Tidak Menerima Sumbangan Berupa Apapun

Senin, 22 Januari 2018 | 16:40 WIB
0
558
Tidak Menerima Sumbangan Berupa Apapun

Aku bisa mengerti apa saja yang telah ia lakukan. Ia sudah sangat bekerja keras. Memeras keringat dari kulitnya yang berwarna sawo matang. Meski terkadang ia jatuh sakit karena telalu memaksakan diri untuk banting tulang.

Aku bisa mengerti apa saja yang telah ia lalui hari demi hari. Hukum jalanan ibu kota yang seperti rimba. Siapa yang kuat dia yang menang. Siapa yang kecil dia yang akan selalu mengalah. Orang-orang receh seperti aku dan suamiku sudah biasa terhimpit bagai sandal jepit.

Bagiku sendiri, memijat pundaknya dan menyuguhkan segelas teh manis hangat ketika ia pulang bekerja menjadi ritual yang biasa aku lakukan. Sederhana saja, berdasarkan rasa kasih sayang aku ingin merawatnya agar ia selalu sehat.

Ia terlihat tenang ketika aku mulai memijatnya. Matanya terpejam menikmati pergerakan jari jemariku yang menekan punggungnya.

"Bu... hari Minggu kita ada kondangan."

Aku terdiam. Ia pun terdiam. Angin berembus kencang memasuki rumah kontrakan kami. Kucing hitam meloncat masuk ke dalam rumah. Disusul seekor lagi yang berwarna kuning.

"Iya, Pak..." Aku hanya sanggup mengiyakan. Meskipun aku tidak tahu bisa hadir atau tidak.

"Tadi Bu, sewaktu aku dari pasar Inpres menuju rumah. Pak Haji Dani menumpang bajaj ku. Lalu Pak Haji memberikan undangan ini."

Ia kembali diam. Aku terus memijat pundaknya. Matanya memandang pandangan kosong. Aku bisa mengerti yang ia lamunkan.

"Bulan-bulan ini bagaikan petaka bagi kita ya, Bu. Bulan-bulan seperti ini banyak yang mengadakan resepsi pernikahan dengan begitu artinya banyak yang harus kita sumbang. Tapi misalkan kita kesana tidak menyumbang kita akan jadi buah bibir."

Seorang anak kecil menangis di depan rumah. Aku segera bangkit dan meninggalkan suamiku. Anak kecil itu terjatuh. Aku memanggil sebuah nama, nama ibu dari anak kecil itu. Anak kecil yang menangis itu segera berlalu. Pergi meninggalkan aku dengan digendong ibunya. Aku segera kembali masuk ke dalam rumah.

“Kenapa, Bu?”

“Anak tetangga, Pak. Terjatuh, mungkin tersandung batu.”

Aku segera mengambil posisi duduk di belakang suamiku. Ia meneguk teh manis hangat yang berdiri manis tepat di depannya. Kedua tanganku kembali memegang pundaknya kemudian jemariku mulai kembali memijatnya.

“Oh... terjatuh. Begini ya, Bu. Terkadang berawal dari kondisi seperti kita inilah munculnya ampau sumbangan yang kosong dari tamu undangan. Terkadang angpau itu berisikan angpau juga. Ibaratnya angpau makan angpau agar terlihat tebal saja saat dimasukan ke kotak sumbangan.”

“Kita adalah salah satu dari jutaan manusia receh yang terjebak dalam ke salahkaprahan budaya sumbang-menyumbang acara resepsi pernikahan. Pemahamanku, yang membeli segala sandang pangan dengan uang recehan, mereka yang mengadakan resepsi secara finansial pasti punya kemampuan lebih. Sementara kita rakyat receh yang hidupnya pas-pasan, punya atau tidak punya uang ya harus menyumbang mereka yang posisinya sudah jelas lebih baik dari kita.”

Senja berwarna oranye sudah hilang tanpa aku sadarai. Langit sore yang biru berubah menjadi gelap. Aku menutup pintu rumah. Adzan isya berkumandang. Aku segera menyudahi ritualku dalam memijat punggung suamiku.

“Aku merasa orang-orang egois, Bu. Mereka berpikir bahwa orang-orang juga sama seperti mereka. Memiliki keluasan ekonomi seperti mereka. Sementara kondisi kita untuk makan tiga kali sehari saja sudah menjadi kemewahan tersendiri. Hidup kita serba ngirit, kebutuhan semakin menjerit.”

“Ya... kamu juga tidak bisa menyalahkan orang yang mengadakan acara resepsi itu, Pak.”

“Biar bagaimanapun mereka tetap mengharapkan sumbangan, Bu.”

“Ya sudah kalau misalkan malu. Kita tidak usah datang.”

“Ya sudah kita di rumah saja istirahat. Semoga ketika nanti Soleh menikah, tidak menyebabkan petaka bagi orang-orang seperti kita ya, Bu.”

“Bagaimana caranya, Pak?”

“Kita tulis saja di undangan: Tidak menerima sumbangan berupa apapun.”

***

Cerita sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/01/13/donat/