Tuhan dan Politik Indonesia

Minggu, 21 Januari 2018 | 07:01 WIB
0
199
Tuhan dan Politik Indonesia

Sejak 2014 di mana Jokowi memenangi Pilpres dan memasuki tahun ke 4 menjalankan amanah besar itu, rakyat Indonesia dibingungkan dengan makin maraknya mulut kasar dan hati terbakar dari orang-orang berakal dangkal. Otak kita diajak main olang aling, jungkir balik diminta menerima keburukan untuk menabrak kebaikan, menolak keadilan menumbuhkan kebrutalan, memecah kebersamaan mengagungkan keseragaman, pikiran sungsang ini ditumbuhkembangkan seperti ternak ayam, mereka mau mengambil telurnya di tengah tai ayam.

Keberutalan dan cara menjijikkan dikemas dalam balutan agama, orang-orang bersorban berteriak memekakkan telinga seolah merekalah pemilik kebenaran mutlak, yang lain dimarjinalkan bak kucing kurap dipinggir jalan, namun dalam kasat mata mereka lebih hina.

[irp posts="7928" name="Negeri Yang Teramat Sensi", Melucu Pun Dianggap Menista Agama!"]

Orang-orang jahat melakukan kejahatan tanpa Tuhan, karena begitu transendennya sang Maha penyebab itu dimata mereka, menyebut namaNya saja mereka malu karena masih berkubang dalam pekerjaan yang dilarang Tuhan, sampai kelak mereka tersungkur sujud dalam pertaubatan yang dalam, tobat nasuha.

Sebaliknya manusia-manusia kosong tanpa isi kepala berpenampilan meminjam cara pakaian yang bukan miliknya, seolah dengan pakaian itu sudah menjamin masuk surga walau mulut terus menganga memaki-maki siapa saja yang tidak sama dengan mereka, bergerombol menyebut nama Tuhan sekaligus mempermalukan Tuhan, sumber kebenaran mutlak itu dijadikan keset politik tanpa akhlak yang sangat minim sekalipun.

Pada bulan-bulan ini Tuhan "disibukkan" keluar masuknya doa, isinya minta dimenangkan dalam Pilkada. Tuhan terdiam memandang isi doanya, dikabulkan akan berpotensi dikhianati, tak dikabulkan menyalahi kasih sayangNya, terus harus bagaimana? Biarkan Tuhan yang memutuskannya.

Dalam kurun waktu belakangan ini suara riuh terdengar dilangit ke 7, mungkin Indonesialah wilayah yang dipadati umat manusia paling banyak gaya khususnya salah gaya dalam beragama, dipelajari kulitnya, dilupakan isinya, menyebut-nyebut namaNya sekaligus dijadikan alat praga seolah dekat denganNya tak taunya dialah pengkhianat paling bejad kepada Tuhannya, dia ajak Tuhan main petak umpet sesuai kelakuan dan kepentingannya. Mereka kaya gaya, miskin rasa.

Ah...semoga Tuhan berbaik hati agar orang-orang salah mengerti tentang bakti dan makna berbudi masih bisa kembali kepada yang hakiki agar Indonesia bisa lebih bermakna sebagai sebuah negara bukan cuma tempat untuk menjadi kaya tapi miskin budi pekerti. Semoga agama kembali berfungsi sebagaimana mestinya dan kelak mereka bisa membedakan antara jalan ke surga dan neraka, karena salah pikiran bisa salah jalan.

Terima kasih Tuhan telah memberi kami Indonesia.

***

Editor: Pepih Nugraha