Resensi Novel Re: Tentang Dunia Pelacuran Yang Tak Berubah

Sabtu, 20 Januari 2018 | 22:57 WIB
0
838
Resensi Novel Re: Tentang Dunia Pelacuran Yang Tak Berubah

Novel Re: dibuka dengan adegan tabrak lari yang korbannya adalah seorang pelacur. Bukan tabrak lari biasa karena kondisi korbannya yang sangat mengenaskan dengan kepala yang hampir hancur. Namun tidak ada urusan bertele-tele di kantor polisi atau visum di rumah sakit. Tabrakan terjadi pukul 2 dini hari dan pukul 10 pagi jenazah korban sudah dimakamkan.

Pada bab 2, saat pemakaman Sinta, pelacur korban tabrak lari tersebut, seorang kawannya berkata, “Aku tau kamu dibunuh. Semoga kamu tenang di sini.”

Aku kemudian membuka halaman-halaman novel ini dengan penuh antusias. Dalam bayanganku akan ada adegan pencarian pelaku, pencarian barang bukti pembunuhan, kejar-kejaran dan adegan lainnya yang sering kita baca di novel detektif. Namun sampai menutup halaman terakhir, aku tidak menemukan adegan itu. Novel malah ditutup oleh berita seorang pelacur bernama Rere tewas tersalib di tiang listrik dengan tubuh penuh sayatan.

Aku menutup novel itu dengan penuh pertanyaan. Jadi yang membunuh Sinta dan Rere adalah orang yang sama? Terus, si Rere gimana bisa tersalib di sana? Terus motif pembunuhannya apa?

Oke, ini memang bukan novel detektif. Kisah dalam novel ini adalah cuplikan kisah Sang Penulis saat mengerjakan skripsinya dan mengharuskannya memasuki dunia pelacuran. Herman, seorang mahasiswa kriminologi yang menjadi tokoh ‘aku’ di novel ini, menawarkan diri menjadi supir Re:  seorang pelacur lesbian, untuk bisa memasuki dunia pelacuran demi mendapatkan data-data penelitian skripsinya. Jadi ya, sepertinya novel ini ditulis sesuai dengan apa yang diketahui oleh penulisnya. Tidak ditambah-tambahi.

Kalau boleh dikatakan, Re: adalah korban perdagangan manusia. Dia melacur untuk membayar utangnya pada Mami Lani, seorang mucikari. Nampaknya, ini yang ingin diangkat oleh penulis. Tentang pemerasan dalam pelacuran. Ada orang yang memandang pelacur sebelah mata dan mengatainya tuna susila. Padahal di antara mereka ada saja yang memang terpaksa melacur. Pesan moralnya, kita tidak boleh berprasangka buruk pada seseorang hanya dengan melihat pekerjaannya.

Novel ini selain menyajikan cerita, juga menyajikan pengetahuan tentang kriminologi. Pada bab yang berjudul ‘Penelusuran’, penulis menjelaskan klasifikasi kepelacuran. Ada yang berdasarkan jenis kelamin, berdasarkan permintaan, berdasarkan lokasi, dan berdasarkan frekuensi. Di bab yang lain, penulis menjelaskan tentang viktimologi, ilmu yang mempelajari rentang korban kejahatan.

Pada akhir cerita, Maman Suherman, Sang Penulis, memberi catatan tentang novel ini. Beliau berkata bahwa dunia pelacuran pada tahun 1987 dengan yang sekarang tidak banyak berubah. Hanya bentuk dan kemasannya yang menyesuaikan perkembangan zaman. Tahun 2012, penulis bertemu dengan mahasiswa yang melacur untuk membantu saudaranya. Pelacuran terorganisasi dan perdagangan manusia pada tahun 1987, setting dalam novel ini, masih terjadi hingga sekarang.

Masih teramat banyak perempuan yang terluka dan teraniaya.

***

Editor: Pepih Nugraha