Komentar Uu Ruzhanul Ulum saat Semobil dengan Jokowi: “Alhamdulillah”

Rabu, 17 Januari 2018 | 16:31 WIB
0
336
Komentar Uu Ruzhanul Ulum saat Semobil dengan Jokowi: “Alhamdulillah”

Selama kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Provinsi Jawa Barat, ada hal yang menarik perhatian di mana Jokowi justru berkenan mengajak cawagub Jabar yang juga Bupati Tasikmalaya, Uu Ruzhanul Ulum satu kendaraan dengannya. Pilihan kepada cawagub Jabar ini bisa saja dimaknai politis: Jokowi sedang membangun citra politik di Jabar, khususnya warga nahdliyyin di mana Uu merupakan cucu tokoh kharismatis NU, KH Khoer Affandi.

Kedekatan Jokowi dengan kalangan NU sulit ditepis, karena beberapa hari sebelumnya, Jokowi berada di Pekalongan untuk membuka kegiatan Muktamar XII Jam’iyyah Thoriqah Al-Mu’tabarah Nahdlatul Ulama (Jatman). Saat cawagub Jabar ini disinggung soal keberadaannya yang satu mobil dengan Jokowi, hanya memberikan keterangan singkat, “Alhamdulillah”.

Menuju Pilpres 2019, Jokowi memang gencar melakukan pendekatan, dan yang paling dirasakan adalah selalu hadir di momen-momen penting kegiatan yang digarap ormas Islam NU. Bahkan untuk Jabar yang beberapa bulan lagi akan menggelar Pilkada, Jokowi tak segan-segan memberikan “dukungan” kepada cagub-cawagub yang memang memiliki latar belakang ke-NU-an yang kuat.

Cagub Jabar, Ridwan Kamil dan pasangannya Uu Ruzhanul Ulum, keduanya memiliki akar historis yang kuat dengan organisasi NU. Yang disebut pertama, adalah cucu dari KH Muhyiddin, pendiri pesantren Pegelaran Subang dan juga pejuang kemerdekaan. Sedangkan yang kedua, merupakan cucu tokoh kharismatis NU Jabar, KH Khoer Affandi.

Pilihan Jokowi untuk satu mobil dengan Uu tidak dapat dilihat sebagi sesuatu hal yang biasa, jika melihat keberadaan banyak pejabat yang pada waktu itu hadir menemani Jokowi. Kunjungan dirinya ke Jabar, tentu saja dapat dimanfaatkan sebagai momentum memperkuat image politiknya di tengah masyarakat, terutama menjaga “kemesraannya” sejauh ini dengan kalangan nahdliyyin.

[irp posts="8077" name="Gagalnya Islam Politik Dan Kekecewaan Gerakan 212"]

NU, tentu saja memiliki akar kuat di masyarakat rural, khususnya di Jatim dan Jabar. Dua wilayah ini, ditengarai sebagai basis massa NU paling besar, karena sejarah pesantren-pesantren besar NU lahir di dua wilayah ini. Paling tidak, Jokowi tetap membutuhkan dukungan NU, karena selain memiliki keterikatan kultur yang kuat dengan budaya Indonesia, NU jelas memiliki jutaan massa yang sangat potensial untuk didulang suaranya menjelang pemilihan umum.

Dalam beberapa kali kunjungannya ke Jabar, Jokowi tak pernah absen mengunjungi pesantren-pesantren berlatar belakang NU, termasuk sekadar menghadiri acara haul atau kegiatan Khotmil Qur’an. Kunjungannya ke Cirebon pada tahun lalu ke pondok pesantren Buntet dan Kempek justru terkesan begitu dekat dirinya dengan kalangan NU yang kemarin juga diulang ketika tampak merasa nyaman satu mobil dengan cawagub Jabar, Uu Ruzhanul Ulum.

Sejauh ini, NU memang menjadi ormas Islam terbesar yang paling akomodatif terhadap pemerintah dan hampir tak pernah terdengar kritik NU secara terbuka terhadap kinerja pemerintah. Yang ada justru terkesan mem-back up pemerintah dari berbagai “gerakan politik” yang mengatasnamakan Islam. Itulah sebabnya, tak heran jika kemudian ormas NU seringkali difitnah oleh pihak-pihak yang memang tidak suka dengan keberadaan pemerintahan Jokowi-JK saat ini.

Fenomena belakangan yang menunjukkan adanya gerakan-gerakan “Islam politik”, secara tidak langsung telah berbenturan dengan kalangan tradisionalisme Islam, seperti yang tercermin dalam kultur NU. Dampaknya ternyata jelas, berimbas juga pada “gerakan politik” yang dijalankan NU.

Ormas Islam terbesar ini nampaknya tak pernah sejalan dengan berbagai gerakan konservatif yang secara formal mengangkat tema agama dalam kancah politik praktis. Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa gerakan “Islam politik” jelas mendapat penolakan dari NU secara ketat, sehingga di sinilah perlunya Jokowi terus membangun “kemitraan politik” dengan NU, sebagai satu-satunya ormas Islam yang dianggap paling “akomodatif” terhadap kekuasaan.

Tidak menutup kemungkinan, bahwa sikap NU yang selalu “luwes” dengan kekuasaan, juga mampu dimanfaatkan Jokowi untuk kepentingannya di Pilpres 2019 mendatang. Lagipula, NU sebagai penjaga warisan tradisi Islam Nusantara, sejauh ini tak pernah sama sekali bertentangan dengan ideologi nasionalis yang sejauh ini diusung Jokowi.

Sikap NU yang terus “melawan” arus konservatisme “Islam politik” yang menggoyang pemerintahan, telah membawa angin segar bagi Jokowi untuk tetap membangun citra baik dengan kalangan nahdliyyin. Hal ini dapat dibuktikan secara jelas, di tengah momen kegiatan resmi kenegaraan, Jokowi selalu menyesuaikan dengan momen-momen tertentu yang juga sedang digarap kalangan NU di dalamnya, untuk hadir dan minimal memberikan restu dan penghargaan.

[irp posts="4933" name="Sayang, Rizieq Tak Pulang dan Batal Hadiri Reuni 212"]

Bukanlah suatu kebetulan, ketika Ciamis pernah tersohor mendunia karena para peserta aksi umat muslim yang berjalan kaki hingga menuju Jakarta. Anggapan banyak pihak, bahwa pemerintahan Jokowi-JK sedang dalam kondisi “kritis” akibat didemo jutaan orang, justru kesan negatif itu belakangan tampak pudar. Anggapan itu setidaknya berhasil ditepis Jokowi, ketika kemarin mengunjungi Ciamis dan Tasikmalaya.

Terlebih, keberadaan dirinya yang satu mobil dengan cucu tokoh kharismatis NU Jabar, Uu Ruzhanul Ulum, semakin memperteguh image positif dirinya dengan kalangan muslim yang sejauh ini memberikan dukungan penuh atas kinerja pemerintah, yaitu NU. D isaat image positif pemerintah mulai dirundung masalah, akibat isu-isu negatif yang dibangun melalui “politisasi agama”, NU malah cenderung mengembalikan image positif dengan beragam “atraksi politiknya” melawan arus besar tersebut.

Saya kira, ajakan Jokowi agar cawagub Jabar itu menemani dirinya dalam satu mobil, tidaklah terkait secara langsung dengan dukung-mendukung dalam soal Pilkada, namun lebih diasumsikan atas kedekatan Jokowi dengan NU.

Muatan politiknya jelas, bahwa Jokowi memang terus membangun citra positifnya dengan menggandeng kalangan nahdliyyin karena dirasa memiliki kesamaan ideologi politik dengan dirinya dan juga pendukungnya. Ideologi politik yang dimaksud, tentu saja terkait dengan wawasan kebangsaan, keindonesiaan, dan kebhinekaan yang sejauh ini lekat dalam diri NU dan juga Jokowi.

NU jelas menolak bentuk-bentuk “formalisme” keagamaan karena dinilai sebagai bentuk “pengkhianatan” atas keberadaan NKRI, begitupun yang diinginkan kalangan nasionalis. Kesamaan inilah yang kemudian terus dijaga dan dipelihara Jokowi, terlebih dalam suasana momentum politik yang semakin dekat, Pilpres 2019!

***

Editor: Pepih Nugraha