Duduk Perkara Utang Pemerintah Indonesia Sekarang

Selasa, 6 Februari 2018 | 19:57 WIB
0
569
Duduk Perkara Utang Pemerintah Indonesia Sekarang

Utang. Semua orang mungkin pernah berutang, baik kepada kawan, teman atau saudara. Tentu orang berutang mungkin karena kebutuhan mendesak karena suatu hal. Bahkan gara-gara berutang hubungan persahabatan atau persaudaraan jadi renggang, karena utangnya tidak di bayar atau kalau ditagih malah lebih galak dengan jawaban "tar sok-tar sok" alias janji-janji besok.

 Dalam dunia usaha atau bisnis seseorang mengajukan kredit atau utang kepada bank dengan jaminan asetnya. Alasan berutang tentu bermacam-macam, tapi biasanya untuk membuka usaha atau mengembangkan bisnis usahanya. Utang seperti ini wajar dalam dunia bisnis karena tanpa utang mustahil bisa mengembangkan usahanya, asal bisa membayar cicilan pokok plus bunga yang disepakati.

Tetapi kalau berutang ke bank hanya untuk konsumsi seperti membeli barang-barang mewah atau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau utang ke bank untuk membayar utang, utang model seperti ini malah akan menambah masalah dan hampir pasti akan mengalami gagal membayar cicilan dan akhirnya aset jaminan akan disita oleh bank. Gali lobang tutup lobang istilahnya.

Suatu perusahaan atau perorangan kalau berutang kepada bank dan ternyata gagal membayar cicilan plus bunga, dalam kurun waktu yang disepakati antara pihak bank dan debitur, maka bank bisa menyita asetnya.

Mau nangis seharian memohon-mohon kepada bank juga tidak akan berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh pihak bank.

Nah, dalam skala lebih besar yaitu negara, juga perlu berutang, baik berutang antarnegara atau lewat bank dunia atau lembaga keuangan seperti IMF.

Kenapa perlu berutang, bisa jadi penerimaan negara tidak memenuhi target, jadi perlu berutang untuk memenuhi defisit anggaran tadi. Atau pemerintah bisa menerbitkan Surat Utang Negara dalam bentuk obligasi atau bentuk lainya.

Bahkan negara terbesar ekonominya seperti Amerika mempunyai utang terbesar kepada Cina, per Juni 2017 Cina memegang surat utang pemerintah Amerika sebesar Rp 15.295 triliun, tentu ini di atas seratus persen dari Produk Domestik Bruto negara AS. Negara kedua yang memegang surat utang pemerintah Amerika yaitu Jepang sebesar Rp14.497 triliun. Jadi negara sebesar Amerika saja juga punya utang kepada negara lain untuk memacu pertumbuhan ekonomi negaranya.

Di negara kita ini lagi ribut-ribut soal utang karena utangnya semakin bertambah total utang sejak Indonesia merdeka sampai dengan pemerintahan sekarang yaitu kurang lebih Rp4.000 triliun. Jadi ini utang akumulasi, bukan utang pemerintahan sekarang sebesar disebut di atas. Jadi setiap presiden meninggalkan utang dan akan ditanggung perintah atau presiden berikutnya, begitu seterusnya.

Masyarakat yang awalnya tidak peduli atau tidak mengerti soal utang negara tiba-tiba menjadi seperti pengamat ekonomi dadakan yang mengerti soal utang negara. Dengan share berita-berita tentang jumlah utang negara, tetapi mempunyai maksud untuk kepentingan negatif dan citra yang jelek kepada pemerintahan sekarang.

Dianggapnya utang negara itu seperti utang perorangan atau perusahaan kepada bank, apabila gagal bayar akan disita asetnya dan dijual kepada pihak lain. Tentu utang negara tidak bisa disamakan dengan utang perorangan atau perusahaan kepada bank.

Kalau suatu negara gagal bayar utangnya atau mengalami krisis, maka negara-negara lain akan juga khawatir karena bisa merembet atau berpengaruh kepada negara lain. Dan ini bisa menyeret ke krisis regional atau global dan ini tentu tidak diinginkan negara-negara tetangga.

Oleh karena itu untuk menyelamatkan negara yang sedang krisis supaya tidak merembet ke mana-mana, lembaga keuangan seperti IMF sering memberi bantuan keuangan kepada negara yang bersangkutan. Contoh Yunani yang mengalami krisis dan menyeret Uni Eropa, maka ramai-ramai negara Uni Eropa memberi bantuan keuangan atau bail out kepada negara Yunani.

Memahami utang negara memang tidak mudah, tidak seperti memahami utang seseorang atau perusahaan utang kepada bank, tidak sesederhana itu.

 

Seperti berita yang dirilis Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah pusat hingga akhir 2017 mendekati Rp4.000 triliun, tepatnya Rp3.938 triliun atau 29,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), artinya masih aman dan aman banget.

 

Seperti kemarin menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan di hadapan mahasiswa UI dalam kuliah perdana di Auditorium FEB UI Depok. "Kalau di media sosial ada yang ngomongin utang, saya yakin dia mau melintir kalau sekarang sedang krisis utang. Dia pasti ada motif politik," terang Sri Mulyani selaku menteri Keuangan.

Bu Sri,juga menjelaskan dalam menerbitkan dan mengelola utang banyak yang mengawasi Kementerian Keuangan seperti Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) atau lembaga-lembaga asing juga ikut mengawasi dan memberikan rating sehingga investor merasa aman dalam menempatkan dananya.

Bu Sri juga mengibaratkan dirinya seperti dokter, "Saya tidak boleh berpura-pura bilang kesehatan orang lain. Pasti saya akan tahu dan sudah periksa,t ekanan darahnya, tinggi badan dan beratnya, detak jantung, otaknya, hatinya sehat atau tidak. Semua indikatornya akan dilihat dan disesuaikan."

Benar sebagai menteri keuangan tentu akan mengatakan apa adanya dan transparan, tidak boleh tidak sehat dikatakan sehat atau sehat dikatakan tidak sehat, kalau cara-cara ini dilakukan sama saja memalsukan data-data ekonomi.

Jumlah utang pemerintah pusat Rp 3.938,7 triliun ini terdiri dari instrumen pinjaman sebesar Rp744,0 triliun atau 18,9% dan dari total dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3.194,7 triliun atau 81,1%.

Dari total instrumen yang sebesar Rp744,o triliun, komposisi pinjaman luar negeri mencapai Rp738,4 triliun di mana dari total tersebut terbagi lagi berdasarkan pemberi pinjaman seperti bilateral sebesar Rp313,7 triliun, multilateral sebesar Rp381,2 triliun, komersial sebesar Rp42,6 triliun dan pinjaman kredit ekspor sebesar Rp1,o triliun. Sedangkan untuk pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,5 triliun.

Dalam portofolio SBN berdenominasi valas lebih kecil dibandingkan SBN rupiah masing-masing 21,7% atau Rp853,6 triliun untuk SBN valas dan 59,4% atau 2341,1 triliun untuk SBN rupiah.

Inilah gambaran utang pemerintah yang masih sehat tergolong sehat di lihat dari indikator-indikator keauangan.

Bukan yang ramai seperti di medsos, tiap individu atau rakyat Indonesia sejak lahir sudah menanggung utang negara, tentu itu analogi yang menyesatkan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Negara kita masih lancar dalam membayar utang dan tidak pernah telat membayar utang dan malah ditawari untuk utang lagi, artinya ada kepercayaan lembaga keuangan asing kepada Indonesia. Seperti kalau kita minjam uang ke bank atau kartu kredit, kalau lancar membayar cicilannya dan tidak pernah nunggak pasti akan ditawari utang lagi, bahkan marketing kartu kredit bisa telpon berkali-kali dalam satu hari untuk menawari produk lainya.

Bagi individu atau seseorang yang punya utang kepada teman/kawan atau saudara lebih baik cepet-cepet membayar utangnya, jangan sibuk membahas utang negara tapi lupa kepada utang kepada sahabat atau saudaranya.

Karena utang individu kalau meninggal akan membawa beban yang bersangkutan.

***

Editor: Pepih Nugraha