Petani Sesungguhnya Tak Terlalu Persoalkan Impor Beras, Lalu Siapa?

Jumat, 2 Februari 2018 | 05:50 WIB
0
755
Petani Sesungguhnya Tak Terlalu Persoalkan Impor Beras, Lalu Siapa?

Simbok (Ibu) saya di hari tuanya juga bertani, sekalipun tidak punya sawah, tetapi dengan cara menyewa sawah setahun atau dua tahun untuk ditanami padi atau tembakau kalau lagi musim tembakau yang setahun sekali.

Baru dua minggu yang lalu Simbok pergi ke Bandung, naik sepur (kereta api) dari Solo, Stasiun Balapan.

Ibu kalau ke Bandung nengok anaknya pasti bawa beras yang cukup berat untuk usia mendekati 70 tahun seorang diri. Tapi ia tidak kekurangan akal untuk membawa beras itu yang beratnya 20-25 kg, yaitu menyuruh porter membawa sampai ke dalam kereta.Dan kalau sudah sampai ke Bandung yang jemput kaka saya. Itu sudah bertahun-tahun dan sering bolak-balik Solo-Bandung.

Sebenarnya beli beras di Bandung lebih praktis dan tidak repot apalagi sudah tua, tetapi yang namanya orangtua apalagi ibu, pengin bawa oleh-oleh untuk anaknya,apalagi hasil panen sendiri yaitu beras.

Pernah kemarin waktu di Bandung saya tanya, "Piye panen Mbok?" Jawab Ibu, "Iyoo panen tapi regane murah, makane dipanen dewe dan diselep (digiling di penggilingan padi) hasile luwih (lebih) akeh (banyak).

Jadi menurut Simbok saya, sekalipun harga beras itu tinggi tapi tidak ada keuntungan atau pengaruh kepada petani. Penebas atau tengkulak itu kalau nawar padi di sawah itu seenak wudele dewe, maksudnya tengkulak-tengkulak itu suka “Nyacat” atau mencari-cari alasan supaya mereka dapat harga murah dari petani, contoh: sekarang musim hujan susah njemur gabah, gabahnya kwalitasnya tidak bagus dan lain-lain. Tujuannya supaya dapat beli gabah dengan harga murah.

Karena ditawar rendah oleh Penebas atau tengkulak, banyak petani yang jengkel, yang akhirnya memanen sendiri padinya sekalipun harus mengeluarkan biaya lagi untuk membayar orang untuk memanen padi dan merontokkan padi jadi gabah. Prosesnya selanjutnya dijemur beberapa hari, setelah itu diselep (digiling) jadi beras, baru dijual dan sebagian untuk konsumsi sendiri.

Cara seperti ini lebih menguntungkan sekalipun juga melelahkan dan keluar biaya lagi. Dan tengkulak atau pengepul itu tidak dapat banyak gabah yang untuk digiling jadi beras. Karena banyak padi yang dipanen sendiri. Dan, penyebab harga beras yang tinggi karena banyak daerah yang gagal panen karena banjir dan sebab lain.

Menjadi petani padi itu tidak mudah, banyak hamanya dan susah diberantas, kalau gagal panen, uang berjuta-juta lenyap tanpa bekas. Panen bagus kadang harga tidak sebanding dengan ongkos produksi dan itu tidak hanya untuk padi saja untuk yang juga sama,seperti cabe, tomat dan tanaman lainnya.

Makanya kalau ada sebagian masyarakat minta kepada pemerintah untuk harga-harga serba murah, itu sama saja ingin membunuh kaum petani berlahan-lahan. Ketika harga beras atau hasil tani murah, artinya sama saja yang dirugikan adalah kaum petani. Karena hasil pertanian dibeli dengan murah. Tetapi ketika harga beras mahal yang dirugikan semua masyarakat yang makan nasi. Baik petani itu sendiri atau masyarakat yang bukan petani akan dirugikan dengan harga beras mahal. Lha terus sing untung sopooo?

Yang untung adalah tengkulak atau pemodal-pemodal besar dalam hal ini pengusaha beras karena mereka membeli gabah dari petani dengan harga yang murah dan dijual dalam bentuk beras dengan harga yang sangat tinggi. Pemodal-pemodal besar ini menyimpan gabahnya karena kalau nyimpan gabah tidak terlalau beresiko dibanding kalau menyimpan beras yang kadang diserang kutu beras.

Jadi kalau ada sekelompok orang yang teriak-teriak stop impor beras karena akan merugikan petani, sekilas seperti memihak petani, tetapi kalau dicermati orang-orang itu hanya di mulutnya saja antiimpor beras, giliran disuruh membeli beras petani dengan harga yang tinggi juga tidak mau. Kalau benar mau membela petani ya belilah beras petani dengan harga tinggi. Katanya orang kaya membeli beras 1 kg dengan harga 13 ribu saja sudah terasa mau kiamat besok.

Kenapa banyak yang tidak suka kalau pemerintah Impor beras apalagi dengan alasan karena sebentar lagi penen?Orang-orang itu pemodal-pemodal besar yang sudah membeli gabah dari petani dengar harga yang agak tinggi, jadi kalau beras impor masuk mereka tidak bisa menjual dengan harga yang agak tinggi seperti yang mereka inginkan. Mereka juga mengatasnamakan membela kepentingan petani.

Baru pemerintah niat mau impor beras, harga beras sudah sedikit turun, artinya ada pengaruh psikologis, padahal beras belum masuk ke gudang Bulog.

Ini mirip dalam trading saham, bandar-bandar saham besar itu suka menciptakan rumor tertentu supaya harga saham jatuh, karena panik investor-investor kecil atau retai ramai-ramai menjual sahamnya, ketika harga sudah di titik terendah seperti yang diinginkan oleh bandar-bandar tadi, bandar-bandar tadi mulai membeli lagi diharga yang sangat murah. Inilah modus-modus pemoadal besar, suka membuat rumor.

Yang lebih aneh, banyak daerah-daerah apakah itu provinsi atau kabupaten yang menolak beras impor masuk ke wilayahnya dengan alasan daerah mereka surplus beras jadi tidak perlu impor dan seakan membela petani dan melindungi. Contoh daerah yang menolak Sulawesi Selatan, Bali, Jogjakarta dan Jawa Barat.

Bahkan wakil gubernur Dedy Mizwar menolak dengan tegas dengan alasan Jawa Barat lumbung padi nasional, jadi tidak perlu impor. Anehnya, daerah-daerah yang menolak beras impor tadi dan karena surplus beras mereka juga tidak bisa atau berdaya menurunkan harga beras, harusnya kalau surplus beras meraka bisa menurunkan harga beras. Dan itu juga diakui oleh mereka, "Sekalipun surplus beras kami juga tidak bisa menurunkan harga beras".

Pemerintah melakukan impor itu pasti tidak ingin ambil risiko, maksudnya kalau ternyata setok beras berkurang dan harga beras tinggi tentu yang rugi masyarakat pada umumnya, pemerintah ingin mencari keselamatan semua masyarakat.

Memang dengan kebijakan impor beras, tengkulak-tengkulak semakin punya alasan untuk menekan harga gabah petani dan yang rugi yaa petani lagi.

Dan untuk meningkatkan hasil para petani padi, pemerintah harus melatih para petani membentuk koperasi tiap kelurahan atau kecamatan untuk mempunyai posisi tawar yang tinggi. Menanam padi secara serentak, menjual dengan cara kelompok tani dan tidak sendiri-sendiri.

Ulah para tengkulak atau pemodal besar itu memang pinter. Saya kasih contoh beras yang di pasar Cipinang itu rata-rata berasal dari Karawang, mereka beli gabah/beras di karawang dengan harga murah, terus masuk pasar Cipinang dengan kemasan/label tertentu dan harganya sudah mahal dan dipasarkan lagi ke wilayah Karawang atau sekitarnya.

Dalam bawang merah juga seperti itu. Bawang merah Brebes itu sangat terkenal kwalitasnya, padahal penghasil bawang Merah itu bukan hanya di Brebes, tapi Jawa Timur atau NTT/NTB, tetapi biar bawang merah itu harganya mahal, bawang merah itu masuk dulu ke daerah Brebes seakan-akan itu bawang merah dari Brebes dan di kasih label kalau itu bawang emrah Brebes.

Sebenarnya yang menentukan harga beras bisa naik dan turun itu siapa, ya pengusaha-pengusaha beras yang ada di pasar Cipinang. Mereka sudah seperti kartel, harganya relatif sama, daerah-daerah hanya mengikuti harga dari Jakarta. Kalau ada yang berani jual beras lebih murah dari anggota lainnya, bisa-bisa diusir atau dihajar sama centeng-centeng mereka.

Petani mau menjual beras langsung ke pasar Cipinang juga tidak bisa masuk karena ada pihak-pihak yang tidak suka.

Itulah derita kaum petani, mereka tidak begitu peduli dengan ekspor-impor beras yang mereka inginkan harga beli gabah atau padi menguntungkan mereka (petani) supaya bisa menutup ongkos produksi.

Sekarang mencari buruh untuk menanam padi itu tidak mudah, harus antri karena banyak ibu-ibu yang sudah jarang menekuni pekerjaan ini, pekerjaan yang bikin bonyok terasa mau putus karena nunduk berjam-jam.

Ada HKTI tapi lebih banyak untuk tujuan politik mencari kekuasaan, kaum petani hanya jadi alat dukungan. Petani sih tetep melarat dan berjuang seorang diri.

Kasihan Simbok.

***