Pilkada Serentak Tak Efisien, Sebaiknya Kembali ke Pemilihan di DPRD?

Minggu, 4 Februari 2018 | 14:01 WIB
0
476
Pilkada Serentak Tak Efisien, Sebaiknya Kembali ke Pemilihan di DPRD?

“Pilkada serentak harusnya biaya semakin kecil, tetapi malah semakin besar biayanya,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Ia juga mengatakan, pemilihan kepala daerah serentak memakan dana yang lebih besar daripada pilkada yang diselenggarakan dengan waktu yang berdeda atau tidak serentak.

Jadi pilkada serentak itu malah lebih boros dari pada pilkada tidak serentak, padahal maksud diadakan pilkada serentak adalah untuk menghemat biaya atau biar lebih efisien dan mengurangi kerawanan sosial dalam pilkada, mengapa kemudian dipaksakan juga?

Ibaratnya kalau borongan 'kan lebih murah, ini borongan malah lebih mahal dibanding eceran.

Pada tahun 2015 saat menyelenggarakan pilkada serentak di 269 daerah, dana yang dihabiskan mencapai 7 triliun dan dana ini melonjak 3 triliun dari perkiraan awal 4 triliun. Semantara pada tahun 2017 biaya pilkada di 101 daerah mencapai 5,9 triliun.

Dan pada tahun 2018 diperkirakan dalam pilkada serentak di 171 daerah akan memakan biaya 15,5 triliun dan bisa tembus 20 triliun.

Dengan adanya pilkada yang terus menerus tanpa disadari ternyata memakan anggaran yang begitu besar. Biaya untuk memilih kepala daerah tidak murah. Ini bisa mengkhawatirkan anggaran negara dikemudian hari kalau tidak dicari solusi ke depannya.

Memang pilkada dengan pemelihan langsung ini memakan biaya yang sangat tinggi dari mulai pendaftaran, penetapan terus sosialisasi sampai pada pencoblosan.

Bahkan pemerintah saja untuk mencari pinjaman yang jumalahnya 30 triliun saja susahnya setengah mati dan sering dihujat karena utang semakin bertambah, di satu sisi ada pemborosan atas nama demokrasi berapapun biayanya pasti dikeluarkan.

Apalagi dalam pilkada langsung biaya mencetak gambar pasangan calon ini cukup besar, semakin banyak calon,semakin besar pula biayanya. Terus banyak yang tidak menggunakan hak pilihnya alias goput, kertas yang sudah tercetak sia-sia atau mubadzir.

Belum lagi tahun 2019 akan ada hajat besar yaitu pemilihan presiden dan DPR, DPD, ini akan memakan biaya yang lebih besar lagi karena sifatnya nasional dan menyeluruh.

Jadi ada tingktan pemilihan yaitu pilkada untuk kabupaten dan kota, untuk tingkat provinsi dan pilpres, DPR dan DPD. Spektakuler biayanya.

Pemerintah dan DPR seharusnya sudah mulai memikirkan dan mengubah aturan atau Undang-undang berkaitan dengan pilkada.

Sebenarnya pernah dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah bisa membuat pilkada yang lebih efisien dengan sistem elektronik yaitu bukan dengan yang manual sekarang yaitu model pencoblosan dengan paku atau alat lainnya.

Tetapi usulan ini ditolak oleh KPU dengan alasan belum siap dan harus mengubah undang-undangnya, padahal kalau mau dan serius pasti bisa, hanya kemalasan dan pengin menghambur-hamburkan anggaran atau duit rakyat saja.

Hanya karena undang-undang mengatakan bahwa kertas harus dicoblos, akhirnya menolak sistem atau cara lain yang lebih sederhana, cepat dan efisien, seperti sistem elektronik.

Atau kalau belum siap seluruhnya bisa menggunakan dua sistem atau cara yaitu wilayah perkotaan atau yang berada di wilayah pulau Jawa menggunkan sistem elektronik dan wilayah pedesaan menggunakan sistem pencoblosan. Jadi bisa menghemat biaya.

Atau pemerintah dan DPR mengubah tata cara pemilihan pilkada, misal pilkada hanya ditingkat provinsi, sedangkan untuk kabupaten dan kota tidak dengan pilkada langsung. Atau sebaliknya, pilkada langsung untuk tingkat kabupaten dan kota sedangkan tingkat provinsi tidak dengan langsung, tetapi bisa ditunjuk langsung oleh Kemendagri. Segala sesuatunya bisa dimusyawarahkan.

Bahkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza  Mahendra juga pernah mengusulkan untuk wilayah DKI Jakarta tidak usah ada pilkada, tetapi dinaikkan setingkat kementrian dan gubernurnya dipilih oleh presiden.

Sebenarnya kepala daerah yang dipilih secara langsung belum tentu lebih baik dengan kepala daerah yang ditunjuk secara langsung oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendagri.

Kalau dasarnya mental maling atau korupsi mau pilkada langsung yaaa tetap korupsi. Seperti yang terjadi sekarang banyaknya kepala daerah tersangku maslah hukum.

Seperti kata Dahlah Iskan, orang yang baik dan jujur, kalau menunjuk sesorang orang untuk memegang jabatan, maka orang itu juga akan memelih orang yang baik dan jujur. Karena hukum alamnya seperti itu.

Dulu seorang bupati, walikota dan gubernur yang milih DPRD karena yang milih DPRD maka kalau melakukan suap supaya terpilih menjadi kepala daerah, misal ada 50 anggota DPRD, maka calon kepala daerah menyiapkan dana atau menyuap hanya kepada 50 anggota DPRD tersebut. Dan masyarakat tidak terlibat.

Tetapi akhirnya diubah secara langsung, masyarakat ikut terlibat dan menentukan, tetapi biaya menjadi lebih besar yang harus dikeluarkan baik oleh pemerintah atau calon-calon kepala daerah. Karena tidak bisa menyuap anggota DPRD lagi, kalau mau nyuap persuara ya langsung kepada pemilik suara yaitu masyarakat.

Untuk itu hasil pilkada langsung juga tidak bisa menjadi jaminan bisa menghasilkan kepala-kepala daerah yang bebas korupsi dan mementingkan rakyat atau masyarakat.

Maka pemerintah boleh mengkaji alternatif-alternatif atau solusi-solusi bagaimana suapaya biaya pilkada ini bisa efisien dan bisa menghasilkan kepala daerah yang kredibel yang bisa dipercaya masyarakat.

Seperti pilkada serentak tahun ini, awalnya ada 13 calon kepala daerah yang calon tunggal, setelah diperpanjang dua hari oleh KPU, maka tinggal 11 calon kepala daerah calon tunggal, alias tidak ada lawannya dan lawannya kotak kosong.

Karena kebanyakan orang berpandangan demokrasi itu harus ada kompetitor atau lawan dalam pemilihan.

Maka kalau tidak ada lawan yang wujudnya manusia, maka dikasih lawan yang wujudnya kotak kosong ini seperti pemilihan lurah waktu saya kecil ada calon Lurah lawan kotak kosong.

Demokrasi lawan kotak kosong ini hanya ada di Indonesia, padahal demokrasi juga harus berdasarkan keadaan atau fakta-fakta di lapangan, maksudnya kalau memang tidak ada calon atau lawan, kenapa mesti dipaksakan lawan kotak kosong.

Memang dalam undang-undang Pilkada diatur soal itu, kalau ada calon tunggal maka lawannya kotak kosong.K alau yang menang kotak kosong,maka kemendagri menunjul Plt.kepala daerah sampai periode berikutnya. Ini juga agak aneh, yang namanya Plt. Itu sifatnya sementara, misal 3 sampai 6 bulan, kalau Plt.sampai lima tahun atau satu periode itu bukan Plt.

Untuk itu pemerintah dan DPR ke depannya mencari solusi biar pilkada ini efisien, kalau ada calon tunggal di pilkada daerah, apa tidak lebih baik langsung ditetapkan dan dilantik langsung supaya pemerintahan langsung bisa berjalan tanpa ada pejabat Plt.

Tidak buang uang dengan percuma dan mubazdir, orang bisa saja berkilah ini demi demokrasi, makan tuuu demokrasi!

Dan di setiap pilkada calon tunggal biasanya partisipasinya juga rendah.

***

Editor: Pepih Nugraha