Pasal Zina dan Polemik “Dunia Remang-remang”

Senin, 5 Februari 2018 | 16:04 WIB
0
606
Pasal Zina dan Polemik “Dunia Remang-remang”

Menarik melihat adanya usulan untuk memperluas pasal zina yang ada dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Sejatinya, soal siapa yang berwenang yang akan memutuskan pada akhirnya tetap berada di tangan para anggota DPR, sekalipun sudah banyak suara dari masyarakat yang pro-kontra terhadap substansi mengenai bagaimana menjerat para pelaku zina sevara hukum.

Anehnya, saat mencuat akan adanya perluasan soal pasal zina ini dalam RKUHP, toh yang namanya surga hiburan malam dan dunia remang-remang tetap menjadi hal yang diminati masyarakat dan mungkin tak akan pernah mati.

Anda masih ingat Alexis? Yang pernah ditutup izinnya oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tetapi tetap masih buka hingga detik ini. Selama manusia hidup, soal zina bahkan kenikmatan surga dunia hiburan akan tetap ada, bahkan umur soal kegiatan “esek-esek” ini seumur dengan dunia yang semakin karatan ini.

Membaca salah satu berita investigasi Tempo dalam laman daringnya (tempo.co) menarik untuk disimpulkan, bahwa kebijakan sehebat apapun aparat, sekuat apapun para pendukung dibelakangnya, perzinaan dan segala macam perluasannya adalah “keniscayaan” karena sudah kadung menjadi bagian dari gaya hidup manusia itu sendiri.

Jangankan di perkotaan, soal dunia remang-remang ini sudah hadir —bahkan lebih dulu adanya— di pinggir-pinggiran kota, di desa-desa, bahkan di plosok sekalipun, surga dunia bagi kebutuhan seksual manusia itu tetap saja ada. Bagi saya, selama dunia hiburan malam yang cenderung kepada aktivitas perzinaan itu tetap ada, maka selamanya perluasan pasal zina dalam RUKHP tidak akan mampu berbuat apa-apa.

[irp posts="9232" name="Mengapa Pasien Tahu Dia Mengalami Pelecehan Seks? Ini Penjelasannya"]

Sebagai seorang muslim, saya meyakini, bahwa dari kitab suci Al-Quran yang saya pahami, larangan perzinaan bukan menyasar pada praktiknya, tetapi pada hal “mendekatinya”. Surat Al-Isra dalam al-Quran menyebutkan: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.

Mendekatinya saja sudah dilarang, apalagi sampai melakukan atau bahkan terbiasa menikmatinya. Lalu, kenapa begitu keji dan buruknya perbuatan zina dilakukan?

Ya, karena sebagaimana yang dipersoalkan pegiat dan aktivis kemanusiaan, jangan-jangan jika pasal zina ini diperluas, justru tak bisa melindungi korban, yang ada korban malah dipidanakan, karena zina dalam hal ini menyangkut persoalan pemerkosaan. Tanpa ada kitab suci atau hukum sekalipun, akal manusia yang jernih, pasti akan menganggap keji dan sangat buruk kepada siapapun yang melakukan perkosaan.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana jika zina dilakukan suka sama suka? Atau dilakukan atas “kesepakatan” dengan membayar dengan jumlah uang tertentu dan akhirnya terjadilah perbuatan itu.

Saya kira, hukum pada akhirnya akan sulit untuk memperketat soal perzinaan (memperluas?) jika yang dimaksud zina termasuk pemerkosaan, suka sama suka, dan dilakukan atas dasar kesepakatan tertentu. Saya kira, persoalan zina harus dikembalikan kepada masing-masing orang, sehingga dengan kesadaran akal sehatnya akan menyatakan, zina adalah “perbuatan buruk, sehingga harus dihindari dan jangan didekati”.

Akal seseorang yang sehat, tentu saja dapat melakukan pilihan: mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk, kecuali jika akal sehat manusia tertutup oleh hasrat dan nafsu duniawiahnya yang mendorong melakukan perbuatan buruk, termasuk melakukan zina.

Lagi-lagi, mengarahkan manusia akan “kesadaran akal sehatnya” tentu teramat sulit, karena semua tergantung dari kepribadiannya tergantung dari pengaruh pergaulan, lingkungan, dan mungkin faktor keluarganya sendiri. Buktinya, persoalan kenikmatan surga dunia ini sudah ada dalam sejarah kehidupan manusia, bahkan mungkin telah hadir ditengah kehidupan zaman batu sekalipun.

Itulah kenapa dalam ajaran Islam, pelaku zina yang dapat menghadirkan saksi berjumlah 4 orang, maka hukumannya adalah “rajam” (dilaknat, dilempari dengan batu, dicambuk, bahkan dikurung) dan untuk kategori tertentu jika pelaku zina seseorang yang sudah bersuami/beristri maka dihukum sampai mati.

Perbuatan zina dilihat dari cara pandang kemanusiaan, memang masuk kategori “keburukan pribadi” yang seharusnya menjadi “aib” yang harus ditutupi, bukan malah diumbar dan diberitakan ke tengah publik. Namun kenyataannya, “mendekati” ke arah perzinaan, dengan terbuka luasnya akses-akses menuju ke sana melalui apa yang disebut dunia hiburan malam atau remang-remang, entah itu “pijat plus-plus”, karoke, atau apapun jenisnya merupakan hal yang dianggap “wajar” oleh sebagian masyarakat.

Wajar, karena itu merupakan bagian “gaya hidup” manusia itu sendiri, terlebih sangat wajar jika melihat kenyataan bahwa para pekerja di sektor ini justru seringkali terlilit utang, kesulitan hidup, dan bermacam-macam faktor yang pada akhirnya harus terjun basah ke dalam dunia seperti ini. Masalah perzinaan tentu saja complicated, terkait dengan banyak faktor yang melingkupinya, bukan dilihat dari sisi “kebutuhan” atau “gaya hidup” manusianya, namun banyak faktor lainnya.

Persoalannya, lalu benarkah dengan menutup hotel yang menyediakan praktik prostitusi terselubung dapat menyelesaikan seluruh permasalahan sosial? Tidak! Karena akses ke seluruh persoalan “mendekati” zina itu ternyata terbuka luas, seluas pasal soal zina yang mungkin tak lama lagi akan berada dalam ketukan palu para anggota parlemen.

[irp posts="8697" name="Jualan LGBT ala Zulkifli Hasan di Tahun Politik"]

Saya justru yang tidak sependapat jika pasal zina diperluas, karena bukan saja menghilangkan substansi zina itu sendiri sebagai sebuah perbuatan “maksiat” (sifat buruk) yang menempel di setiap pribadi manusia, tetapi delik hukum yang pada akhirnya “rancu” karena mungkin saja yang seharusnya “korban” lalu menjadi “pelaku” statusnya karena ada laporan ke pihak aparat penegak hukum.

Ketika zina dikategorikan sebagai sebuah kemaksiatan, tentu saja terkait dengan sifat dasariah manusia itu sendiri, yang dengan kemampuan akalnya yang sehat semestinya mampu memilih, mana yang baginya baik dan harus dijalankan dan mana yang menurut akalnya buruk dan harus ditinggalkan.

Dan perlu berhati-hati, jangan-jangan ketika pasal zina ini diperluas, maka akan banyak laporan masuk ke pihak berwenang, akibat sekian banyak perselingkuhan yang terjadi yang hampir setiap mata menyaksikannya dengan tuduhan, tentu saja “perzinaan”.

Jika memungkinkan, lebih baik diperketat pada soal “larangan mendekati” zina-nya dengan membuat aturan-aturan tegas soal prostitusi yang meresahkan masyarakat. Walaupun lagi-lagi, soal perzinaan ini bukanlah sekadar “gaya hidup” namun juga penyumbang cukup besar bagi kas keuangan negara. Betapa pajak-pajak hotel dan tempat hiburan itu sangat besar dan kitapun tentunya sulit menghindari bahwa seluruh fasilitas yang dibangun bagi masyarakat, salah satu dananya disumbang dari sektor tersebut.

***

Editor: Pepih Nugraha