisme agama adalah pemahaman beragama yang terjebak pada bentuk (form) semata, seperti ritual dan aturan-aturan yang sudah ketinggalan jaman.

Orang lalu sibuk mengikuti aturan berdoa dan aturan moral yang dibuat ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu, tanpa paham isi dan tujuan sebenarnya. Ia lalu cenderung untuk tidak toleran terhadap perbedaan, bersikap fanatik dan radikal.

Akar formalisme agama

Formalisme agama berakar pada setidaknya lima hal;

Pertama, ia berakar pada kesalahpahaman tentang makna iman dan agama. Semua ajaran agama selalu lahir dalam keadaan jaman tertentu. Jika ingin diterapkan di jaman yang berbeda, ia membutuhkan penafsiran lebih jauh yang berpijak pada pemahaman akal sehat, serta hati nurani yang bersih. Formalisme agama persis mengabaikan hal ini.

Dua, formalisme agama berakar juga pada kemalasan berpikir. Sudah seringkali terjadi di dalam sejarah manusia, bahwa agama digunakan sebagai pembenaran untuk kemalasan berpikir. Orang tidak mau berpikir kritis, rasional, logis dan sistematis. Mereka hanya mengikuti tradisi yang sudah ketinggalan jaman, tanpa berpikir sama sekali.

Tiga, formalisme agama juga sering digunakan sebagai pembenaran untuk mengumbar nafsu dan kerakusan. Orang mengutip aturan-aturan kuno beragama, guna membenarkan perselingkuhan dan korupsi. Seolah-olah maling dan tukang selingkuh menjadi orang suci, ketika mampu mengutip ayat-ayat suci tertentu. Pada titik ini, agama melepaskan keluhurannya, dan berubah menjadi alat bantu pengumbaran nafsu dan korupsi.

Empat, formalisme agama juga berakar pada keinginan untuk menindas orang lain. Ajaran-ajaran agama digunakan sebagai pembenaran untuk menindas hak-hak asasi orang lain. Kelompok minoritas, baik ras, ideologi, agama maupun orientasi seksual, kerap kali menjadi korban. Formalisme agama menciptakan perpecahan yang akhirnya berujung pada konflik berkepanjangan di dalam masyarakat.

Lima, orang mengikuti ajaran sebuah agama secara buta, seringkali karena kerinduan untuk masuk surga, serta menghindari neraka. Mereka berharap, jika semua aturan agama diikuti tanpa tanya, mereka akan mendapatkan hadiah surga, dan terhindar dari siksa neraka.

Anggapan ini jelas merupakan kesalahpahaman mendasar tentang kehidupan. Yang disebut sebagai neraka dan surga itu bukanlah sebuah tempat setelah kematian, melainkan pola berpikir kita di sini dan saat ini.

Jika kita hidup penuh kemarahan, kebencian dan iri hati, maka kita sudah hidup di dalam neraka. Penderitaan batin dan fisik yang dirasakan amatlah besar. Sebaliknya, jika kita hidup dalam kedamaian, welas asih serta pemahaman yang tepat tentang jati diri kita yang sebenarnya, maka kita sudah berada di surga. Tak perlu menunggu lama, setelah kematian tiba.

Melampaui formalisme agama

Formalisme agama amat mudah digunakan oleh kepentingan politik yang tidak jujur, guna menciptakan ketakutan dan perpecahan di masyarakat. Ini menjadi semakin terlihat di dalam masyarakat demokratis, di mana rakyat bisa memilih langsung para wakil dan pimpinannya di pemerintahan.

Agama pun digunakan untuk mengumpulkan suarat rakyat demi mendukung calon tertentu, sekaligus membenci calon lainnya. Rakyat yang bodoh, yang masih terjebak pada formalisme agama, akan dengan mudah tertipu.

Ada empat yang kiranya bisa dilakukan;

Pertama, ketika beragama, kita mesti belajar sampai ke inti dari agama tersebut. Kita tidak bisa hanya sekedar mengikuti apa kata guru agama. Kita juga tidak bisa secara buta mengikuti aturan-aturan maupun ritual yang ada, tanpa paham akan makna sejarah serta metafisisnya. Jika itu dilakukan, kita justru akan jatuh pada kesesatan, dan merugikan diri kita sendiri serta orang lain.

[irp posts="9676" name="Mengelola Isu Primordialisme dan Agama Jelang Pilpres 2019"]

Dua, agama harus menjadi sebuah pengalaman iman, yakni persentuhan langsung dengan Sang Pencipta. Di Indonesia, dan juga di banyak negara lainnya, agama kerap kali hanya menjadi bagian dari mental kerumunan. Artinya, orang beragama hanya sekedar mengikuti tradisi dan kecenderungan masyarakat, demi menemukan rasa aman semu. Pola semacam ini akan dengan mudah terjatuh ke dalam formalisme agama yang membawa banyak kesesatan dan kerugian di dalam hidup bersama.

[caption id="attachment_9886" align="alignleft" width="493"] Abdurrahman Wahid (Foto: Ask.fm)[/caption]

Tiga, kehidupan beragama harus juga menjadi sebentuk pencarian. Agama tidak boleh menjadi sekedar warisan orang tua yang diikuti secara buta. Agama sebagai pencarian akan membawa orang pada spiritualitas hidup yang mendamaikan dan membahagiakan. Sebaliknya, ketika agama hanya dilihat sebagai warisan dari orang tua dan masyarakat, orang akan dengan mudah jatuh ke dalam kesesatan berpikir yang membawa banyak petaka.

Empat, gerakan sosial melawan segala bentuk formalisme agama haruslah dilakukan. Kerja sama dengan berbagai pihak, baik pemerintah, dunia pendidikan maupun bisnis, haruslah dikembangkan. Tanpa kerja sama yang nyata semacam ini, kehidupan beragama di Indonesia akan terjebak pada keterbelakangan, kebodohan, kedangkalan dan kekerasan, sebagaimana banyak kita lihat sekarang ini. Setelah bertahun-tahun meyaksikan kekerasan dan kebodohan yang mengatasnamakan agama, kita tentu sudah belajar banyak, bukan?

Melampaui formalisme agama berarti mengangkat agama ke tempat yang seharusnya, yakni sebagai spiritualitas hidup. Aturan-aturan dan ritual beragama digunakan seperlunya, guna menciptakan hidup bersama yang penuh welas asih dan kedamaian. Selebihnya, orang bergerak ke ranah kesadaran yang menjadi inti dari spiritualitas. Hidup dengan kesadaran dari saat ke saat, serta tidak terbawa arus pikiran dan emosi yang datang sesaat, adalah inti terdalam dari spiritualitas.

***