Merusak Indonesia Melalui Jakarta

Senin, 22 Januari 2018 | 16:12 WIB
0
150
Merusak Indonesia Melalui Jakarta

Drama Pilkada paling celaka masih mengingatkan kita. Jakarta dijadikan ajang pembantaian kebaikan hanya karena nafsu kekuasaan. Adalah Anies Baswedan yang diusung oleh partai dan pribadi-pribadi yang katanya membangun masa depan namun nyatanya mereka justru memporakporandakan pondasi demokrasi yang dibangun bersama menguatkan kebersamaan, Bhineka Tunggal Ika yang ditekankan oleh para pendiri bangsa.

Semua kita dari awal sudah terasa ada yang tak biasa pada Pilkada Jakarta, Ahok hanya triger dan pintu masuk untuk tujuan yang lebih besar. Upaya perusakan atas pemerintah yang sah tidak berhenti dilakoni oleh para pembenci, mimpi-mimpi mengatur negeri dengan dalih memperbaiki terus diorasikan dengan cara yang sejatinya tidak ada hubungannya dengan landasan kebaikan yang paling dangkal sekalipun.

Mereka melakukan keonaran dengan perahu agama, fitnah mengada-ngada, penghasutan, kebohongan, sentimen etnis, dan seterusnya. Bagaimana nalar kita menerima dengan kasat mata hal-hal yang sudah baik dihancurkan, ditabrak dan dirusak oleh orang-orang yang harusnya tau kadar akhlak yang paling dasarpun tidak separah yang mereka lakukan, sungguh memalukan.

[caption id="attachment_8754" align="alignleft" width="485"] Becak di Jakarta (Foto: Gridoto.com)[/caption]

Disadari atau tidak, diakui atau tidak, Jokowi menjadi inspirasi bagaimana pribadi dengan budi tinggi mengabdi untuk sebuah negeri. Dia tidak seperti yang digantikannya, dia tidak sama dengan pesaingnya. Model dan lagu lama dengan penampilan dan dandan yang digaya-gayakan sudah ketinggalan zaman dan memuakkan, masyarakat sekarang telah melihat bahwa kerja, kerja, dan kerja yang kita butuhkan untuk Indonesia yang bermasa depan penuh harapan, bukan lagi sebuah negeri yang dijadikan lahan pencuri mengais rezeki menzholimi tanpa henti.

Kita tidak menampik siapa saja yang berkemampuan punya hak sama memimpin atau dipimpin dalam koridor berbangsa dan bernegara di Indonesia, namun hendaknya menuju jalan ke sana jangan pakai menghalalkan segala cara. Mereka-mereka yang duduk di kepartaian adalah orang-orang berkemampuan, berpendidikan, berpengalaman.

Nutrisi itu harusnya dipakai untuk membaikkan bangsa dan negara jangan sebaliknya, semua isi hatinya diganti dengan kemauan yang memalukan, dirinya dimarjinalkan bukan saja dimata manusia, di depan Tuhanpun sudah tak mereka pikirkan, malu menjadi mahal, mulut, hati dan pikirannya sudah tak lagi terintegtasikan, maaf mungkin mulutnya lebih nyaman tersambung hanya kepada isi perutnya dan kemudian terbuang dalam ampas buang hajatnya.

Jakarta, Batavia cikal bakal sebuah simbol dan menjadi Ibu Negara sekarang tidak terjaga.

Banyak orang menjadi terpana, kenapa Anies dan Sandi ini seperti orang yang tidak berpendidikan, kenapa mereka menjadi perusak tatanan sosial sebuah Ibu Kota yang harusnya mereka jaga. Dan yang mengherankan paketan kepada partai yang mengusungnya, seirama dengan orang-orang yang mendukungnya, Gerindra, PKS dan kroninya.

Ada JK ada PS dan lainnya, kenapa mereka membiarkannya proses murahan yang dilakonkan anak asuhnya, apa cara pandangnya menjadi beda dengan kita, apa mereka lupa bahwa jualan harus dipasar bukan di jalan, jalan utama harusnya ditata bukan dibiarkan semerawut kenderaan segala bentuk, becak yang tahun 1971 sudah ditata agar tidak lagi ada di tengah jalan Ibu Kota, 46 tahun kemudian diundang datang hanya karena mau dilihat seolah berpihak kepada tukang becak?

Otak cekak saja harusnya bisa berdenyut bahwa tindakan itu kemunduran absolut, tapi kalau otak menjadi ciut memang itulah output yang bisa dibesut.

Anies adalah output dari proses awal sebuah strategi peng"chaos"an yang di-design untuk kepentingan yang lebih besar, balutan kebijaksanaan dalam kepura-puraan seolah melakukan keperpihakan kepada rakyat jelata, nyatanya cuma canda tawa untuk merusak yang sudah ada. Kita tau dan semua orang waras mengerti bahwa Jakarta tertata sejak Jokowi dan Ahok bekerja, nyata hasilnya, rakyat merasakan dengan tingkat kepuasan diatas 76% dalam kurun waktu begitu singkat.

Bukti inilah yang akan mereka sikat dipaksa seolah tak pernah ada, mereka lupa bukti adalah esensi dari sebuah proses kerja bukan sulapan dan cuap-cuapan mulut bau dari kepala orang yang tak mengenal malu.

Dapat kita katakan bahwa strategi ini yang akan mereka lakukan, merampok rumah yang sedang terbakar, sekarang mereka sedang menyiapkan apinya, pemantiknya terus disiagakan, tinggal bensinnya kapan disiramkan.

Apakah kita tinggal diam? Harusnya tidak kita biarkan karena mendiamkan sebuah penzholiman sama dengan kita memberi kemudahan untuk sebuah kehancuran.

Camkan, anak-anak muda yang brilian harusnya tidak lagi bisa dibeli dengan janji murahan, iming-iming bidadari di surga, dan pergombalan lainnya. Bagaimana mereka menawarkan produk kebaikan dengan proses melalui perusakan. Orang bijak mengatakan; masuknya sampah, keluarpun sampah.

Jangan pilih sampah, paling top anda dapat kompos. Jadilah pemilih yang cerdas agar negara menjadi waras.

***

Editor: Pepih Nugraha