Mengukur Adab Orang Jakarta dari Perilakunya di Jalanan

Kamis, 1 Februari 2018 | 21:59 WIB
0
552
Mengukur Adab Orang Jakarta dari Perilakunya di Jalanan

Perilaku unik Urang Hindonesia terutama di Hibukota negara  sungguh membuat mulut ini tidak berhenti senyum. Semua hal unik bisa ditemui.  Maklum Jakarta khan banyak didominasi pendatang keunikan-keunikan budaya dari daerah berbaur menjadi satu di Jakarta.

Tapi yang khas yang membedakan dengan ibukota lainnya adalah bahwa kesemrawutan jalanan itu anugerah bagi sebagian orang terutama bagi para preman, PKL, dan mereka yang hobi ngebut di jalanan. Bakat-bakat membalap bisa saja disalurkan di jalan sehingga Indonesia tercatat memiliki angka kecelakaan tinggi di kawasan Asia Tenggara.

Hampir setiap hari selalu ada berita tentang kecelakaan. Penyebabnya macam-macam dari nasib sial, keteledoran pengendara, tidak tertibnya  pengendara dalam berlalu lintas, jalan berlobang dan bahkan karena ada polisi tidur. Hebatnya anggota badan manusia juga bisa dijadikan pengganti  lampu sen (sign) atau di Jawa dikenal dengan lampu riting (baca reiting; seperti mengeja revolusi).

Kaki-kaki akti pengendara motor

Pernah melihat pengendara motor memotong jalan dengan kode kaki? Kaki  sengaja direntangkan  hingga menghambat  pengendara di belakangnya. Padahal  motornya sudah ada lampu sebagai tanda berbelok. Apa  pengendara motor atau mobil buta tanda-tanda  sehingga perlu penegasan dengan kaki atau tangan agar nyaman menyeberang, berbelok atau berbalik arah perlu dengan kaki untuk menghalangi lacu kendaraan di belakangnya.

Tapi penulis akui orang-orang Jakarta dan Indonesia pada umumnya memang kreatif untuk urusan melanggar peraturan. Apakah karena ujian SIM bisa nembak, minimnya pengetahuan tentang  peraturan lalu lintas  jalan sehingga aturan yang memberi kenyamanan ditabrak.Dan hebatnya kalau bisa melanggar itu adalah perbuatan pemberani. Hemmmmh....

Jalanan Itu milik umum, digunakan untuk umum, dipergunakan untuk menempuh perjalanan  yang memberi  jaminan “Selamat Sampai tujuan”. Tapi kadang-kadang secara tidak sadar rambu–rambu memang dibuat untuk dilanggar (itu prinsip orang yang” super pintar” di negara berkembang). Kalau aman ya terus dilakukan, nah ketika kepergok polisi, baru menangis Bombay menyesali apa yang telah terjadi, sambil guling-guling dan mengiba-iba.

“Pak, kenapa harus kaki sih Pa, bukannya  berbahaya jika ada pengendara motor lain ngebut dan kaki anda yang berwisata itu tiba-tiba nongol ke kiri atau ke kanan?”

Yang saya ajak wawancara saya pikir akan tertawa dan melengos malu.  Tiba-tiba motornya mepet ke motor saya.

“Ini jalan umum suka-suka Gue. Lho mau apa...!?”

“Wouw…wouuw….tenang bang saya khan cuma negur… yang cilaka kalau kecelakaan khan sampeyan sendiri?!”

“Wussssh…” Tiba-tiba tangannya melayang mampir ke muka saya. Untungnya saya memakai helm cakil ya tangan ia sendiri yang kesakitan. Meskipun saya juga sempat merasakan shock. Kaget, tidak menyangka, hanya karena beberapa kata si abang pengendara motor yang lampu retingnya mati mendadak esmosi (emosi maksudnya).

Wah ini tipe-tipe orang jalanan yang dikejar–kejar waktu, membangga-banggakan muka sangarnya dan kakinya yang bisa berfungsi sebagai lampu sen. Tipe orang seperti ini banyak di jalan. Merasa mempunyai kepentingan, sedikit punya nyali tapi bebal pemahaman tentang peraturan lalu lintas.

Jalanan milik bersama, Bung, jangan petitah petitih kalau ingin selamat. Kalau orang pintar saja lebih  bangga melanggar peraturan apalagi orang-orang biasa yang memahami hidup hari perhari, mengharap rejeki jam demi jam dan menganggap jalanan “boleh-boleh saja berakrobat”.

Jakarta memang kota lucu

Selama penulis tinggal di Jakarta rasanya tidak ada hari tanpa kelucuan. Kelucuan itu bercampur dengan kejadian menjengkelkan bikin emosi, membuat  perasaan campur aduk menjadi satu. Tidak puas hanya dengan kaki tanganpun bisa untuk memberi tanda berbelok. Seperti konduktor yang sedang mengatur irama tangan pengendara motor di Jakarta pun akan bertindak bila pengendara belakangnya tetap saja tidak  memberi kesempatan belok meskipun lampu sein (turn signal) sudah memberi isyarat.

Tahukah anda  akan fakta- fakta jalanan Jakarta dilihat dari angkasa. Bila anda pembaca sempat mengamati  dengan seksama di pertigaan, perempatan, motor Jakarta itu seperti  semut liar yang lepas dari kandang. Ketika lampu kuning, kemudian merah menyala  hentakan motor-motor itu seperti ketika anda melihat kerumunan semut yang mendadak bubar berhamburan terkena semprotan minyak tanah. Mobil-mobil bersabar menunggu motor menyusut baru kemudian bergerak maju.

Jalanan arena balapan gratis

Jangan heran ketika anda mengendarai mobil dan kebetulan ada belokan. Bisa saja tiba-tiba motor nyelonong  dari arah kiri. Bagi yang sakit jantung hati-hati karena mengendarai mobil di Jakarta anda harus ekstra waspada. Banyak kemungkinan terjadi secara tiba-tiba. Dari arah manapun bisa saja motor–motor matic  berzigzag melaju kencang seperti halnya Valentino Rossi sedang bermanuver di sirkuit.

Kecepatan maksimal, celah sempit antar mobil, motorpun dibabat habis. Begajulan di jalan sudah biasa kalau nyungsep baru mengiba-iba. Jalanan Jakarta seperti sirkuit gratis. Helm sekenanya kadang tidak dikancing. Fungsi Helm hanya  untuk jaga-jaga  kalau ada penertiban lalu lintas oleh polisi.

Jakarta yang semrawut jalannya  saat ini mau ditambah lagi dengan regulasi becak yang diresmikan Bapak Gubernur Jakarta yang baru saja melewati masa bulan madunya.

Disiplin pengendara  masih rendah

Kalau saya sebagai warga Jakarta boleh usul nih, Pak. Yang dibenahi itu mindset orang Jakarta, Pikiran ngeres sebagian warganya yang menggunakan jalan seperti berandalan. Keruwetan jalanan salah satunya karena masyarakat tidak disiplin,  malu bila melanggar belum membudaya. Malah jika bisa melanggar bangganya selangit karena merasa sebagai lelaki sejati  jika perempuan di jalan jangan di tanya.

Tiba-tiba belok bukan hal yang aneh. Malah aneh jika tidak ada cerita tentang perilaku perempuan di jalanan. Bukannya sudah banyak meme tentang  perilaku perempuan di jalan. Para Pengandara motor khususnya laki- laki paling takut jika harus bersaing dengan emak-emak di jalanan, mending mengalah daripada sial dua kali. Sudah dimaki-maki kalau kita benar tetap saja  salah di mata mereka.

***

Editor: Pepih Nugraha