Bila Nanti Zumi Zola Berada dalam Penjara, Ingatlah Kata Dilan

Jumat, 2 Februari 2018 | 07:09 WIB
0
678
Bila Nanti Zumi Zola Berada dalam Penjara, Ingatlah Kata Dilan

“Zumi Zola, si mantan artis yang kini gubernur jadi tersangka korupsi?” Biasa aja kalee....Ini Indonesian kontemporer, Bung!

Jabatan gubernur/walikota/bupati merupakan jabatan politis yang sedang naik daun jaman otonomi daerah pasca gerakan reformasi. Siapapun bisa mencalonkan diri sejauh punya modal popularitas, dana, dan pengaruh di masyarakat wilayahnya.

Hal itu beda jauh dari jaman rezim Soeharto yang biasa di-drop dari pusat dan “menunggu petunjuk bapak presiden”. Maka tak heran yang jadi gubernur atau bupati di suatu wilayah bisa jadi adalah Mr. Bean yang tiba-tiba di-jatuh-kan dari “langit pusat”.

Pada era Soeharto, jadi gubernur tak mesti populer di wilayahnya, tak mesti putera daerah, tak mesti punya pengaruh kuat di level akar rumput, asalkan dikenal elit politik lokal dan sudah dapat restu dari orang pusat maka si Calon kepala daerah tinggal ukur baju pelantikan pada tukang jahit langganan. Soal suara dukungan DPRD sebagai pemilih sudah ada yang ngatur dari pusat. Tenang saja, “DPRD kagak akan berani macem-macem, dah! Percaya aja kata Bang Peb!”

[irp posts="9482" name="Zumi Zola Tersangka, Politik Dinasti Kini Membawa Korban"]

Itu dulu. Sekarang lain lho..om/tante. Zumi Zola adalah orang yang beruntung hidup di era reformasi. Dia punya tiga hal utama : Popularitas, Dana, dan Pengaruh di masyarakat wilayahnya. Satu lagi, dia lulusan perguruan tinggi ternama sebagai bukti bukan ‘orang bodoh’ dalam hal sekolah.

Modal popularitas didapat dari keartisan : ganteng, terkenal, idola wanita. Modal ‘pengaruh’ didapat dari sang Ayah yang jadi gubernur dua periode. Modal ‘dana’ didapat dari ‘sana-sini’ lah.

Maka tak heran banyak pihak yang klepek-klepek, baik masyarakat pemilih dan bahkan PAN selaku partai utama pengusung pun takluk! Dengan penuh rasa bangga, partai menempatkannya sebagai “pemain unggulan” turnamen. Atau kalau mau vulgar lagi sebagai Icon partai. Kalau jadi Icon, maka diharapkan mampu membuat partai politik itu meraih pangsa pasar lebih luas di ranah publik dan jagat tenar negeri ini.

Sosok muda, ganteng, jadi idola kaum perempuan, terkenal, idealis, mapan dan merupakan orang nomor 1 di propinsi. Dilan aja kalah! Begitulah sosok politik seorang Zumi Zola. Seperti kalimat khas Damian si tukang tipu-tipu mata (sulap) ; “S.e.m.p.u.r.n.a!”.

Namun demikian, dibalik kesempurnaan Zumi Zola, ada terselip “kesialan” mengintai setiap saat. Apa itu? Iklim politik Indonesia yang ‘nganu’. Kalau “tak cantik main” maka si Pengintai yang ‘nganu’ itu akan membuat si Kepala Daerah jadi ikutan “nganu”.

[caption id="attachment_9557" align="alignleft" width="500"] Zumi Zola Aksi 212 di Jambi (IMCNews.id)[/caption]

Era sekarang posisi DPRD tak lagi tukang stempel seperti jaman Soeharto. Kini posisi legislasi DPRD sangat kuat sebagai “penyeimbang” fungsi eksekutif si Kepala Daerah (gubernur/bupati/walikota). Bukan rahasia lagi dalam fungsi penyeimbang itu ada “mahar” yang harus disediakan kepala daerah kalau mau RAPBD-nya disetujui secara mulus. Kalau tidak begitu, RAPBD bakal direcokin terus dan bakal terlambat disahkan. Kalau terlambat akan lambat pula membangun. Kalau lambat membangun, si kepala daerah akan dituntut masyarakatnya dan dianggap tak becus jadi pemimpin daerah.

Alhasil, soal mahar ketok palu RAPBD menjadi rahasia umum di era reformasi. Antara eksekutif daerah dengan legislatif daerah mesti “tahu sama tahu” membangun iklim kondusif yang penuh saling pengertian secara bilateral saling menguntungkan kedua pihak. Anggota DPRD itu kan perlu biaya, mulai dari biaya pen-caleg-an dulu, biaya ngidupin partai, biaya operasional “ngopeni” masa pendukung yang saban hari datang minta duit untuk kegiatan ini-itu, biaya “kenakalan” personal, beragam biaya anu dan lain sebagainya. Untuk membiayainya tak bisa pakai Daun, tapi Duit. Walau keduanya sama-sama pakai hutuf ‘D’ tapi beda wujud dan fungsinya di era demokrasi kontemporer ini. Paham kan, sayang?

Lho, emang semua itu tak bisa ditolak? Tuh, Gubernur Ahok kok bisa! Itu kan Ahok, bukan Zumi Zola. Mana mau Zumi Zola meniru cara Ahok berseteru dengan DPRD demi menyelamatkan uang rakyat. Lagian dulu Zumi Zola ikut demonstrasi 212 menentang Ahok si “penista agama”, artinya dia dukung Ahok masuk penjara. Gengsi dong!

Demi gengsi tak mau meniru Ahok, Zumi Zola memilih main sabun dengan DPRD. Toh, main sabun itu juga sudah ada di daerah lain. Sudah ada sejak dulu. Sudah biasa dilakukan kawan-kawan politik. Mereka sampai saat ini bisa selamat sentosa jaya sampai tujuan bersama. Nah, sekarang kan tinggal caranya saja. Apa itu? Bermain cantik saat ketok RAPBD!

Berada di iklim politik kontemporer Indonesia yang ngeri-ngeri sedap memang syaratnya cuma “pandai-pandailah bermain cantik”. Pastikan rekan sepermainan berada di zona memudahkan umpan balik bola. Pastikan saat dihadang, si lawan sudah dikasi ‘anu’ untuk berposisi pura-pura menghadang. Dengan demikian sang Kepala Daerah bisa secara indah luput dari sleeding tackle. Pastikan ada ruang gerak yang cukup untuk melakukan manuver cantik yang menghibur publik atas kepiawaian bermain cantik.

[irp posts="7378" name="Menimbang Kemungkinan Gubernur Jambi Zumi Zola Pakai Rompi KPK"]

Tapi jangan lupa satu hal penting lagi! Apa itu? Pastikan kamera KPK tidak melihat kepura-puraan manuver cantik itu! Inilah yang sulit, kawan! Iklim politik kontemporer negeri ini butuh permainan cantik tapi sangat sulit luput dari sorot kamera KPK. Kalau sampai terekam kamera KPK maka “kesialan” yang tadinya terus mengintai akan merampas panggung “permainan cantik” tadi. Inilah yang terjadi pada Zumi Zola, sang ikon politik yang “sempurna” tadi. Lupa pada posisi kamera KPK saat mau main cantik dengan DPRD.

Kini status hukum Zumi Zola sedang kritis. Konon, dia bakal jadi “Tersangka’’ (atau mungkin sudah jadi) kasus penyuapan anggota DPRD untuk memuluskan ketok palu RAPBD. Itu artinya dia bisa saja jadi “Terdakwa’’, kemudian jadi terpidana. Kalau sudah di tangan KPK, proses hukum itu sulit dihindari.

Sangat disayangkan, sosok selebritis nan sempurna Zumi Zola harus seperti itu. Tapi dia tak perlu kecil hati. Bagi Zumi Zola, jalan di ruang keselebritisan masih luas dan panjang.

Zumi Zola itu seleb yang muda, ganteng dan terkenal, tapi kini tak lagi sempurna. Dilan juga seleb, tapi masih kaku. Dilan juga tak sempurna.

Kalau Zumi Zola sangat malu belajar dari Ahok, dia bisa belajar dari Dilan. Saat nanti berada di balik jeruji tahanan, katakan saja kepada para penggemar “Jangan rindu, berat. Kau tak akan kuat, biar aku saja. Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah, aku sedang mengucapkan selamat tidur kepadamu dari jauh. Kamu nggak akan dengar ”.

Semoga para penggemar klepek-klepek dan dunia keseleban tak hilang ditelan dinginnya ruang tahanan KPK.

***

Editor: Pepih Nugraha