Ke Mana Palestina Berpaling Setelah Mengecam Amerika?

Jumat, 19 Januari 2018 | 06:06 WIB
0
216
Ke Mana Palestina Berpaling Setelah Mengecam Amerika?

Hubungan Palestina-Amerika Serikat (AS) semakin renggang setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan Jerusalem sebagai ibukota Israel.

Aksi protes terjadi di mana-mana di belahan dunia ini. Bahkan dalam pemungutan suara di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini, banyak negara menentang kebijakan Donald Trump tersebut, termasuk Indonesia yang sejak Presiden Republik Indonesia Soekarno hingga hari ini, tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, karena selalu mendukung perjuangan bangsa Arab Palestina untuk merdeka secara "de facto," dan "de jure."

Di Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Ramallah, 15 Januari 2018, Presiden ("de facto") Palestina Mahmoud Abbas menegaskan bahwa Kesepakatan Oslo telah berakhir. Karena dengan pengakuan Trump ini, kesepakatan itu telah dipungkiri atau telah dikhianati.

Di Oslo, pada 1993, telah terjadi kesepakatan antara Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri (PM) Israel Yitzak Rabin (kedua pemimpin ini telah meninggal dunia), yang ditengahi Presiden AS Bill Clinton, di mana Israel sepakat menarik mundur pasukannya dari wilayah Palestina yang didudukinya, sementara Palestina bisa membentuk pemerintahan di wilayah otonomi walau belum memiliki negara.

[irp posts="6989" name="Apakah Sudah Saatnya Amerika Serikat dan Israel Serang Iran?"]

Itu sebabnya berdasarkan perjanjian Oslo tersebut,  Pemimpin PLO Yasser Arafat bergelar presiden dan memiliki duta besar di hampir 100 negara, termasuk di Indonesia. Tetapi dengan sikap Trump ini menunjukkan bahwa tidak ada artinya lagi Perjanjian di Oslo.

Bukannya wilayah merdeka Palestina yang terjadi, karena selain Israel tidak pernah mengembalikan wilayah Palestina yang diduduki, bahkan sekarang, wilayah Palestina sudah hampir hilang dari peta dunia, karena Israel terus menerus mendirikan pemukiman baru untuk penduduk Israel berakibat penduduk Palestina yang harus pergi. Oleh karena itu, apa yang dikatakan Presiden Palestina Mahmoud Abbas itu benar. Perjanjian Oslo tidak ada manfaatnya lagi.

Kira-kira yang tepat menggantikan posisi AS, jika memang AS tidak mau mengubahnya, tidak ada selain Rusia, meski dulunya Rusia ketika bernama Uni Soviet, negara pertama yang mengakui kemerdekaan Israel. Tetapi setelah itu, Rusia kecewa dengan Israel dan sekarang Rusia berbalik arah mendukung negara Arab, termasuk Palestina.

Secara "de facto, " bangsa Arab Palestina awalnya memiliki wilayah yang sangat luas sekali, tetapi

berada di bawah pengawasan Britania yang sekarang disebut Inggris, di antara negara yang keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, termasuk AS dan Rusia yang dulu bernama Uni Soviet.

Ketegangan meningkat antara orang-orang Arab Palestina (1,2 juta orang) dan para pemukim Yahudi (608 ribu orang) waktu itu, karena penduduk Yahudi memproklamirkan kemerdekaannya dengan mendirikan negara Israel pada 14 Mei 1948. Waktu itu mandat Britania atas Palestina memang  sudah diakhiri, dan isu Palestina diserahkan pada PBB. Ini permasalahannya, sehingga negara lain bisa menentukan masa depan penduduk Yahudi dan penduduk Arab Palestina.

[irp posts="6871" name="Ketika Israel Memanipulasi Sejarah di Jerusalem"]

Apakah yang mendukung kemerdekaan Israel itu pertama kali adalah Inggris dan AS? Tidak. Apakah sejak awal, AS membantu persenjataan Israel melawan negara Arab? Juga tidak.

Awal sekali yang mendukung kemerdekaan Israel dan memasok senjata melalui negara satelitnya Cekoslowakia serta memberikan bantuan ekonomi adalah Uni Soviet. Sementara Inggris yang semula pernah menguasai wilayah Palestina, tidak mendukung gagasan untuk menciptakan sebuah negara Yahudi yang merdeka.

Pertama kali  Duta Besar Uni Soviet untuk PBB Andrei Gromyko yang memberikan dukungan untuk pembentukan negara Israel.

Dua hari setelah Israel mengumumkan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948, Uni Soviet adalah negara pertama yang secara resmi mengakui negara tersebut.

Menurut pengamat, sebenarnya pemimpin Uni Soviet,  Josef Stalin tidak tertarik untuk mempromosikan kepentingan Yahudi di Palestina. Dia telah meluncurkan beberapa proyek untuk memberi otonomi nasional kepada orang-orang Yahudi Soviet di dalam perbatasan Uni Soviet. Sayangnya, proyek itu gagal. Meski demikian, Stalin tak membiarkan warga Yahudi Soviet pindah ke Israel.

Josef Stalin tak terlalu peduli dengan orang-orang Yahudi, tetapi membantu mereka untuk memenangkan status kenegaraan mereka demi ambisi pribadinya.

AS, yang juga mendukung penciptaan Israel, secara resmi melarang pasokan senjata ke Timur Tengah. Tak seperti Amerika, Moskow mengirim senjata kepada kelompok Zionis sekalipun secara tak resmi dan melalui negara lain, seperti Cekoslowakia. Uni Soviet menggunakan senjata-senjata Jerman yang direbut pada akhir perang, mengumumkan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948.  Uni Soviet adalah negara pertama yang secara resmi mengakui negara tersebut.

Memang jika muncul pertanyaan, apakah Palestina juga melirik Republik Rakyat China (RRC) sebagai penengah? Kalau saya lebih berat ke Rusia.

***

Editor: Pepih Nugraha