Punya Gelar Sarjana tapi Hanya Jadi Ibu Rumah Tangga, Gak Malu?

Rabu, 24 Januari 2018 | 19:37 WIB
0
547
Punya Gelar Sarjana tapi Hanya Jadi Ibu Rumah Tangga, Gak Malu?

Bila mengingat kembali sebagai siswa kelas 3 SMA yang hendak menghadapi Ujian Nasional, rasanya cukup menarik, pasalnya di saat-saat itulah para siswa kelas 3 akan banyak menerima nasihat dari para guru. Dimulai dari nasihat harus rajin belajar, harus bisa melanjutkan ke universitas yang sesuai, harus bisa mencapai nilai yang tinggi, namun ada satu nasihat dari salah satu guru yang saat itu memang tak terlalu aku pedulikan, toh pikirku nasihat itu masih terlalu jauh untuk dibahas di usiaku yang masih remaja.

Sebelum memberikan nasihat tersebut guruku bertanya kepada semua siswa laki-laki di kelasku, pertanyaanya adalah seperti ini; "Kamu ingin punya istri yang menjadi wanita karir atau cukup menjadi ibu rumah tangga saja?"

Waaah... jawabannya pun berbeda-beda, ada yang ingin punya istri wanita karir, ada yang ingin istrinya kelak cukup menjadi ibu rumah tangga saja, dan ada juga yang sudah berniat memiliki istri yang wanita karir dan istri satunya lagi ibu rumah tangga ehhh wkwkk....

Kemudian setelah mendengar jawaban tersebut barulah guruku ini memberikan nasihat di sela-sela jam pelajaran yang hampir selesai. Menurutnya terserah kelak para siswa laki-laki ingin memiliki calon istri yang cukup menjadi ibu rumah tangga saja atau sambil bekerja meniti karir di luar rumah, tapi beliau menyampaikan nasihat yang kurang lebih seperti ini; "Kalau bisa jangan cari calon istri yang bergelar sarjana bila hanya menjadikannya seorang Ibu rumah tangga saja."

Pesan tersebut saat itu memang tak terlalu aku pedulikan, toh pikirku "Apaan sih nih guru, kok malah ngebahas kayak beginian". Namun seiring berjalannya waktu di usiaku yang mudah-mudahan lulus kuliah tahun depan, Amin, pesan tersebut kembali aku ingat dan lumayan menari-nari di pikiranku saat ini.

Cukup membingungkan memang bila kembali mengingat pesan tersebut, terlebih dengan banyaknya bermunculan kata-kata di media sosial yang menyinggung permasalahan seorang wanita bergelar sarjana namun hanya menjadi ibu rumah tangga, contohnya begini:

"Justru hebat dong anak gw diurus sama sarjana lulusan UI, dibanding anak lo yang diasuh sama pembantu lulusan SD." (Aku tak ada maksud merendahkan tingkat pendidikan ya)

Mengingat nasihat dari guruku tersebut bisa dibenarkan namun bisa juga disalahkan, loh kok begindang sih, Di? Ya iya dong, karena pada kenyataanya semua orang memiliki keadaan yang berbeda-beda. Jadi nasihat guruku bisa dibenarkan dan disalahkan sesuai dengan kondisi atau suatu keadaan.

Untuk keadaanku saat ini saja sepertinya aku cenderung setuju dengan pesan dari guruku tersebut, karena ketika memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi orang tuaku berpesan seperti ini; "Belajar di kampus yang bener, Nnak, biar dapet kerjaan yang bagus."

Ucapan seperti itu sampai sekarang masih sering aku dengar setiap kali berada di rumah atau hendak pamitan untuk pergi kuliah. Lah terus apa hubungannya ucapan tersebut dengan persepsiku kalau saat ini aku setuju dengan pendapat guruku tersebut ?

Harapan Ortu kepada anak perempuannya

Tak bisa dipungkiri bahwa banyak orangtua yang menanamkan harapan besar terhadap anak perempuannya ketika melanjutkan ke perguruan tinggi, kelak setelah lulus dari perguruan tinggi semoga sang anak bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus, terpandang, dan sukses.

Kalau saat kuliah masuk fakultas kedokteran semoga setelah lulus bisa jadi bu dokter yang baik, atau ketika kuliah di fakultas hukum semoga setelah lulus bisa menjadi pengacara wanita yang sukses dan harum namanya di kalangan masyarakat, Amin.

Hal ini bukan berarti aku merendahkan pekerjaan seorang ibu rumah tangga, jelas tidak. Aku hanya sedang menjelaskan bahwa tidak semua wanita yang bergelar sarjana memiliki keadaan yang sama, baik itu dari sudut sosial, ekonomi dan lainnya, yaaah... ujung-ujungnya pasti ekonomi deh.

Jujur saja hidup dalam keluarga yang sederhana, bagi orang tuaku biaya kuliah itu lumayan mahal namun bukan berarti mereka setengah hati membiayai semua anaknya termasuk aku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka cukup besar menanamkan harapan kepadaku untuk lebih baik darinya, walau bagiku orangtuaku jelas jelas lebih baik dariku dalam segala hal.

Basi rasanya jika segala permasalahan dikaitkan dengan urusan ekonomi, tapi mau gimana lagi? Iya kalau nanti dapat jodoh yang bisa memenuhi sepenuhnya kebutuhan rumah tangga dan keinginan sang istri dari segi materi, kalau tak sepenuhnya bagaimana?

Atau mungkin misalnya sedari lahir seorang wanita telah hidup dalam kalangan berada, jadi setelah lulus kuliah tak masalah hanya menjadi ibu rumah tangga toh warisan dari orang tua atau uang bulanan dari suami saja sudah sangat cukup.

Memang segalanya tak bisa diukur dalam keadaan materi saja, tapi pada kenyataanya materi memiliki pengaruh yang lumayan kuat. Tak bisa munafik rasanya bila hidup tanpa membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, tinggal bagaimana pribadi kita menyikapi perbedaannya saja dengan bijak atau penuh rasa iri.

Begitu juga ketika seorang wanita yang bergelar sarjana memutuskan menjadi seorang ibu rumah tangga saja, hal tersebut adalah sebuah keputusan yang sudah pasti alasan dan tek tek bengeknya akan berbeda dengan seorang wanita bergelar sarjana yang akan tetap meniti karir di luar rumah ketika sudah menikah.

Ketika seorang wanita bergelar sarjana, menjadi ibu rumah tangga saja atau tidak bukanlah hal yang memalukan, yang bikin malu itu ilmu yang dipelajari selama di perguruan tinggi tak bisa dimanfaatkan sama sekali, karena pada kehidupan sehari-hari masih banyak orang yang menilai manfaat ilmu dari segi fisik ijazah saja, begini katanya "Sayang jadi ibu rumah tangga doang, ijazahnya gak kepake".

Atau misalnya kalau ijazahnya lulusan fakultas ekonomi maka harus menjadi pegawai disebuah bank atau perusahaan yang akan mempertimbangkan ijazah kita sebagai syarat penerimaan. Lho padahal seorang ibu rumah tangga juga sangat memerlukan ilmu tentang hitung menghitung dalam urusan ekonomi.

Jadi tak perlu diambil pusing soal keputusan seseorang menjadi ibu rumah tangga saja atau menjadi wanita karir, apalagi ribut soal anak diasuh dengan seorang sarjana atau lulusan SD saja. Karena berbeda keadaan ya sudah pasti beda juga pilihannya, gak bisa disamakan dengan "Apapun makanannya, minumnya ya pake air" ehh gak lucu hehee, Salam.

***

Editor: Pepih Nugraha